Syawal Mubarak
Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh
sisyawal95@gmail.com
Abstrak
Amanah adalah
sifat para nabi dan rasul yang Allah pikulkan tanggungjawab dalam menyampaikan
risalah-Nya. Selain itu amanah juga adalah sifat-sifat para malaikat yang
mengerjakan kebaikan, dan dari kalangan mereka adalah Jibril alaihis salam
yang menurunkan Al-Qur’an ke atas Nabi Muhammad saw. Demikian
juga sifat amanah itu adalah dari sifat-sifat para hamba Allah Ta’ala yang beriman
daripada kalangan jin dan manusia. amanah
sendiri memiliki makna yang begitu luas. Berbagai metode digunakan dalam
mengungkap makna dan maksud yang sebenarnya
dari kata
amanah baik dalam bentuk fi’il atau isim. Dari situlah akan muncul sebuah
pemahaman yang komprehensif tentang amanah ditinjau dari berbagai sudut pandang
sehingga akan mengantarkan pada sikap untuk menjaga dan menghargai semua
amanah. Oleh karena itu, mengkaji makna amanah dan aspeknya dalam Al-Qur’an serta melihat penafsiran ulama tentangnya sangatlah
penting. Selain sebagai wawasan keagamaan juga sebagai bentuk pengembangan
kajian akademis. Penyerahan amanah kepada
manusia oleh Tuhan dimaksudkan untuk mengangkat nasib manusia kepada posisi
yang lebih tinggi dari malaikat selama amanah
itu diembannya dan akan akan menurunkannya pada
posisi yang lebih rendah apabila amanah itu diabaikan. Rusaknya amanah
juga akan merusak hubungan antara
sesama manusia.
kata kunci : Amanah, Perspektif, Al-Qur’an
Pendahuluan
Ajaran Islam hadir
sebagai petunjuk keselamatan bagi umat manusia. Rasulullah Saw. diutus untuk
menyampaikan risalah Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Pada permulaan
dakwah, beragam respon yang muncul dari masyarakat Arab terhadap ajaran Islam.
Ada beberapa orang yang menerima, akan tetapi mayoritas menolak dan bahkan
memberikan perlawanan dengan berbagai macam cara. Nabi Muhammad menghadapi
penolakan tersebut dengan mengedepankan prinsip akhlak yang mulia.
Rasul sangat mencintai
Allah dan Allah lebih mencintai beliau karena sesungguhnya siapa yang mencintai
Allah maka Allah lebih mencintainya. Dan apabila orang yang dekat kepada Allah,
Allah selalu memudahkan segala urusannya. Allah Maha Pemberi apa yang dibutuhkan
semua umatNya. Allah tidak pernah merasa rugi apabila Ia memberi kepada umatNya
meskipun umatNya tidak pernah mengingatnya ataupun bersyukur terhadapNya. Allah
Maha Pemberi Maaf bagi umatNya yang mau berubah.
Islam turun untuk menyempurnakan akhlak manusia,
dan juga sebagai rahmat bagai semesta alam. Karena itulah agama Islam ini
mewajibkan setiap muslim memiliki sifat-sifat terpuji dan menjauhi segela sifat
tercela. diantara banyaknya sifat terpuji pada kesempatan ini penulis ingin
membahas salah satunya yaitu amanah.
Amanah dalam perspektif
agama Islam memiliki makna dan
kandungan yang luas.
Sementara pengertian
amanah menurut kaca
mata kebanyakan orang awam
seringkali diletakan pada pemahaman yang
sempit, yaitu sebatas memelihara
barang titipan, padahal
makna hakikatnya jauh lebih
luas dan lebih
berat dari makna
yang diduga. Amanah
sebuah kewajiban, di mana
sudah seharusnya semua
orang Islam saling mengingatkan dan
memohon bantuan kepada
Allah Swt. dalam menjaganya.
