AD-DAKHIL FI AT-TAFSIR AL-KASYAF (Analisa Israilliyat pada Tafsir Al-Kasyaf)

 Alif Wiga Asyraq

Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Alifwiga@gmail.com

Abstrak

Al- Dakhīl dalam tafsir yaitu suatu aib dan cacat yang sengaja  ditutup-tutupi dan disamarkan hakikatnya serta disisipkan di dalam  beberapa bentuk tafsir al-Qur’an yang otentik. Ulama yang vokal  membicarakan al-Dakhīl yaitu Al-Dzahabi, dalam karyanya Al-Ittija  al-Munharifah fi Tafsiril Quranil Karim. Salah satu mufasīr yang ia  kritik adalah al-Zamakhsyarī. Al-Dzahabi secara eksplisit menyatakan  bahwa ia tidak menyelidiki secara rinci dan detail penafsiran al Zamakhsyarī di dalam Tafsir al-Kasysyāf tentang al-Dakhīl. Tapi al Dzahabi mengatakan bahwa semakin mengkaji dan membaca lebih  dalam Tafsir al-Kasysyāf maka akan ditemukan banyak al-Dakhīl di  dalamnya.  Penelitian ini menggunakan metode library research atau  penelitian kepustakaan. Kemudian dalam pembahasannya penulis  menggunakan metode “maudhu’i,” yaitu dengan cara membahas  bentuk bentuk pengungkapan-nya dalam al-Qur’an yang berkaitan  dengan ideologi Mu’tazilah untuk mengungkap adanya al-Dakhīl atau  tidak. Setelah melakukan penelitian, penulis berkesimpulan bahwa  bentuk al-Dakhīl yang masuk ke dalam tafsir al-kasysyāf adalah al Dakhīl bi al-Ra’yī. Maksudnya memberikan interpretasi berupa rasio  dan ijtihad yang tidak sesuai dengan keautentikannya. Kemudian  adapun hal yang melatar belakangi terjadinya al-Dakhīl di dalam tafsir  al-Kasysyāf adalah tendensi dan hegemoni Mu’tazilah yang ia anut  dalam menafsirkan doktrin-doktrin Mu’tazilah. Doktrin yang di  gunakan adalah mengkultuskan akal dalam meng-interpretasikan ayat,  sehingga apabila terjadi kontradiktif dengan akal maka harus  ditakwilkan makna tekstualnya.

Kata Kunci : Al-Dakhīl, al-Zamakhsyarī dan Tafsir al-Kasysyāf.

 

1. PENDAHULUAN

            Perkembangan penafsiran manusia terhadap Al-Qur’an semakin berubah seiring bergantinya zaman. Pada awal mula Islam, Nabi Muhammad lah yang langsung menjelaskan makna yang terkandung dalam Al-Qur’an kepada para sahabat. Namun pada masa berikutnya setelah wafatnya Nabi, penafsiran yang dijelaskan oleh para sahabat berdasarkan dengan pemahaman mereka masing-masing. Pada masa inilah mulai munculnya perbedaan dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini dilatar belakangi berbagai faktor, namun faktor yang paling signifikan adalah, pertama adalah faktor internal karena Al-Qur’an sendiri yang memiliki ragam variasi makna sehingga mufassir memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menafsirkannya. Kedua adalah faktor luar yang bersangkutan dengan keadaan mufassir itu sendiri, yaitu terkait dengan akidah yang dianutnya, kualitas pemahamannya terhadap disiplin bahasa Arab, pengetahuannya terhadap ulumul qur’an dan ilmu-ilmu lain yang menunjang dalam penafsirannya.[1] Serta kecenderungan mufassir saat menafsirkan Al-Qur’an yang dipengaruhi dari latar belang penulis, ideologi, politik, penguasa pada masa itu dan sebagainya.

