Alam semesta merupakan kumpulan berbagai objek angkasa yang
interaksinya menimbulkan berbagai macam fenomena. Pengamatan mengenai fenomena
yang terjadi menjadi disiplin ilmu tersendiri yaitu ilmu falak. Ilmu falak
merupakan ilmu tentang gerakan Matahari , bumi dan bulan. Salah satu tujuan
dari mempelajari ilmu ini untuk terlaksananya ibadah salat dan puasa. Allah
berfirman dalam al Qur’an surat an Nisa’ ayat 103:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya
sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman”.
Banyak Ayat dalam Al qur’an yang menerangkan
waktu-waktu salat yang diperinci berdasarkan perubahan siang dan malam
(peredaran Matahari). Salat zuhur dan asar yang dilaksanakan pada siang hari
sedangkan malam hari dipergunakan untuk menunjukkan waktu Magrib dan Isya dan
sholat Shubuh ditentukan berdasarkan fajar. Pada Q.S. Hud ayat 114 Allah
berfirman:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
“Dan
dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada
bagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu
menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi
orang-orang yang ingat”.
Pada
ayat lain, Allah berfirman dalam Q.S. al Isro’ ayat 78:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah salat dari sesudah Matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat)”.
Selain itu, pada surat Thoha ayat 130 Allah
berfirman:
فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا وَمِنْ ءَنَاءِ اللَّيْلِ فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ لَعَلَّكَ تَرْضَى
“Maka
sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji
Tuhanmu, sebelum terbit Matahari dan
sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan
pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang”
Waktu sholat ditentukan berdasarkan posisi Matahari diukur dari suatu tempat di muka bumi.
Menghitung waktu sholat pada hakekatnya adalah menghitung posisi Matahari sesuai dengan yang kriteria yang ditentukan
ditentukan. Firman Allah dalam Al-Qur’an Q.S. al Furqon ayat 45:
أَلَمْ تَرَ إِلَى رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ وَلَوْ شَاءَ لَجَعَلَهُ سَاكِنًا ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيلًا
“Apakah kamu tidak memperhatikan
(penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan)
bayang-bayang; dan kalau dia menghendaki niscaya Dia menjadikan tetap
bayang-bayang itu, kemudian Kami jadikan Matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu”
Dalam penetapan waktu salat, kesemuanya tidak lepas dari peredaran
Matahari mulai dari terbit Matahari ,
kulminasi, terbenam, midninght dan terbit kembali selama 24 jam. Banyak
istilah yang digunakan untuk mewakili fenomena-fenomena tersebut dalam ilmu
falak salah satunya adalah Sa’ah Zawaliyyah atau bisa diartikan
waktu tergelincirnya Matahari dari
tengah langit.
Banyak literatur baik berupa buku ataupun kitab yang membahas ilmu
ini salah satunya kitab Durusul Falakiyyah. Walaupun kitab ini tergolong
kitab klasik karena untuk menghitung menggunakan alat klasik yaitu rubu’
mujayyab, tetapi sampai saat ini masih dikaji di berbagai pesantren maupun
madrasah diniyyah. Dari sinilah penulis tertarik untuk membahas Sa’ah Zawaliyyah
dalam kitab Durusul Falakiyyah.
3.1. Biografi Penulis Kitab Durusul Falakiyyah
Nama lengkap Ma’shum Ali adalah Ma’shum bin Ali bin Abdul Muhyi Al
Maskumambangi. Ma’shum Ali dilahirkan di desa Maskumambang Kecamatan Kawedanan
Sedayu Kabupaten Gresik pada tahun 1305 H/ 1887M.[1]
Ma’shum Ali anak dari pasangan Kyai Ali dan Nyai Muhsinah. Ma’shum Ali anak
pertama dari 5 bersaudara, yaitu Muhammad Mahbub, Adlan Ali, Mus’idah dan
Rohimah.[2]
Ma’shum bin Ali adalah seorang pemuda dari Maskumambang Gresik.
Terlahir di Lingkungan Pesantren yang sangat kental dengan ilmu agama Islam.
Kemudian sangat dikenal oleh KH.Hasyim Asy’ari Pendiri Pondok Pesantren
Tebuireng Jombang. Beliau tumbuh dan berkembang dibawah asuhan KH Hasyim
Asyari. Semua saudaranya juga dibawah asuhan KH.Hasyim Asy’ari.