Pembahasan
1.Pengertian
Amanah
Rasul sangat mencintai
Allah dan Allah lebih mencintai beliau karena sesungguhnya siapa yang mencintai
Allah maka Allah lebih mencintainya. Dan apabila orang yang dekat kepada Allah,
Allah selalu memudahkan segala urusannya. Allah Maha Pemberi apa yang
dibutuhkan semua umatNya. Allah tidak pernah merasa rugi apabila Ia memberi
kepada umatNya meskipun umatNya tidak pernah mengingatnya ataupun bersyukur
terhadapNya. Allah Maha Pemberi Maaf bagi umatNya yang mau berubah.
Berbagai metode
digunakan dalam mengungkap makna dan maksud dari term-term amanah baik dalam
bentuk fi’il atau isim . Dari situlah akan muncul sebuah
pemahaman yang komprehensif tentang amanah ditinjau dari berbagai sudut pandang
sehingga akan mengantarkan pada sikap untuk menjaga dan menghargai semua
amanah, karena dalam hadis disebutkan bahwa,[1] لاَ إِيمَانَ
لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَه “Tidak ada keimanan bagi orang yang
tidak melaksanakan amanah”. Oleh karena itu, mengkaji makna amanah dan aspeknya
dalam al-Qur’an sangatlah penting. Selain sebagai wawasan keagamaan juga
sebagai bentuk pengembangan kajian akademis.
dalam bahasa
Arab, kata amanah diambil dari akar kata alif, mim dan nun yang
memiliki dua makna: 1) lawan kata khianat yaitu ketenangan dan ketenteraman
hati, 2) al-tasdiq yaitu pembenaran.[2]
Abu
Hayyan al-Andalusi mengatakan bahwa secara kasat mata, amanah adalah segala
bentuk kepercayaan yang diberikan kepada seseorang, baik dalam bentuk perintah
maupun larangan, baik terkait urusan duniawi maupun urusan ukhrawi. Sehingga
semua syariat Allah adalah amanah.[3]
Muhamamd Rasyid Rida
mengatakan bahwa amanah adalah kepercayaan yang diamanatkan kepada orang lain
sehingga muncul ketenangan hati tanpa kekhawatiran sama sekali.[4]
Fakhr
al-Din al-Razi berpendapat bahwa amanah adalah ungkapan tentang suatu hak yang
wajib ditunaikan kepada orang lain.[5]
Al-Qurtubi
berpendapat bahwa amanah adalah segala sesuatu yang dipikul/ditanggung manusia,
baik sesuatu terkait dengan urusan agama maupun urusan dunia, baik terkait
dengan perbuatan maupun dengan perkataan di mana puncak amanah adalah penjagaan
dan pelaksanaannya.[6]
Abu al-Baqa’ al-Kafumi
mengatakan bahwa amanah adalah segala kewajiban yang dibebankan kepada seorang
hamba, seperti shalat, zakat, puasa, bayar hutang dan segala kewajiban yang
lain.[7]
Dalam
al-Qur’an lafaz yang mengarah pada makna amanah atau kepercayaan berulang
sebanyak 20 kali yang kesemuanya dalam bentuk isim, kecuali satu lafaz dalam
bentuk fi’il yaitu اؤتمن dalam QS. al-Baqarah/2: 283.
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ
الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ
Artinya:
“Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya”
Quraish Shihab
berpendapat bahwa amanah
adalah sesuatu yang diserahkan
kepada pihak lain
untuk dipelihara dan dikembalikan bila
tiba saatnya atau
bila diminta oleh pemiliknya[8].
Orang yang beriman dipastikan akan memperoleh rasa aman dan tentram. Karena ia
akan merasa mendapat penjagaan dari Allah
Swt. Sebaliknya orang
yang diselimuti dengan
berbagai macam kegelisahan dan
ketakutan, dipastikan sedang
mengalami krisis iman. Dengan
demikian, kata Amanah
di dalam Al-Qur’an mencakup amanah
kepada Allah Swt. sesama
manusia, dan kepada diri sendiri.