Tafsir merupakan buah pikiran manusia. Maka hal ini pastinya tidak akan terlepas dari kekurangan bahkan penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran. Di antara bentuk penyimpangan-penyimpangan tersebut adalah ad-Dakhil. Menurut ar-Raghib al-Asfahani, kata ad-dakhil yang terdiri dari huruf dal, kha`, dan lam berpusat maknanya pada aib dan cacat internal. Ibn Manzhur mengatakan bahwa ad-Dakhil adalah semua unsur eksternal yang masuk ke dalam diri manusia, dan ia dapat merusak akal, mental dan fisiknya.

 

2. TINJAUAN TEORITIS

 

Penelitian terhadap Israilliyat dan Ad-Dakhil bukanlah hal yang baru. Sebelum penulis, beberapa tahun ke belakang sudah ada beberapa yang meneliti tentang Ad-Dakhil fi At-Tafsir. Diantaranya adalah:

Ad-Dakhil fi At-Tafsir (Studi  Tafsir al-Kasysyaf), Skripisi yang ditulis oleh Muhammad Alwi Abdussalam pada Fakultas Ushuluddin, Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini menjelaskan secara umum dakhil dalam Al-Qur’an dan Tafsir Al-Kasysyaf secara khusus.

Skripsi oleh Fauziah, Ad-Dakhil dalam Tafsir Al-Khazin (Analisa Ad-Dakhil pada ayat-ayat Kisah di surah An-Naml) Skripsi ini menganalisa adanya Ad-Dakhil dalam Tafsir Al-Khazin yang dikerucutkan di surah An-Naml.

-                  Ad-Dakhil fi At-Tafsir Al-Jailany (Dirasah Tahliliyah ‘an Ad-Dakhil Min Surati Al-Hijr ila Surah Al-Kahfi), Tesis yang ditulis oleh Usep Nur Akasah pada fakultas Dirasah Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tesis ini meneliti Ad-Dakhil dalam Tafsir Al-Jailany Karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailany.

-              Tesis oleh Nuha Mala Sidi, الإسرائيليات عند الزمخشري في تفسيره  pada fakultas Al-Qur’an Al-Karim, Jurusan Tafsir dan Ilmu Al-Qur’an, International University of Africa. Tesis ini membahas tentang eksistensi Ad-Dakhil di seperempat awal Al-Qur’an.

    Dalam penelitian ini hal yang pertama kali dilakukan penulis adalah tentang Israiliyat. Pada dasarnya Israiliyat adalah cerita atau informasi yang berasal dari Yahudi dan Nasrani yang telah memeluk agama islam dan menyelusup pada masyarakat islam. Israiliyyat dinisbatkan pada nabi Ya’kub bin Ishaq bin Ibrahim. Sedangkan istilah Yahudi adalah sebutan bagi Bani Israil.[2] Para ulama ahli tafsir dan ahli hadis menggunakan arti yang lebih luas lagi yaitu Israliyyat adalah seluruh riwayat yang bersumber dari orang Yahudi dan Nasrani serta selain dari keduanya yang masuk dalam tafsir maupun hadis. Ada pula ulama tafsir dan hadis yang memberi makna Israiliyyat sebagai cerita yang bersumber dari musuh-musuh Islam, baik Yahudi, Nasrani ataupun lainnya.[3]

    Dalam memuat riwayat Israiliyat, kitab-kitab tafsir mempunyai intensitas yang beragam. Hal ini yang menjadi standar umum untuk meneliti kualitas kitab-kitab tafsir dalam memuat riwayat Israiliyat. Penilaian yang baik atau tidak terhadap sebuah kitab tafsir yang memuat israiliyat tergantung kepada metode penulisan tafsir dalam menggunakan Israiliyatnya.[4] Telah banayak israiliyat yang masuk kedalam kitab-kitab tafsir, mulai dari periode klasik dan kontemporer.