Bertahun-tahun Ma’shum Ali berserta saudaranya mengabdi di
Tebuireng. Beliau juga adalah santri generasi awal dari KH Hasyim Asyari.
Dengan kecerdasan dan keuletannya, beliau mampu menguasai segala bidang ilmu
dan ahli dalam bidang ilmu falaq, hisab, sharaf, dan Nahwu. Karena keuletan dan
kecedasan yang dimiliki, KH Hasyim Asyari ingin menjadikan beliau generasi
penerus dengan menikahkan dengan putri keduanya yaitu Khairiyah.
Sistem pendidikan saat Kyai Ma’shum Ali belajar kepada ayahnya,
dengan cara mendapatkan pendidikan pertamanya langsung dari Kyai Ali, karena
sistem pendidikan saat itu belum terorganisir seperti sekarang,masih berupa
kelompok-kelompok. Hal ini dinyatakan oleh Karel seperti:“ Selain
diberikan secara individual,mata pelajaran juga diberikan secara berkelompok
dalam satu lingkaran kepada beberapa santri sekaligus yang disebut halaqah.”[3]
Ma’shum adalah Kyai muda yang banyak talenta. Beliau adalah ulama
yang ahli dalam bidang falaq yang sekarang dikenal dengan ilmu astronomi.
Beliau juga ahli dalam bidang alat balaghoh, nahwu, sharaf, hisab dan
lain-lain. Kyai Ma’shum Ali adalah pribadi yang sederhana, rajin, dan ulet.
Beliau juga adalah Kyai yang kharismatik yang pandai mendidik santri-santrinya.
Tetapi karena penyakit paru-paru yang dideritanya. Tepat pada tanggal 24
Ramadan 1351 atau 8 Januari 1933, KH. Ma’shum Ali dipanggil oleh Allah dalam
usia yang masih muda, yaitu kurang lebih 46 tahun. Pada saat kehadirannya masih
didambakan oleh semua orang yang mengenalnya. Khususnya para santri.[4]
3.2. Pengertian Sa’ah Zawaliyyah
Sa’ah Zawaliyyah adalah
waktu Matahari tergelincir. Dalam ilmu
falak disebut dengan zawalusysyamsi. Secara etimologi kata zawalusysyamsi
terdiri dari penggalan zawal berarti tergelincir dan as-syams
berarti Matahari . Sehingga jika digabungkan menjadi “Matahari tergelincir”. Secara terminologi istilah
zawalusyamsi adalah waktu dimana posisi Matahari tergelincir dari pusat langit.
وهو ميل
الشمس
عن
وسط
السماء
المسمى
بلوغها
إليه
بحالة
الإستواء
إلى
جهة
المغرب
لا
في
الواقع
بل
في
الظاهر
لأن
التكليف
إنما
يتعلق
به
وذلك
بزيادة
ظل
الشئ
على
ظله
حالة
الإستواء
أو
بحدوثه
إن
لم
يبق
عنده
ظل
“Zawal
Matahari adalah condongnya Matahari dari tengah-tengah langit menuju bagian barat
langit tidak dalam kenyataannya tetapi dalam dzahir (kelihatan)nya saja, karena penentuan
hukum bergantung pada hal yang dzahir. Tergelincirnya Matahari diketahui ketika bayangan suatu benda saat
Matahari tepat di tengah langit
bertambah panjang atau munculnya bayangan ketika tidak ada bayangan dari suatu
benda saat Matahari tepat di tengah
langit”.[5]
الزوال يعرف
بزيادة
ظل
الأشخاص
المنتصبة
مائلا
إلى
جهة
المشرق
إذ
يقع
للشخص
ظل
عند
الطلوع
في
جانب
المغرب
مستطيل
فلا
تزال
الشمس
ترتفع
والظل
ينقص
وينحرف
عن
جهة
المغرب
إلى
أن
تبلغ
الشمس
منتهى
ارتفاعها
وهو
قوس
نصف
النهار
فيكون
ذلك
منتهى
نقصان
الظل
فإذا
زالت
الشمس
عن
منتهى
الإرتفاع
أخذ
الظل
في
الزيادة
“Zawal
Matahari bisa diketahui dengan
bertambahnya bayangan suatu benda tegak yang bergerak menuju barat. Karena pada