Kata amanah merupakan
istilah yang telah akrab di telinga masyarakat Indonesia, masyarakat muslim
pada khususnya. Istilah ini sering dikaitkan dengan makna kepercayaan. Dalam
Kamus Bahasa Indonesia, kata yang menunjuk makna kepercayaan menggunakan dua
kata, yaitu amanah atau amanat. Amanah memiliki beberapa arti, antara lain
pesan yang dititipkan kepada orang lain untuk disampaikan, keamanan:
ketenteraman, kepercayaan.[9]
Dari beberapa
definisi yang berbeda,
pada akhirnya semua berputar antara aman, tentram, terpercaya, tidak
mengkhawatirkan, serta tanggung
jawab.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan
amanah ialah segala sesuatu yang
dipercayakan, sebuah tanggung
jawab yang harus dipelihara dan
pada saatnya harus
dikembalikan kepada yang berhak dengan aman.
2.Ayat-ayat
Tentang Amanah dan tafsiran para ulama
Dalam
al-Qur’an lafaz yang mengarah pada makna amanah atau kepercayaan berulang
sebanyak 20 kali. diantaranya ada
yang dalam bentuk ism, fi’il maupun mashdar. Adakalanya mufrad terkadang dalam bentuk jama’. berikut
beberapa penjelasan serta penafsiran ayat yang didalamnya membahas tentang
makna dari bentuk dasar amanah yaitu amina (alif-mim-nun) serta beberapa bentuk
perubahannya baik dalam bentuk isim, maupun fi’il serta mashdar.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ
أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا….
Artinya: “Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”.(Q.S
al-Nisa: 58)
Meskipun ayat
tersebut turun dalam masalah ‘Usman ibn Talhah al-Hujubi tentang kunci Ka’bah
yang diminta oleh al-‘Abbas agar dia yang memegangnya, kemudian Allah swt,
menurunkan ayat tersebut sebagai perintah agar memberikan amanah kepada orang
yang berhak. Namun menurut Wahbah al-Zuhaili, ayat tersebut tetap berlaku bagi
setiap orang agar melaksanakan amanah yang menjadi tanggungannya, baik kepada
khalayak maupun kepada individu tertentu [10]
وَإِنَّهُ لَتَنزيلُ رَبِّ
الْعَالَمِينَ. نزلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ. عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ
الْمُنْذِرِينَ.
Artinya:“Dan
Sesungguhnya Al Quran Ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta Alam. Dia
dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril). Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu
menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan” (QS.
al-Syu’ara’: 192-194).
Menurut
Ibn ‘Asyur, yang dimaksud dengan al-ruh al-amin dalam ayat tersebut adalah
Jibril as. Menurutnya, Jibril as. dinamakan al-ruh karena malaikat berasal dari
alam ruhaniyah, sedangkan al-amin diberikan sebagai kepercayaan Allah swt.
terhadap Jibril untuk menyampaikan wahyu-Nya.
Lain
halnya dengan al-Sya’rawi, menurutnya Jibril as. disebut al-ruh karena dengan
ruh seseorang akan hidup dan para malaikat itu hidup meskipun tidak memiliki
jasad. Sedangkan al-amin diberikan kepadanya karena dia terpelihara di sisi
Allah swt., terpelihara di sisi al-Qur’an dan terpelihara di sisi Nabi saw.
Dengan
demikian, mayoritas ulama tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud al-ruh al-amin
dalam ayat tersebut adalah Jibril as.karena hal itu diperkuat oleh ayat lain
dalam QS. al-Baqarah: 97 yang menyebutkan nama Jibril as.
قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا
لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ…
Artinya: “Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka
Jibril itu Telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah”(
QS. al Baqarah: 97)
قَالَ عِفْريتٌ مِنَ الْجِنِّ
أَنَا آَتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي عَلَيْهِ
لَقَوِيٌّ أَمِينٌ.