    Masuknya Israiliyat kedalam tafsir sejak dari masa sahabat, dimana pada masa tersebut ketika mereka menemukan kisah dari Al-Qur’an yang bersifat global, mereka menanyakan rinciannya kepada orang ahli kitab yang telah masuk islam. Karena kitab kitab samawi ini memiliki kecocokan terhadap kisah-kisah yang terdapat didalamnya, bedanya terletak pada ringkas dan rinciannya. Selain itu banyaknya tokoh Yahudi yang masuk islam dan menjadi andil besar bagi sahabat untuk menjadinya sebagai sumber penafsiran. Sedangkan dampak masuknya Israiliyat khususnya pada masa tabi’in dan sesudahnya telah menghilangkan kepercayaan kepada sejumlah besar kitab-kitab tafsir dan membawa konsekuensinya munculnya kritik terhadap khazanah tafsir. Juga munculnya tuduhan-tuduhan negatif dan pengaitannya kepada sebagian sahabat dan para imam, yang kepada mereka riwayat-riwayat itu dinisbatkan atau mereka yang meriwayatkannnya dari ahli kitab hal itu menjadi kesempatan bagi musush islm untuk melancarkan tuduhan miring, disamping banyakya riwayat-riwayat sahih yang telah bercampur berita-berita yang dusta tanpa pemilahan.

    Karena itu mufassir harus jeli ketika membaca riwayat dan tabi’in dan sangat berhatihati ketika menelaah riwayat-riwayat dari ahli kitab serta menyaring riwayat yang tidak bertentangan dan akal dan riwayat shahih. Bila ia bisa menghindari riwayat-riwayat dari Bani Israil itu, maka tentu lebih baik dan lebih terhindar dari kemungkinan terjerumus kedalam kesalahan. Muhammad Husain Adz-Dzahabi membagi Israiliyyat ke dalam dua macam yang pertama Israiliyat sebagai kisah dan dongeng kuno yang menyusup ke dalam tafsir dan hadis yang asal periwayatannya kembali pada sumber Nasrani, Yahudi atau yang lainnya. Kedua, Kisah dan dongeng yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadis yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber lama. Kisah itu sengaja diselundupkan dengan tujuan merusak aqidah kaum Muslimin. Pandangan islam terhadap israiliyat pada dasarnya sama, sebagaimana terhadap Yahudi dan Nasrani maka dalam melakukakn penelusuran israiliyat harus berdasarkan al-Quran dan hadis. Pandangan islam terhadap umat-umat terdahulu termasuk Yahudi dan Nasrani, dapat dilihat ketika al-Quran berbicara tentang syariat umat terdahulu.[5]

3. METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini  adalah penelitan kualitatif yang bersifat deskriptif sosionormatif, karena penelitian ini mentrasformasi data-data mentah ke dalam suatu bentuk yang mudah dimengerti dan diterjemahkan. Dan akan diteliti dengan menggunakan pendekatan kritik tafsir. Kritik tafsir adalah cara, prosedur, langkah-langkah ilmiah dan sistematis untuk melakukan analisis, evaluasi dan penilaian terhadap tafsir Al-Qur’an.

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama penelitian adalah mendapatkan data. Dalam hal ini penulis akan menggunakan studi dokumentasi (library research)[6], yaitu mengumpulkan data dari berbagai sumber data yang telah disebutkan di atas untuk kemudian diklasifikasikan berdasarkan sistematika pembahasan. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-analisis. Setelah data diperoleh, data itu akan diolah menggunakan deskriptif-analisis. Metode deskriptif akan penulis gunakan untuk menjabarkan Ad-Dakhil dan Israilliyat, sejarah kemunculan dan perkembangannya, sumber serta bentuknya dan sebagainya.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