setiap benda timbul bayangan panjang di bagian barat ketika Matahari terbit. Matahari terus-menerus bergerak keatas dan bayanganpun memendek dan bergerak dari barat
hingga Matahari mencapai titik
kulminasi, yaitu waktu pertengahan hari. Pada saat itu terjadilah bayangan
terpendek suatu benda. Ketika Matahari
bergerak dari titik puncak, maka bayangan bertambah panjang”.[6]
وإذا أردت
معرفة
الزوال
فاعتبره
بقامتك
أو
شاخص
تقيمه
في
أرض
مستوية
وعلم
على
رأس
الظل
فما
زال
الظل
ينقص
من
الخط
فهو
قبل
الزوال
وإن
وقف
لا
يزيد
ولا
ينقص
فهو
وقت
الإستواء
وإن
أخذ
الظل
في
الزيادة
علم
أن
الشمس
زالت
“Jika
ingin mengetahui zawal Matahari maka
lakukan percobaan dengan tubuh atau menancapkan suatu benda lurus pada
permukaan tanah yang datar dan tandai ujung bayangan. Bayangan akan
terus-menerus memendek dan itulah waktu sebelum zawal, ketika bayangan berhenti
tidak memanjang dan memendek maka itulah waktu istiwa’ (Matahari tepat di tengah langit), dan ketika bayangan
mulai memanjang maka Matahari telah
zawal (tergelincir)”.[7]
ولمعرفة ذلك
تغرز
خشبة
مستوية
أو
نحوها
في
أرض
مستوية
قبل
الظهر
في
الشمس
فيكون
لها
ظل
طبعا
فيأخذ
الظل
في
النقص
شيئا
فشيئا
حتى
لا
يبقى
منه
سوى
جزء
يسير
وعند
ذلك
يقف
الظل
قليلا
فتوضع
عند
نهايته
علامة
إن
بقي
شئ
من
ظل
الخشبة
وإلا
فيكون
البدء
من
نفس
الخشبة
كما
في
الأقطار
الإستوائية
ومتى
وقف
الظل
كان
ذالك
وقت
الإستواء
فإذا
أخذ
في
الزيادة
علم
أن
الشمس
زالت
أي
مالت
عن
وسط
السماء
“Untuk
mengetahui zawal Matahari dapat
diketahui dengan menancapkan benda lurus pada permukaan tanah yang datar
sebelum zuhur di tempat yang terkena sinar Matahari , dari benda tersebut pasti
terdapat bayangan. Bayangan akan memendek sedikit demi sedikit hingga tersisa
sedikit, pada saat itulah bayangan berhenti sejenak, kemudian tandai bayangan
saat mencapai titik terpendek jika masih terdapat bayangan dan jika tidak
terdapat bayangan maka tandai dari benda tersebut, seperti yang terjadi pada
daerah aqthoril istiwa’iyyah (daerah yang tidak muncul bayangan dari suatu
benda saat Matahari di tengah langit).
Saat bayangan berhenti maka itulah waktu istiwa’, saat bayangan bertambah
panjang maka telah diketahui bahwa Matahari
telah zawal yang berarti Matahari
condong dari tengah-tengah langit”.[8]
Fenomena zawalusysyamsi terjadi sebetulnya akibat dari
gerak rotasi Bumi. Bumi yang kita diami ini selalu bergerak. Salah satu gerak
yang dilakukan oleh bumi dan planet lainnya adalah rotasi. Rotasi bumi adalah
perputaran bumi pada poros atau sumbunya. Arah rotasi bumi dari barat ke timur.
Untuk melakukan satu kali rotasi bumi memerlukan waktu 23 jam 56 menit 4 detik,
dibulatkan menjadi 24 jam. Waktu untuk satu kali rotasi disebut kala rotasi.
Setiap hari kita mengalami siang dan malam secara teratur. Pada
pagi hari Matahari terbit di sebelah
timur tanda hari mulai siang dan tenggelam di sebelah barat tanda hari mulai
malam. Kejadian alam tersebut disebabkan karena bumi berotasi. Ketika bumi
berotasi, daerah-daerah di bumi yang terkena sinar Matahari mengalami siang dan daerah-daerah di bumi yang
tidak terkena Matahari mengalami waktu
malam.