Artinya: “Berkata ‘Ifrit dari golongan
jin: “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum
kamu berdiri dari tempat dudukmu; Sesungguhnya Aku benar-benar Kuat untuk
membawanya lagi dapat dipercaya”.(Q.S al-Naml: 39)
Ayat
tersebut menegaskan tentang kemampuan ‘Ifrit memindahkan singgasana ratu Balqis
pada saat itu dalam waktu singkat. ‘Ifrit juga menjamin bahwa dia dapat
dipercaya dalam melaksanakan tugas tersebut.
Al-Mawardi
dalam tafsirnya menjalaskan bahwa yang dimaksud dengan al-amin dalam ayat
tersebut ada tiga pendapat, yaitu: 1) dia dapat dipercaya menjaga permata dan
berlian yang terdapat dalam istana tersebut, 2) dia dapat dipercaya
mendatangkan istana tersebut dan tidak menggantinya dengan istana lain, 3) dia
dapat dipercaya menjaga kehormatan ratu balqis.
Namun
mayoritas ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-amin dalam
ayat tersebut adalah jaminan kepercayaan yang diberikan oleh ‘Ifrit untuk
membawa istana seperti sedia kala tanpa ada perubahan, pengurangan atau
penambahan, khususnya yang terkait dengan isi singgasana.
وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ.
Artinya: “Dan orang-orang yang
memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janjinya”. (QS.
Al-Mu’minun: 8).
Dalam ayat
ini Allah menerangkan
salah satu sifat
dari orang mukmin yang beruntung, ialah suka memelihara amanah- amanah yang
dipikulnya, baik dari
Allah ataupun dari
sesama manusia, yaitu bilamana kepada
mereka dititipkan barang atau uang
sebagai amanah yang
harus disampaikan kepada
orang lain, maka mereka
benar-benar menyampaikan amanah
itu sebagaimana mestinya, dan
tidak berbuat khianat.
Demikian pula bila mereka
mengadakan perjanjian, mereka
memenuhi dengan sempurna. Mereka
menjauhkan diri dari
sifat kemunafikan seperti dalam
sebuah hadits yang
masyhur, yang menyatakan bahwa
tanda-tanda orang munafik
itu ada tiga, yaitu
kalau berbicara suka
berdusta, jika menjanjikan
sesuatu suka menyalahi janji dan jika diberi amanah suka berkhianat.[11] ‘Aidh
Al-Qarni menjelaskan bahwa
ayat ini menerangkan orang-orang
yang melaksanakan amanah
dan menepati janji, mereka tidak berkhianat dan tidak mengingkari janji.[12] Ayat ini menggunakan bentuk jamak untuk kata amanah
dan bentuk tunggal
untuk kata ‘Ahdl/perjanjian. Ini
agaknya disebabkan amanah beraneka
ragam, antara manusia
dengan Allah, dengan sesamanya, dengan lingkungannya, serta dengan
dirinya sendiri dan
itu bermacam-macam pula
perinciannya, bahkan setiap nikmat
yang dianugerahkan Allah
kepada seseorang adalah amanah
yang harus ditunaikannya
dengan baik.[13]
Dalam
al-Qur’an, manusia satu-satunya makhluk yang dicela karena menerima amanah dari
Allah swt. pada saat makhluk lain menolaknya ketika ditawarkan kepadanya.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ
عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا
وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا.
Artinya:
“Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.(Q.S al-Ahzab-72)
Al-Biqa’i
ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan bahwa yang dimaksud al-insan adalah
mayoritas manusia, bukan setiap individu manusia. Oleh karena itu, manusia yang
khianat terhadap amanah jauh lebih banyak dari pada yang memegang amanah,
karena nafsu manusia pada dasarnya penuh dengan kekurangan dan keinginan. Oleh
sebab itu, Allah swt. menyifati manusia dengan zalum jahul agar manusia tidak
sekedar melihat sifatnya yang al-ins, jinak dan ramah, al-‘isyq/keinginan yang
kuat, al-‘aql/akal fikiran dan al-fahm/pemahaman sehingga seakan tidak memiliki
kekurangan.