        Konsep al-Dakhīl merupakan metodologi dalam mencari asumsi asumsi, argumentasi, dan petunjuk yang salah. Dengan adanya al Dakhīl ini sebagai bentuk untuk menjaga keaslian (keautentikan)  dalam menafsirkan al-Qur’an. al-Dakhil memiliki beberapa pembagian yaitu: bi ma’ṡūr, bi ra’yī dan bi isyarah. al Dakhīl bi ma’ṡūr berdasarkan riwayat baik itu hadis mauḍū’ (palsu),  hadis da’īf (lemah), riwayat isrā’illiyat yang bertentanga dengan al Qur’an dan sunnah juga isrā’illiyat yang tidak didukung oleh ajaran agama, pendapat sahabat dan tabi’in yang tidak valid, pendapat sahabat  dan tabi’in yang bertentangan dengan al-Qur’an, sunnah, hukum logika  dan tidak dapat dikompromikan. Al-Dakhīl bi ra’yī adalah meliputi  interpretasi yang didasari niat buruk dan skeptisme terhadap ayat-ayat  Allah, tafsir eksoteris tanpa mempertimbangkan sisi kepantasannya  bila disematkan kepada Dzat Allah, penafsiran distorsif atas ayat-ayat  dan syariat Allah dengan mengabaikan sisi literal ayat, tafsir esoteris  yang tidak didukung argumentasi yang kuat, penafsiran yang tidak  berbasis pada prinsip dan kaidah tafsir yang baku, penafsiran saintifī k  yang terlalu jauh dari konteks linguistik, sosiologis dan psikologis  ayat. Sedangkan al-Dakhīl fī isyārah (intuisi) adalah meliputi  interpretasi esoteris yang dilakukan oleh sekte Bātinīyah (Syi’ah), tafsir sebagian kaum sufī yang tidak mengindahkan makna eksoteris  ayat.[7]

Dalam kasus Tafsir al-Zamakhsyarī, ditemukan unsur-unsur al dakhil bi al-ra’yī yaitu sumber-sumber penafsiran yang menggunakan  rasionalitas sehingga menjadikan mis-interpretasi dan kehilangan  keautentikan penafsiran al-Qur’an. Salah satu yang menjadikan bi ra’yī  adalah hegemoni mu’tazilah dalam penafsiran prinsip-prinsip lima  dasar (uṣul al-khamsah). Maka langkah selanjutnya adalah  menganalisis ayat-ayat terkait prinsip lima dasar (ushul al-khamasah) di dalam tafsir al-Kasysyāf, di antaranya sebagai berikut:

1. Interpretasi keesaan Allah (tauhid)

Dalam kasus ini, keesaan Allah adalah terkait tunggal-Nya  bersifat fīnal sehingga tidak ada yang bisa menyerupai-Nya dan  Allah juga tidak menyerupai ciptaannya. Terkait ini al-Zamakhsyarī berkomentar mengenai melihat Allah sebagai bentuk bahwa Allah  memiliki jisim (bentuk), sebagaimana bagi kalangan mu’tazilah  menegasikan (penyangkalan/peniadaan) melihat Allah agar menjaga  keesaan (tauhid) Allah. Dalam hal ini tindakan yang dilakukan oleh  al-Zamakhsyarī menakwilkan lafaz al-Qur’an yang tidak sesuai  dengan mazhabnya. Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, al Zamakhsyarī tidak memakai makna zahir al-Qur’an ketika makna  tersebut tidak sesuai bahkan bertentangan dengan mazhab yang  dianutnya. Konsekuensinya, ia memindahkan makna zahir ayat  kepada makna lain (takwil) yang sesuai dengan pahamnya dan rasionalitasnya. Hal tersebut terlihat jelas ketika al-Zamakhsyarī menginterpretasikan QS. al-Qiyāmah [75] 22-23 “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.

Hemat penulis, Zamakhsyari menafsirkan derivasi kata (nāẓirah ) dengan memalingkan makna zahir. Derivasi kata tersebut  menjadi makna منتظرة al-tawaqqu’ wa al-raja (berharap) yaitu  seorang berharap untuk melihat Allah. Sebenarnya, ayat ini secara  eksplisit membicarakan tentang kemampuan manusia untuk melihat  Allah pada hari kiamat. Namun, al-Zamakhsyarī dalam menafsirkan  ayat ini dipengaruhi doktrin-doktrin mazhab Mu’tazilah yang  dianutnya, yaitu prinsip ushul khamsah berupa al-tauhid. 