Setiap hari kita melihat Matahari seolah-olah bergerak dari timur ke barat. Hal
ini terjadi karena kita bergerak mengikuti rotasi bumi dari barat ke timur
sedangkan Matahari diam. Dengan
demikian, kita akan melihat gerak semu harian Matahari .Gerak semu harian Matahari
merupakan salah satu akibat dari rotasi
Bumi. Dengan adanya gerak semu harian Matahari kita melihat seolah-olah Matahari terbit dari timur dan terbenam di barat.
Terdapat beberapa dampak rotasi Bumi, Kertiasa (2004) menjelaskan
bahwa salah satu akibat rotasi bumi adalah Peredaran semu harian bintang. Kita
dapat melihat Matahari bergerak terbit
dari timur lalu naik lewat diatas kepala kita dan akhirnya terbenam di sebelah
barat. Keesokan harinya Matahari akan
terbit lagi di timur. Pergerakan Matahari itulah yang dinamakan peredaran semu harian.
Dinamakan semu karena gerakan itu hanya tampak oleh pengamat, bukan peredaran
yang sebenarnya.
Di antara kedudukan Matahari terkait dengan zawaliyyah adalah
kulminasi atau Meridian Pass. Kulminasi (Meridian Pass) adalah
posisi waktu pada saat Matahari tepat di
titik kulminasi atas atau tepat di meridian langit menurut waktu pertengahan,
yang menurut waktu hakiki saat itu menunjukkan tepat jam 12 siang. Titik
kulminasi ini merupakan posisi Matahari pada kedudukannya yang
tertinggi dalam perjalanan hariannya.[9]
Titik tengah yang ditentukan sebagai titik kulminasi ini merupakan
garis perjalanan Matahari yang ditarik
dari ufuk barat dan ufuk timur sepanjang horizon. Nilai ketinggian
atau altitude Matahari tertinggi
dalam perjalanannya adalah 900 yang mana pada saat itu posisi Matahari
tepat pada meridian bumi. Sehingga
garis meridian merupakan garis setengah lingkaran langit yang menghubungkan
titik arah utara, zenit dan titik selatan.
Pada saat kulminasi, Matahari memiliki hour angle (sudut waktu) sama
dengan nol derajat. Sementara, azimut Matahari pada saat kulminasi menurut suatu
tempat pengamatan tertentu bisa bernilai 00 atau
1800. Jika pada saat transit, Matahari terletak di belahan langit utara, atau tepat
di titik pada garis yang menghubungkan titik zenit dengan titik arah
utara, nilai azimut Matahari sama dengan
00. Sementara jika terletak di belahan langit selatan, atau tepat di
titik pada garis yang menghubungkan titik zenit dengan titik
arah selatan, nilai azimut Matahari sama
dengan 1800.
Pada saat kulminasi jika arah bayangan benda terletak di sebelah
selatan benda, berarti posisi Matahari berada di sebelah utara ekuator sehingga nilai
azimut Matahari bernilai 1800.
Jika arah bayangan benda pada saat kulminasi berada di sebelah
utara benda, berarti Matahari terletak
di sebelah selatan ekuator sehingga nilai azimut Matahari sebesar 00. Dan jika bayangan suatu
benda tidak ada sama sekali, berarti Matahari berada pada posisi tepat 900 diatas
zenit dengan azimut Matahari sebesar 900 diukur
dari ufuk timur.
Dari beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa zawal terjadi
ketika Matahari mulai bergerak kebarat
yang ditandai dengan timbulnya bayangan di sisi timur benda atau bertambahnya bayangan
istiwa’; Perjalanan Matahari bukanlah
kenyataan, tetapi hanya dzahir (kelihatan)nya saja; Untuk membuktikan gerak
semu harian Matahari , maka dapat diketahui dengan menancapkan benda lurus ke
permukaan tanah yang datar yang terkena sinar Matahari , kemudian muncul
bayangan yang memendek dan memanjang.