Dapat juga
dipahami bahwa amanah adalah
kepercayaan yang diberikan oleh Allah swt. atau makhluk lain untuk dilaksanakan
oleh orang yang diberi amanah yang meliputi malaikat, jin dan manusia, atau
bahkan alam semesta. Dengan demikian, amanah yang datang dari Allah swt.
terkait dengan segala bentuk perintah dan larangan yang dibebankan kepada
manusia. Sedangkan amanah dari manusia terkait dengan segala bentuk
kepercayaan, baik dalam bentuk harta benda, jabatan dan rahasia.
Amanah adalah amal saleh yang paling agung, namun
sangat berat dilaksanakan, sehingga wajar kemudian jika langit, bumi dan gunung
enggan menerima amanah dari Allah swt., bahkan manusia yang berani
menerima amanah dan tidak mampu melaksanakannya dianggap sebagai zalum
jahul (penganiaya
dan bodoh).
Oleh
karena itu, amanah harus diberikan kepada orang yang ahli dalam bidangnya agar
tidak menimbulkan kekacauan yang digambarkan sebagai kiamat dalam hadis nabi.
إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ
فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ:
إِذَا أُسْنِدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.
Artinya:
“Jika amanah telah disia-siakan maka tunggulah kiamat, sahabat bertanya,
bagaimana penyia-nyian amanah wahai Rasulullah saw.? Rasulullah menjawab, jika
suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya”.
Bahkan
pada suatu ketika, Nabi
Muhammad saw. tidak mau memberikan amanah kepada Abu Zarr al-Gifari ketika
meminta jabatan, bahkan Nabi saw. mengatakan bahwa engkau terlalu lemah untuk
posisi tersebut.
عَنْ أَبِي ذَرِّ قَالَ: قُلْتُ
يَا رَسُوْلُ اللهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلْنِي؟ قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى
مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ (يَا أَبَا ذَرِّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ
وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا
بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا).
Artinya:
“Dari Abu Zarr berkata, saya berkata kepada Rasulullah saw. wahai Rasul,
hendaklah engkau memberiku jabatan? Rasulullah saw. kemudian menepuk
punggungnya seraya berkata, wahai Abu Zarr, sesungguhnya engkau itu lemah dan
sungguh jabatan itu adalah amanah dan jabatan itu pada hari kiamat hanyalah
kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya secara benar dan
melaksanakannya dengan sebaik-baiknya”
3. Urgensi Amanah dalam Kehidupan
Sifat amanah adalah
sifat para nabi dan rasul yang Allah pikulkan tanggungjawab dalam menyampaikan
risalah-Nya. Selain itu amanah juga adalah sifat-sifat para malaikat yang
mengerjakan kebaikan, dan dari kalangan mereka adalah Jibril alaihissalam yang
menurunkan Al-Quran ke atas Nabi Muhammad SAW..Demikian juga sifat amanah itu
adalah dari sifat-sifat para hamba Allah Ta’ala yang beriman daripada kalangan
jin dan manusia.
Dalam
al-Qur’an, makhluk yang paling sering disifati dengan amanah adalah para nabi
dan rasul, sehingga dalam kitab-kitab ilmu kalam, para nabi dan rasul memiliki
empat sifat yang wajib bagi mereka, seperti al-tablig menyampaikan risalah
kepada umatnya, al-fatanah/memiliki kecerdasan atau intelegensia yang tinggi,
al-sidq/memiliki kejujuran dan al-amanah/dapat dipercaya atau memiliki
integritas yang tinggi. Dengan demikian, sering ditemukan dalam beberapa ayat,
para rasul menyipati dirinya sebagai al-amin.
Nabi
Nuh misalnya ketika mengajak kaumnya untuk takut kepada siksaan Allah Swt. atas
kesyirikan yang mereka lakukan, namun kaum Nuh itu tetap mendustakan dia dan
rasul-rasul sebelumnya, sehingga nabi Nuh mengatakan kepada kaumnya:
أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ
رَسُولٌ أَمِينٌ.