2. Interpretasi keadilan Allah

Bagi kelompok mu’tazilah Allah melakukan semua  tindakannya dengan baik, sebab Allah mustahil dzalim kepada  makhluk-Nya. Adapun argumentasi kelompok mu’tazilah terkait  Allah melakukan keadilan bagi hambanya yaitu QS. al-Nisā’ [4]: 100. “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka  mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki  yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud  berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian  menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka  sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha  Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Pandangan al-Zamakhasyari Allah mempunyai kewajiban  untuk memberikan pahala bagi hambanya. Karena Allah Maha  Mengetahui dalam hal demikian untuk memberikan pahala bagi  hambanya, dan merupakan kewajiban bagi Allah.[8] Terlihat sekali  al-Zamakhsyarī dalam menafsirkan ayat ini yang memiliki  hegemoni mu’tazilah. Bagi kalangan mu’tazilah adil merupakan  kewajiban Allah dalam menentukan kebaikan hambanya. Dan Allah  tidak akan melakukan kedzaliman kepada hambanya karena itu  keluar dari doktrin adil. Sebagai argumentasi mu’tazilah bahwa  Allah mustahil melakukan kedzhaliman kepada hambanya yaitu QS. Qaf [50]: 29 “Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku.” Maksud ayat ini, Allah mustahil melakukan kedzaliman  kepada hamba-Nya.

3. Interpretasi Janji dan Ancaman (al-wa’d wa al-wa’īd

        Janji (al-wa’d) merupakan kewajiban Allah untuk ditunaikan  bagi hambanya. Dalam hal ini ditemukan interpretasi al Zamakhsyarī dengan memberikan doktrin mu’tazilah terkait Janji  dan Ancaman (al-wa’d wa al-wa’īd) yaitu QS. al-An’ām [6]: 160 “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya  (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang  membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan  melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka  sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).”

            Menurut al-Zamakhsyarī ayat ini merupakan janji Allah  berupa pahala bagi orang yang melakukan kebaikan. Komentar al-Zamakhsyarī, ayat ini merupakan kelipatan janji  Allah. Janji yang diberikan kepada hamba-Nya yaitu pahala.  Kelipatannya adalah satu sama dengan 700 pahala. Dan ini merupakan janji Allah memberikan pahala kepada hamba-Nya.[9]Hemat penulis, Doktrin ini sejalan dengan mu’tazilah bahwa Allah  wajib menunaikan kewajibannya dalam memberikan janji bagi  orang yang melakukan kebaikan. Ketika Allah tidak memberikan  dan menunaikan janji kepada hamba-Nya maka Allah tidak adil.  Karena adil adalah tindakan Allah dengan kebaikan dan Allah  mustahil melakukan keburukan dan kedzaliman.

4. Interpretasi Manzilah Baina Manzilatain

Dalam kasus ini tidak ditemukan mengenai penafsiran al Zamkhsyari terkait tentang doktrin manzilah baina manzilatain.  Adapun ayat-ayat yang digunakan untuk argumentasi terhadap  doktrin ini, menurut Wāṣil b. ‘Atā’ ada dua klasifīkasi yang  dijadikan untuk argument bagi kelompok mu’tazilah di antaranya:  pertama, hukum bagi orang Ahlu kitab sebab mereka mengimani  kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah sebelum Nabi Muhammad,  dijelaskan di dalam QS. al-Taubah [9] 29. Kedua, hukum bagi  orang munāfīq karena mereka masih dalam keadaan Islam tetapi  melakukan kesalahan dosa besar.[10]


5. Interpretasi Amr Ma’rūf Nahi Munkar

Doktrin ini maksudnya yaitu melakukan kebaikan dan  meninggalkan larangan. Menurut kalangan mu’tazilah,  mengaktualisasikan doktrin ini hukumnya adalah fardu kifāyah  (wajib universal). Dalam hal ini, al-Zamakhsyarī sejalan dengan  ideologi yang ia ikuti. Terbukti ia menafsirkan QS. ‘Ali ‘Imran [3]  104 “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat  yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf  dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang  beruntung.”

