Ta’wil Dan Problema Penerapannya



Secar etimologi, takwil ditrujuk dari kata : يُؤَوِّلُ - أَوَّلَ yang berarti At-Tafsir, Al-Maarja’, Al-Mashir. Demukian pendapat Abu Ubaidah Ma’mar bin Al-Matsani dan keterangan yang dikemukakan oleh Abu Ja’far Al-Thabary (Adib Shalih, 1984 : 356). Disamping itu, takwil juga bermakna Al-Jaza’, seperti firman Allah SWT :
ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا
 “... yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akubatnya.” (QS. An-Nisa: 59)
Dengan demikian, takwil mempunyai makna At-Tafir (penjelas, uraian) atau Al-Marja’, Al-Mashir (kembali, tempat kembali) atau Al-Jaza’ (balasan yang kembali padanya).
Kajian takwil sebagaimana ijtihad dengan ra’yu, tidak menyangkut nash-nash yang qath’i, baik secara khusus maupun umum, yang merupakan landasan kaidah-kaidah fiqh yang berguna untuk menentukan ketetapan hukum permasalahan furu’, sehingga para imam dapat menerima dan mengamalkannya. Selain itu, takwiljuga tidak menyangkut hukum-hukum agama penting lainnya yang mudah ataupun sulit untuk dipahami yang merupakan dasar-dasar syari’at. Juga tidak mencakup peraturan-peraturan syari’at yang bersifat umum, diantaranya bahan-bahan yang memerlukan penafsiran dan pematokan hukum, karena maksud syara’ harus diterangkan secara jelas dan digambarkan secara qath’i agar terhindar dari munculnya arti spekulatif.
Adapun kajian takwil kebanyakan adalah firu’ sebagaimana pendapat Imam Asy-Syaukani. Selain itu hal-hal yang jelas dan nash yang merupakan kajian takwil juga. Itu semua kajiantakwil secara global dan terbatas bila belum ada panafsiran dari syari’at secara menyeluruh.
Takwil semakin berkembang pembahasannya, sehingga menurut Hanafi mencakup nash dan zhahir.
Takwil adalah metode ijtihad yang zhanni, sedangkan zhanni tidak akan kuat melawan yang qath’i. Contohnya menakwilkan kisah-kisah yang ada dalam Al-Qur’an dengan mengubah arti yang zhahir menjadi fiksi (yang tidak terjadi). Penakwilan seperti itu bertentangan dengan kejelasan ayat yang qath’i yang menjadikan kisah tersebut sebagai kejadian sejarah yang nyata.
kajian ijtihad dengan ra’yu dalam takwil, harus sesuai dengan persyaratannya, tidak hanya sebatas pengambilan istibath berdasarkan akal semat-mata, melainkan yang berlandaskan pada bahasa yang mampu menghasilkan arti yang tercakup dalam arti lafazh tersebut.


Post a Comment

0 Comments