3.3. Konsep Sa’ah Zawaliyyah Kitab Durusul
Falakiyyah
Dalam kitab Durusul Falakiyyah tidak menjelaskan secara
terperinci tentang pengertian sa’ah zawaliyyah, tetapi hanya dijelaskan tentang
perhitungan perpindahan Sa’ah Zawaliyyah ke sa’ah ghurubiyyah
(perpindahan Matahari dari titik
kulminasi menuju barat atau menuju waktu maghrib). Tetapi dari uraian yang ada
dapat dipahami bahwa Sa’ah Zawaliyyah dibagi dua, yaitu Sa’ah
Zawaliyyah mustawiyah dan Sa’ah Zawaliyyah wasathiyyah.
Sa’ah Zawaliyyah mustawiyah adalah waktu yang ditunjukkan oleh Matahari sebenarnya. Dimulai daripada waktu markaznya
berada di garis nisfunnhahar setempat. Sedangkan Sa’ah Zawaliyyah wasathiyah
adalah waktu yang ditunjukkan oleh Matahari khayalan yang jalannya benar-benar rata.[10]
Untuk mengetahui Sa’ah Zawaliyyah mustawiyah yaitu dengan
mengetahui besarnya derajat fadlluddair dan membaginya dengan 15. Artinya
setiap 150 fadluddair adalah 1 jam dan setiap 10 dari
fadluddair adalah 4 menit. Hasilnya menjadi Sa’ah Zawaliyyah mustawiyah
apabila irtifa’nya berupa irtifa’ ghorbi (irtifa’ sore hari). Apabila
irtifa’nya berupa irtifa’ syarqi (irtifa’ pagi hari), maka hasilnya untuk
mengurangi 12 jam.[11]
Sedangkan untuk mengetahui Sa’ah Zawaliyyah wasathiyah
setempat dengan cara menambahkan atau mengurangkan daqoiqut tafawut
(perata waktu) pada Sa’ah Zawaliyyah mustawiyah, maka hasilnya adalah Sa’ah
Zawaliyyah wasathiyyah setempat. Apabila ingin merubah Sa’ah Zawaliyyah wasathiyah
setempat menjadi Sa’ah Zawaliyyah wasathiyah indonesia bagian barat,
maka dengan cara memeperhitungkan selisih bujur setempat dengan bujur WIB.[12]
Telah disebutkan di atas bahwa Sa’ah Zawaliyyah dibagi dua,
yaitu Sa’ah Zawaliyyah mustawiyah dan wasathiyah. Sa’ah Zawaliyyah mustawiyah
adalah waktu Matahari sejati atau dalam
istilah lain disebut dengan waktu istiwa’. Istiwa’ merupakan
bentuk masdar dari fi’il istawa – yastawi – istiwaan yang
berarti menjadi lurus.[13]
Sedangkan secara terminologis istiwa’ merupakan kondisi saat Matahari
tepat mencapai titik tertinggi yang
ditandai dengan terjadinya bayangan terpendek jika memang suatu benda masih
menyisakan sedikit bayangan atau tidak adanya bayangan dari suatu benda. Ketika
istiwa’ terjadi maka bayangan berhenti sejenak, yaitu tidak memanjang dan
memendek. Pada saat inilah Matahari melewati garis langit yang menghubungkan utara
dan selatan.[14]
Ketika Matahari tepat di tengah-tengah
langit maka di bawah benda lurus yang berdiri tegak terjadi bayangan paling
pendek.
Ada tiga kemungkinan arah bayangan benda yang berdiri tegak.
Pertama, arah bayangan berada di selatan benda tersebut, yaitu ketika Matahari
melintasi zenit, posisinya berada di
belahan langit utara, azimut 180˚. Kedua, arah bayangan berada di utara benda
tersebut, yaitu ketika Matahari melintasi zenit, posisinya berada di belahan
langit selatan, azimut 0˚. Ketiga, tidak ada bayangan sama sekali, yaitu ketika
Matahari melintasi zenit, posisinya
berada di atas zenit yakni posisi Matahari berada pada sudut 90˚ diukur dari ufuk.
Pada saat posisi Matahari berada di belahan langit utara, azimut 180˚,
arah bayangan berada di selatan benda. Jadi, walaupun ketika Matahari mencapai titik kulminasi tetap ada bayangan.
Gambar 3.1.