Ayat ini menurutnya, jangan jadikan sebuah kelompok  terpecah belah (terkelompok), karena melakukan kebaikan dan  meninggalkan larangan merupakan kewajiban yang universal (fard  kifāyah).[11] Doktrin ini sejalan dengan Ahl al-Sunnah wa al Jama’ah bahwa mereka melakukan kebaikan dan meninggalkan  larangan. Adapaun perbedaan dalam doktrin adalah mengenai  klasifī kasi perintah melakukan kebaikan (ma’rūf). Menurut  mu’tazilah amr ma’rūf terbagi dua di antaranya: wajib (harus) dan mandūb (sunnah). Sedangkan bagi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah,  klasifī kasi mengenai amr ma’rūf hanya satu yaitu wajib.[12]

5. PENUTUP

Setelah melakukan penelitian di dalam pembahasan sebelumnya, maka  kesimpulannya sebagai berikut:

1.      Bentuk al-Dakhīl yang masuk ke dalam tafsir al-kasysyāf adalah al-Dakhīl bi al-Ra’yī. Maksudnya memberikan  interpretasi berupa rasio dan ijtihad yang tidak sesuai dengan  keautentikannya. Adapun unsur-unsur al-Dakhīl bi al-Ra’yī adalah uṣūl al-khamsah (lima prinsip dasar) kelompok  mu’tazilah. Pertama, mengenai keesaan (tauhid) Allah yang  tidak bisa dilihat oleh manusia karena Dia tidak memiliki  bentuk (tajsim). Kedua, konsep adil Allah yang semua  tindakan-Nya merupakan kebaikan dan mustahil untuk  melakukan keburukan. Ketiga, konsep janji ancaman Allah  (al-wa’ad wa `a-waīd) dengan maksud Allah wajib  menyelesaikan janji kepada Hamba-Nya dengan memberikan  pahala tanpa mengurangi keadila-Nya seperti dzalim  mengurangi pahala dan menambah pahala hamab-Nya.

2.      Adapun hal yang melatar belakangi terjadinya al-dakhīl di  dalam tafsir al-Kasysyāf adalah tendensi dan hegemoni  mu’tazilah yang ia anut dalam menafsirkan doktrin-doktrin  mu’tazilah. Doktrin yang mereka gunakan adalah  mengkultuskan akal dalam menginterpretasikan ayat,  sehingga apabila terjadi kontradiktif dengan akal maka harus  ditakwilkan (memalingkan) makna tekstualnya.

DAFTAR PUSTAKA

‘Abdurrahman, Ahmad Sa’īd Ibrahīm. Muqaddimah Uṣūl Tafsīr. Kairo: Dar-Al-Bashāir, 2006.

Akasah, Usep Nur. “Al-Dakhīl fī al-Tafsīr Al-Jailany: Dirasah  Tahliliyah ‘an Al-Dakhīl Min Surati Al-hijr ila Surah Al-Kahfi.” Tesis S2 Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2016.

Anas, Muhammad. “Al-Dakhīl dalam Tafsir al-Mawardy: Studi atas  Kitab al-Nukāt wa al-‘Uyūn Juz 1 dan 2.” Skripsi S1 UIN Sunan  Gunung Djati Bandung. 2004.

Anwar, Rosihon. Melacak Unsur-Unsur Israīlīyat dalam Tafsir al Ṭabari dan Tafsir Ibnu Kaṡir. Bandung: Pustaka Setia. 1999.

Al-Asy’arī, Abū al-Ḥasan ‘Alī ibn Ismāīl ibn Isḥāq. Maqālāt al Islamiyyin wa Ikhtilāf al-Mushallīn. Bairut: Maktabah al- ‘Asriyyah. 1990.

Baidan, Nashirudin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2000.

Bari, Fahul. “Dakhīl dalam Kitab Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al Ta’wil Karya Al-Bayḍawi: Kajian Surat al-Fatihah dan Surat al Baqarah.” Disertasi S3 IAIN Sunan Ampel Surabaya. 2013.

Bustami, Hafni. “Metode Nahwu Al-Zamakhsyarī: Analisis Terhadap  Penggunaan Dalil Nahwu Dalam Tafsir Al-Kasysyāf.” Disertasi S3 UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta, 2008.

Carwa. “al- Dakhīl dalam Video Negeri Saba' Versi Al-Qur’an Fahmi  Basya.” Skripsi S1 UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 2012.

Al-Dzahabi, Muhammad Husain. Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Kairo:  Dār al-Hadis. 2005.