Artinya:
“Mengapa kamu tidak bertakwa?. Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul
kepercayaan (yang diutus) kepadamu” (QS. al-Syu’ara’: 106-107).
Nabi
Nuh mengatakan hal tersebut di atas, sebagai bentuk keheranannya atas
kesyirikan yang mereka lakukan padahal sudah dilarang olehnya dan dia termasuk
orang yang dikenal terpercaya dan tidak pernah dicurigai oleh kaumnya.
Senada
dengan Nabi Nuh, Nabi Hud juga mengajak kaumnya agar mengenal Allah swt. dan
taat kepada-Nya dengan melakukan hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya
dan menjauhkan dari siksaan-Nya, namun mereka tetap inkar dan mendustakan Nabi
Hud dengan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Nabi Nuh.
أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ
رَسُولٌ أَمِينٌ.
Artinya:
“Mengapa kamu tidak bertakwa?. Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul
kepercayaan (yang diutus) kepadamu” (QS. al-Syu’ara’: 124-125).
Bahkan
pada ayat yang lain, Nabi Hud disebutkan sebagai pemberi nasehat yang dapat
dipercaya, ketika kaumnya menolak ajakannya untuk menyembah Allah swt. dan
takut kepada-Nya, akan tetapi kaumnya kemudian mengejeknya dengan menuduhnya
sebagai orang bodoh dan pendusta, lalu Nabi Hud menyanggah ejekan itu dengan
mengatakan:
يَا قَوْمِ لَيْسَ بِي سَفَاهَةٌ
وَلَكِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ. أُبَلِّغُكُمْ رِسَالَاتِ رَبِّي
وَأَنَا لَكُمْ نَاصِحٌ أَمِينٌ.
Artinya:
“Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikitpun, tetapi Aku Ini adalah
utusan dari Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu
dan Aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” (QS. al-A‘raf: 67-68).
Menurut
al-Razi, maksud dari ungkapan naasih amin dalam ayat tersebut sebagai 1)
Sanggahan terhadap ungkapan kaumnya 2) وِإِنَّا لَنَظُنُّكَ مِنَ
الكاذبين, Pokok
pembicaraan tentang risalah dan tablig adalah amanah, sehingga ungkapan
tersebut sebagai penguat terhadap risalah dan kenabian, 3) penjelasan tentang
integritas Nabi Hud sebelum menjadi rasul sebagai seorang yang dikenal amanah
oleh kaumnya. Oleh karena itu tidak seharusnya kaumnya menganggapnya sebagai
pembohong atau orang bodoh.
Hal
yang sama dilakukan oleh Nabi Salih, Nabi lut dan Nabi Syu’aib dengan
mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Nabi Nuh dan Nabi Hud, yaitu:
أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ
رَسُولٌ أَمِينٌ.
Artinya:
“Mengapa kamu tidak bertakwa?. Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul
kepercayaan (yang diutus) kepadamu”.
Amanah
sangat penting posisinya dalam kehidupan dunia, karena tanpa amanah berbagai
macam aturan, undang-undang dan sebagainya tidak dapat terlaksana dengan baik.
Oleh karena itu, wajarlah jika Allah memberikan amanah sebagai suatu bentuk
ketaatan. Amanah tidak hanya terkait dengan aspek diniyah seperti jabatan dan
kekuasaan tapi juga terkait dengan aspek ukhrawi seperti ibadah.
Hal
ini juga terkait dengan kondisi masa sekarang, yang mana sebagian besar orang
mengabaikan amanah. Mereka tidak menyadari apa makna dan hakekat amanah serta
posisi amanah yang begitu urgen dalam mengemban tugas sebagai khalifah
fi al-ard}.
