Rintikan hujan jatuh membasahi Bumi, seakan ia tau bahwa ada sosok yang sedang berduka. Seorang anak desa yang masih ingusan. Ia hanya ingin melanjutkan pendidikannya ke sebuah kota. Kota yang masih belum terjamah tentang bentuk dan rupanya. Mempertimbangkan berbagai macam konsekuensi, untuk memilih sesuatu yang lebih baik. Berpendapat pun sudah tak ada ruang. Hanya bisa mengikuti arah angin yang menggiring perlahan. Menuju pemberhentian yang belum pernah terbayangkan.
Entah apa yang ada di dalam benakku waktu itu, yang ku tau jiwa dan raga ini hanya ingin mengubah peradaban dalam lingkungan kecil yang monoton. Mencoba kesempatan. Suasanya hening pasca tangisan masih menghiasi suasana rumahku. Keluarga ini begitu khidmat. Alhamdulillah, Tuhan lahirkan aku dalam keluarga yang sederhana, namun mengerti tentang kasih dan sayang. Apalagi yang mampu ku ucapkan selain terus membentengi diri. Bahwa aku memang bertekad dan akan selalu kuat. Mencapai asa yang belum terbanyang suasananya.
Seketika, bus rute Takengon-Medan menepi diseberang jalan. Warnanya senyap akibat terhalang oleh hujan yang semakin tegas berjatuhan. Satu persatu barang dinaikkan. Cukup banyak, karena dari tiga orang, akan dua orang yang mengantar akan ada satu orang tinggal. Wajar jika bawaanya banyak. Mengingat jarak yang amat jauh. Sejauh pulau Sumatera dengan pulau Jawa.
Aku sadar, sudah waktunya ku langkahkan kaki. Ku tatap mata Ibuku yang bercampur air kesedihan. Tapi aku bungkam, tak ada yang dapat ku sampaikan selain doa restu dalam hatiku yang berteriak. Spontan air mataku keluar, ku peluk erat ibuku. Ku minta do'a restu dari tangan kasih sanyangnya yang begitu lembut. Aku pun harus berlalu. Meninggalkan orang-orang terbaik dalam umurku yang sudah sampai 17 tahun. Entah kapan lagi aku dapat menatap wajah-wajah itu. Biarlah itu ku simpang, sampai dengan tiba waktuku untuk kembali ke tumpuan.
Ayah dan Adik bungsuku sudah terlebih dahulu duduk di dalam Bu. Posisi yang tak begitu jauh ke belakang. Ku telusuri kursi demi kursi, sambil menatap ke arah rumah gubuk yang begitu hangat. Aku berharap tempat itu selalu diberi rahmat berserta penghuni-penghuninya.
Aku duduk dengan lemah, antara kuat dan tidak. Bus tak peduli keadaanku. Dia hanya melaju tepat ketika semua penumpang sudah duduk rapi.
Ayahku menatapku. Pandangan matanya mengisyaratkan "Kamu pasti kuat". Mataku pun terpejam. Spontan dalam 30 perjalanan aku terbangun, kelokan jalan yang berliku-liku sudah menjadi teman sejati setiap kendaraan di tempat ini. Dengan ketinggian 2500 mdpl, tempat ini menjadi salah satu wisata pegunungan yang terfavorite di Aceh.
Dalam keadaan sedikit terpejam tanganku meraih handphone di saku kiriku. Ku cari sebuah nama dengan sedikit mengintip layar.
"Aku udah di jalan, mau berangkat ke Jawa" Ku sampaikan singkat.
Lima menit berlalu, handphone-ku bergetar.
"Iya, hati-hati di jalan" Jawabnya.
"Boleh aku nunggu kamu?" Tanyaku.
Sepertinya di luar sudah hujan. Aliran air deras mengalir di antara kaca-kaca bening yang berada di sampingku. Gelapnya begitu pekat, hanya ada cahaya lampu kendaraan yang berlalu lalang. Selebihnya hanya hutan, tebing, dan jurang yang menemani setiap pengendara yang lewat.
"Jangan, gak mau ditunggu, dan gak mau nunggu" Ujarnya.
Suasana pun semakin hening, rasanya malam ini aku mengalami dua kehilangan sekaligus. Entah ujian apa ini. Apa harus seperti ini jalan yang ku hadapi untuk sepenggal mimpi. Ingin rasanya ku berteriak. Mengutuk untuk diriku sendiri. Untuk cerita yang ku kira dapat menjadi mimpi. Namun harus berakhir semudah ini. Apa aku masih belum dewasa? Sehingga harus selemah ini aku menghadapinya. Seakan tak berdaya. Tak mampu berkata-kata, meski hanya dalam pikiranku. Hujan terasa semakin deras, seolah-olah menembus kaca jendela. Seakan ia tertawa akan apa yang baru saja aku alami malam ini.
Pikiranku buntu. Berat beban dalam dadaku. Aku pun tertidur dalam lara.
Bersambung ...
0 Comments