_______. Manāhilul ‘Irfān fī Ulum al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Kutub al Hadīts. 1979.

_______. Penyimpangan-penyimpang-an dalam Penafsiran al-Qur’an. terj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein. Jakarta: PT Raja  Grafindo Persada. 1996. 

Al-Farmawi, ‘Abd al-Hayy. Metode Tafsir Mauḍu’i: Sebuah Pengantar  Terj. Surya A. Samran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1996.

_______. Al-Bidayah Fī ala Tafsir al-Mauu’iy. Mesir: Maktabah al Jumhuriyyah. 1977.

Fāyed, ‘Abd al-Wahhāb ‘Abd al-Wahhāb. al-Dakhīl fī Tafsīr Alqurān  al-Karīm. Kairo: Maṭba’ah al-Ḥaḍārah al-‘Arabiyyah. 1980. 

Ghozali, Moh. Alwy Amru. “Menyoal Legalitas Tafsir: Telaah Kritis  Konsep Al-Aṣil Wa Al-Dakhīl.” Tafsere. Vol. 6. No. 2. (2018).

Harun. “Dakhīl Al-Naqli dalam Tafsir Fath al-Qadir al-Shawkani:  Kajian ayat-ayat tentang kisah Nabi Ibrahim as.” Skripsi S1 Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung. 2019.

Humaira, Dara dan Khairun Nisa. “Unsur I’tizali Dalam Tafsir Al Kasysyāf: Kajian Kritis Metodologi Al-Zamakhsyarī.” Maghza.  Vol. 1. No. 1 (Januari-Juni 2016).

Islam, Ahmad Fakhruddin Fajrul. “Al-Dakhīl Fī Tafsīr: Studi Kritis  dalam Metodologi Tafsir.” Tafaqquh. vol. 2. No. 2 (Desember 2014).

Al-Juwainī, Mustafa al-Ṣawi. Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al Qur’an wa Bayān I’jāzihi. Mesir: Dār al-Ma’ārif. t.t.

Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an.  Bandung: Pustaka Setia. 2004.

Khalifah, Ibrahim ‘Abd al-Rahman Muhammad. Al- Dakhīl fī al Tafsīr. Kairo: Dar al-Bayan. 1996. 

Lestari, Lenni. “Konsep Keadilan dan Indetrminasi Menurut al Zamakhsyarī: Analisis Terhadap Kisah Nabi Adam dan Hawa  dalam Tafsir al- Kasysyāf.” Syahadah. Vol. 2. No. 2. Oktober.  2014.

Munayyir, Ibn. Al-Masā’il al-I’tizaliyyah fī Tafsīr al-Kasysyāf li Al Zamakhsyarī. Saudi Arabia: Dar al-Andalas. 1997. 

Al-Mu’tīq, ‘Awwād bin ‘Abdullah. Al-Mu’tazilah wa Ushuluhum Al Khamsah wa Mauqifu Ahlus Sunnah Minhā. Riyād: Maktabah al Rusyd. 1995.

Mursyid, Ali dan Zidna Khaira Amalia. “Benarkah Yusuf dan Zulaikha  Menikah?: Analisa Riwayat isrā’īlīyāt dalam Kitab Tafsir.”  Wawasan. Vol. 1. No. 1. Januari. 2016.

Mustafa, Ibrahim. Al-Mu’jam al-Wasit. Turki: Dar al-Da’wah. 1990.

Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an: Studi Aliran Aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga  Modern-Kontemporer. Yogyakarta: Adab Press. 2014.

Na’if, Fauzan. Al-Kasysyaf Karya Al-Zamakhsyarī dalam A. Rofiq:  Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2004.

Al-Najjār, Jamāl Musṭafa. Uṣul al-Dakhīl fī al-Tafsīr Ayy al-Tanzīl.  Kairo: Universitas al-Azhar. 2009. 

Pratama, Priyo. “Dakhīl Al-Naqli dalam Tafsir Jāmi’ Al-Bayān ‘an  Ta’wīl āy Al-Qur’ān Karya Ibnu Jarir Al-Ṭabari: Kajian Tentang  Kisah Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as.” Skripsi S1 Universitas  Islam Negeri Sunnan Gunung Djati Bandung. 2018.