Bayangan di Sebelah Selatan Benda
Pada saat posisi Matahari berada di belahan langit selatan, azimut
0˚,arah bayangan berada di utara benda. Jadi, walaupun ketika Matahari mencapai titik kulminasi tetap ada bayangan.
Gambar 3.2. Bayangan di Sebelah Utara Benda
Pada saat posisi Matahari berada di atas zenit yakni posisi Matahari berada pada sudut 90˚ diukur dari ufuk. jadi,
tidak ada bayangan sama sekali, yaitu ketika Matahari melintasi zenit.
Gambar 3.3. Bayangan tidak Muncul
Dari gambar-gambar di atas
dapat dipahami bahwa saat Matahari tepat
mencapai titik kulminasi, maka di bawah benda lurus yang berdiri tegak terjadi
bayangan terpendek. Terdapat tempat yang tidak menyisakan bayangan, masih
sedikit timbul bayangan dan bayangan yang agak panjang. Waktu zawal terjadi
ketika ada pertambahan panjang bayangan di sebelah timur benda.
3.4. Sisi Klasik Kitab Durusul Falakiyyah
Sisi klasik yang paling menonjol dari konsep Sa’ah Zawaliyyah pada
kitab Durusul Falakiyyah ini adalah penggunaan rubu’ mujayyab sebagai
alat untuk menghitung data yang ada. Seabagaimana yang telah diketahui bahwa
rubu’ mujayyab merupakan alat hisab yang termasuk klasik. Untuk mendapatkan
hasil Sa’ah Zawaliyyah diperlukan data-data lain yang kesemuanya itu
juga dihitung dengan menggunakan rubu’ mujayyab.
Data yang dibutuhkan misalnya adalah data fadluddair. Seperti yang
dijelaskan oleh Ibnu Mu’thy ketika memberikan penjelasan tentang perhitungan
fadluddair pada Kitab Durusul Falakiyyah bahwa fadluddair dicari dengan
cara menaruh khoith (benang) pada bilangan al aslu al mutlak yang diqouskan,
kemudian muri dipaang pada bilangan al aslu al muaddal di dalam garis juyub
mabsuthoh. Setelah itu, memindah benang pada garis sittini untuk kemudian
menurunkan bilangan yang ditempati muri melalui garis juyub mabsuthoh sampai
qous. Maka jarak antara qous dan bilangan yang didapatkan tadi menjadi hasilnya
fadluddair.
Dari uraian singkat di atas dapat dipahami rubu’ mujayyab menjadi
alat utama yang digunakan dalam perhitungan dalam kitab Durusul Falakiyyah,
termasuk di dalamnya perhitungan sa’ah zawaliyyah.
[4]Muhammad Ma’shum bin Ali, Badiah al-Mitsal fi Hisab al-Sinin wa
al-Hilal, Surabaya: Maktabah Sa’ad bin Nashir Nabhan, tt, 68
[5]Ahmad bin Hijazy al Fasyany, Mawahibu al Shamad, Mesir:
Mushthafa al Baby al Halaby, 1924. hal: 35
[6]Muhammad
bin Sulaiman Al Kurdy, al Juz’u al Awwal min al Hawasy al Madaniyah,
Mesir: Musthafa al Baby al Halaby, 1921. hal: 139.
[7]Muhammad
al Syarbiny Al Khathib, al Juz’u al Awwal min al Iqna’, Mesir: Daru al
Kutub al ‘Arabiyah, 1912. hal: 95.
[8]
Abdurrahman al Jaziry, al Fiqhu ‘ala al Madzahibi al Arba’ah al Juz’u al
Awwal, Istanbul: Isik Kitabevi, 1981. hal: 183
[9]Muhyidin
Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Jogjakarta: Buana
Pustaka, 2008. hal: 68.
[10]Kholiq,
Abdul, Pelajaran Astronomi Jilid II, Jawa Timur: PP Darussaalam, tt,
hal: 16-17
[11]
Muhammad Ma’shum, Al Durusu al Falakiyyah, Surabaya: Maktabah Sa’ad bin Nashir
nabhan, tt, hal: 46
[14] Maftuh, M. & A. Widiyatmoko,
Bencet Alat Peraga IPA untuk Memahami Keterkaitan Rotasi Bumi dengan Jam
Istiwa’, USEJ, 1(1): 34-42, 2012, hal. 7
0 Comments