Amanah
adalah perintah Allah yang melekat pada diri manusia sebagai mukallaf yang
wajib dilaksanakan dalam sendi-sendi kehidupan baik yang ada relevansinya
sebagai hamba Allah (hak ilahi, hubungan vertikal), maupun sebagai makhluk
sosial (hak adami, hubungan horizontal). Amanah merupakan salah satu sifat
wajib bagi para rasul Allah dalam mengemban tugas sebagai penyampai risalah
ilahiyah. Manusia sebagai pengikut para Rasul Allah tersebut wajib menjadikan
Rasul Allah sebagai suri tauladan dalam setiap gerak langkah kehidupan termasuk
di dalamnya memiliki sifat amanah.
Amanah
merupakan landasan etika dan moral dalam bermuamalah termasuk di dalamnya pada
saat menjalankan roda perekonomian dewasa ini. Dengan amanah akan tercipta
kondisi masyarakat yang jujur, dapat dipercaya, transparan dan berlaku adil
dalam setiap transaksi dan kerjasa sama, sehingga tercipta lingkungan kerja
yang kondusif, membawa keberkahan kepada pihak-pihak yang terkait dan
menimbulkan kemaslahatan bagi umat manusia secara keseluruhan. Kebalikan dari
amanah adalah khianat, inilah sumber malapetaka yang signipikan dalam
menyumbang kehancuran umat dewasa ini, mewabahnya manipulasi, persekongkolan
tidak sehat, berlaku curang, dekadensi moral, berlaku zalim, monopoli kekayaan
dan jenis-jenis maksiat lain. Karena sesungguhnya seluruh perbuatan maksiat
adalah khianat.
Rusaknya amanah
akan merusak hubungan
antara sesama manusia tersebut.
Penyerahan amanah kepada manusia oleh Tuhan dimaksudkan untuk mengangkat nasib
manusia kepada posisi yang lebih tinggi dari
malaikat yang sepanjang
amanah itu diembannya dan akan
menurunkannya pada posisi
yang lebih rendah
dari binatang ternak bila amanah itu diabaikan.
Dalam praktiknya,
amanah sangatlah sulit
untuk diaplikasikan.
Mengucap janji dalam
sumpah jabatan yang mengatas
namakan Tuhan tidaklah
menjadi pertimbangan para pelaku
penyelewengan. Para pejabat
negeri ini misalnya,
bukan sebuah hal baru
saat mereka yang
menjadi aspirator rakyat
itu tertangkap dan mendekam
dalam jeruji besi
akibat kasus korupsi. Satu persatu dari mereka hanya
menunggu waktu.
untuk
memelihara amanah yang diberikan
Allah SWT atau
masyarakat, dibutuhkan jiwa
yang betul-betul jujur, dan juga
teguh serta kuat menegakkannya. Jiwa yang amanah menurut konsep
Al-Qur’an adalah jiwa
yang tidak hanya
jujur, tetapi juga teguh
menegakkan kepercayaan yang
diberikan kepadanya, serta menyadari
segala amanah yang
diterimanya berasal dari Allah
SWT. Allah-lah yang
pada hakikatnya mengangkat seseorang
memperoleh kedudukan,derajat, pangkat, jabatan, dan apapun dalam kehidupan dunia.[14]
Kesimpulan
Amanah dalam
perspektif agama Islam memiliki makna dan kandungan yang luas.
Sementara pengertian amanah
menurut kaca mata
kebanyakan orang awam seringkali diletakan pada pemahaman yang sempit,
yaitu sebatas memelihara barang
titipan, padahal makna
hakikatnya jauh lebih luas
dan lebih berat
dari makna yang
diduga. Dari
beberapa definisi yang
berbeda, secara umum makna kata amanah memiliki arti aman, tentram,
terpercaya, tidak mengkhawatirkan, serta tanggung jawab.
Dengan
demikian, makna amanah yang bersumber dari alquran
bisa diartikan dengan segala sesuatu yang dipercayakan, sebuah
tanggung jawab yang
harus dipelihara dan pada
saatnya harus dikembalikan
kepada yang berhak dengan aman. Amanah sebuah
kewajiban, di mana
sudah seharusnya semua
orang Islam saling mengingatkan dan
memohon bantuan kepada
Allah SWT dalam menjaganya.