Al-Qattān, Mannā’ Khalīl. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. terj. Mudzakir.  Bogor: Litera AntarNusa. 2011.

Rasyid, Daud. Islam dalam Berbagi Dimensi. Jakarta: Gema Insani  Press. 1998. 

Shaikh,M. Saeed. Studies in Muslim Philosophy. Delhi: Shah Offset  Printer. 1994.

Shofa, Maryam “Al-Dakhīl dalam Tafsir al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān  Karya al-Qurtubī: Analisis Tafsir Surah al-Baqarah.” Suhūf. Vol.  6. No. 2 (2013). 

Sihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Jakarta: Mizan. 1992.

Sou’yb, Joesoef. Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Pikiran  Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna. 1982.

Sriwayuti. “Al-Dakhīl dalam Tafsīr al-Munīr al-Tanzīl Karya Syaikh  Nawawi al-Bantani.” Skripsi S1 UIN Sunan Ampel Surabaya.  2017.

Al-Suyūtī, Jalāl al-Dīn. al-Iṭqān fi ‘Ulūm al-Qur’an. Bairut: Resalah  Publisher. 2008. 

Al-Syahrastānī, Abī al-Fath Muhammad bin ‘Abd al-Karīm. al-Milal  wa al-Nihal. Bairut: Dār al-Kitan al-‘Alamiyyah. 1992.

Syahibah, Muhammad bin Muhammad Abū. Isrā’īlīyāt wa al Mauḍū`āt fī Kutub al-Tafsīr. Kairo: Maktabah Sunnah. 2006.

Ubaidillah, Ismail. “Kata Serapan Bahasa Asing Dalam Al-Qur’an  Dalam Pemikiran At-thabari.” At-ta’dib. Vol. 8 no. 1 (2013).

Ulinnuha, Muhammad. “Konsep al-Aṣīl dan al-Dakhīl dalam Tafsir al Qur’an. Madania. Vol. 21. No. 2. Desember. 2017.

Zakiyah, Ermita. “Aspek Paham Mu’tazilah Dalam Tafsir Al- Kasysyāf Tentang Ayat-Ayat Teologi: Studi Pemikiran al-Zamakhsyarī.”  Tesis S2 Institut Agama Islam Negri Sunan Ampel. 2013.

Al-Zamakhsyarī, Abī al-Qāsim Mahmūd bin ‘Umar al-Khawārizmī. al Kasysyāf ‘an Haqāiq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al Ta`wīl. Riyād: Maktabah al-‘Abīkān. 1998.

Al-Zarqānī, Muhammad ‘Abd al-‘Azīm. Manāhil ‘Irfān fī ‘Ulūm al Qur’an. Dār Kitab al-‘Arabī. 1995. 

Zuhelmi. “Epistimologi Pemikiran Muktazilah Pengaruhnya terhadap  Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia.” LIA. No.2.  Desember (2013).



[1] Manna’ al-Qattan , Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, trj.Mudzakkir AS. (Bogor:Litera AntarNusa, 2011), 462-465.

[2] Muhammad Husain AdzDzahabi, Israiliyat fit Tafsir wal hadits (Mesir :Mujamma’ul Buhus AlIslamiyah), 19

[3] Muhammad Husain Al-Dzahabi, Israiliyah dalam Tafsir dan Hadits, terj. Didin Hafidzuddin (Jakarta: Litera Antar Nusa,1993), 9

[4] Rosihon Anwar, Kedudukan Israiliyat dalam Tafsir Al-Quran, (Skripsi Bandung ,1993).9

[5] Mansyurat Al-‘Asr al-Hadis. Mabahis fi ulumumil Quran,.64.

[6] Sugiyono, Metode Penelitian Manajemen, (Bandung: Alfabeta, 2016) 396.

[7] Ulinnuha, Metode Kritik al-Dakhīl, 75-78.

[8] Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, 270.

[9] Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, 419

[10] Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 255-257.

[11] Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, 604.

[12] Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 269.

Post a Comment

0 Comments