Amanah memiliki peran penting dalam
kehidupan. Dizaman yang penuh akan fintah ini, untuk menjaga kedamaian,
ketentraman serta kehidupan yang lebih baik dibutuhkan orang-orang yang amanah.
Demi menciptakan kehidupan yang sesuai dengan tuntutan islam, dibutuhkan
pemimpin, guru, penuntut ilmu, pekerja, yang
amanah dalam menjalankan kewajiban masing-masing.
Referensi
Kementrian Agama
RI, Al-Qur’an Dan
Tafsirnya
‘Aidh Al-Qarni, Tafsir Muyassar
M.
Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus
Bahasa Indonesia
Wahbah ibn Mustafa
al-Zuhaili, al-Tafsir al-Wasit
Muhammad Rasyid ibn ‘Ali Rida, Tafsir
al-Manar
Abu Hayyan Muhammadibn Yusuf
al-Andalusi, al-Bahr al-Muhit
Muhammad Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih
al-Gaib
Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn
Hambal, Musnad Ahmad ibn Hambal
Abu
al-Baqa’ Ayyub ibn Musa al-Husaini al-Kafumi, Mu’jam fi al-Mustalahat wa
al-Furuq al-Lugawiyah
atikasalma55.wordpress.com/2012/12/18/makalah-tentang-sifat-amanah-menurut-al-quran/
Rif’at Syauqi Nawawi, Kepribadian
Qur’ani
[1] Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Muhammad
ibn Hambal, Musnad Ahmad ibn Hambal, Juz. III (Cet. I; Beirut: ‘Alam
al-Kutub, 1419 H./1998 M.), h. 135
[2] Abu al-Husain Ahmad ibnFarisibnZakariya, op.cit., Juz.
I, h. 138.
[3] Abu Hayyan Muhammadibn Yusuf
al-Andalusi, al-Bahr al-Muhit, Juz. VII (Cet. I; Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1413 H./1993 M.), h. 243.
[4] MuhammadRasyid ibn ‘Ali
Rida, Tafsir al-Manar, Juz. V (Mesir: al-Haiah al-Misriyyah
al-‘Ammah li al-Kitab, 1990 M.), h. 140.
[5] MuhammadFakhr al-Din
al-Razi, Mafatih al-Gaib, Juz. X (Cet. I; Beirut: Dar al-Fikr,
1401 H./1981 M.), h. 145
[6] Abu ‘AbdillahMuhammadibn Ahmad Syams al-Din al-Qurtubi, al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an, Juz. XII (Cet. II; al-Qahirah: Dar al-Kutub
al-Misriyyah, 1384 H./1964 M.), h. 107.
[7] Abu al-Baqa’ Ayyub ibn Musa
al-Husaini al-Kafumi, Mu’jam fi al-Mustalahat wa al-Furuq al-Lugawiyah(Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1419 H./1998 M.), h. 269.
[8] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah,
(Pesan, Kesan Dan
Keserasian Al- Qur’an), (Ciputat:
Lentera Hati, 2000), h. 457.
[9] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,
Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,
2008), p. 48.
[10] Wahbah ibn Mustafa
al-Zuhaili, al-Tafsir al-Wasit, Juz. I (Cet. I; Damsyiq: Dar al-Fikr,
1422 H.), h. 334.
[11] Kementrian Agama
RI, Al-Qur’an Dan
Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan,... h. 473.
[12] ‘Aidh Al-Qarni, Tafsir Muyassar
Jilid 3,... h. 77.
[13] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah
(Pesan, Kesan Dan
Keserasian Al- Qur’an) V. 9,
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 325-326.
[14] Rif’at Syauqi Nawawi,
Kepribadian Qur’ani,... h. 99.
2 Comments
الله يبارك فيك
ReplyDeleteويبارك فيكم
Delete