Wacana penentuan awal bulan kamariah senantiasa mendapatkan perhatian khusus baik oleh pemerintah maupun elemen-elemen masyarakat. Hal ini disebabkan begitu kompleksnya keragaman masyarakat Indonesia yang masing-masing mempunyai pedoman
almanaknya sebagai sarana pengorganisasian waktu. Almanak sendiri merupakan
sistem perhitungan yang berguna untuk pengorganisasian waktu dalam periode
tertentu. Bulan adalah sebuah unit
yang merupakan bagian dari almanak, hari merupakan unit almanak terkecil, serta jam, menit, dan detik merupakan sistem waktu. Bentuk almanaknya pun
cukup banyak, bahkan dalam perhitungannya mempunyai siklus sendiri. Dari
banyaknya bentuk almanak tersebut, setidaknya dapat diklasifikasikan menjadi 3
macam, yaitu almanak dengan sistem peredaran Matahari, almanak dengan sistem peredaran Bulan, dan almanak dengan sistem peredaran Matahari
dan Bulan.
Di Indonesia, kita dapat menjumpai almanak Jawa Islam. Almanak yang
berpedoman pada peredaran Bulan dan identik dengan almanak Hijriyah ini dipakai di Jawa sampai abad ke-17. Menurut Babat Tanah Jawa, sejak masa purbakala
masyarakat di Pulau Jawa telah memiliki kebudayaan asli mulai dari bahasa dan
aneka ragam kebudayaan. Ilmu pengetahuan ini digunakan untuk bertani dan
bercocok tanam serta untuk keperluan pelayaran. Ilmu ini dituangkan dalam Primbon Jawa, termasuk di dalamnya Prawukon, Pranatamangsa, dan lain sebagainya. Almanak Jawa Islam ini mengalami perubahan dan
perkembangan yang sangat dinamis sehingga almanak ini pun mengalami beberapa
kali reformasi.
1.1.
Sejarah Penanggalan Aboge
Sejarah
menunjukkan secara jelas bahwa salah satu kekayaan intektual Islam kejawen
adalah kalender Jawa Sultan Agung, yakni sistem penanggalan yang didasarkan
pada peredaran Bumi mengelilingi Matahari. Di daerah Tengger, tanah Badui dan kelompok orang Samin
mengikuti kalender Saka yang merupakan warisan zaman Hindu-Budha. Permulaan
tahun Saka ini adalah hari Sabtu 14 Maret 78 M, yaitu ketika Prabu Syalwahana
(Aji Saka) pertama kali mendarat di Pulau Jawa. Oleh sebab itu, penanggalan ini
dikenal dengan almanak Saka yang dipakai sampai abad ke-17.[1]
Di samping penanggalan Saka, di tanah air ini berlaku pula penanggalan Islam
atau Hijriah yang perhitungannya berdasarkan pada peredaran Bulan mengelilingi
Bumi.[2]
Kemudian pada
tanggal 16 Juli 1633 M yang bertepatan dengan 1043 H atau 1555 Saka, oleh Sri
Sultan Muhammad yang terkenal dengan nama Sultan Agung Hanyokrokusumo yang
bertahta di kerajaan Mataram kala itu. Kedua sistem tersebut (Saka dan Hijriah)
dipertemukan, yaitu tahunnya meneruskan tahun Saka (1555), tetapi sistemnya
mengambil tahun Hijriah yakni berdasarkan peredaran Bulan mengelilingi Bumi.[3]
Oleh karena itu, sistem ini dikenal juga dengan sistem penanggalan Jawa Islam
atau Kalender Sultan Agung yang nama ilmiahnya disebut Anno Javanico.
Kalender tersebut berlaku di seluruh wilayah Jawa dan menjadi standar baru
dalam kepenulisan sastra Jawa termasuk Primbon. Kalender ini merupakan bukti
akulturasi agama Islam dan kebudayaan Jawa yang luar biasa dan masih dianut
serta dilestarikan oleh sebagian masyarakat Jawa hingga saat ini.[4]
Sultan Agung dan
tim pemikirnya membuat pembaharuan kalender Jawa yang lebih menekankan kalender sebagai tata waktu. Walaupun begitu,
entitas komponen kalender Jawa lainnya tidak dihapus. Hal ini dimungkinkan
dalam rangka dakwah Islam sehingga perubahan yang dilakukan tidak menimbulkan
penolakan terhadap Islam. Ia ingin menyesuaikan kalender dengan ajaran Islam yang
melarang perdukunan dan peramalan.
Penggantian hari pedinan
(yang satu pekannya berisi 7 hari) sebelumnya dengan nama-nama hari dalam
kalender Hijriah adalah untuk menghilangkan penyebutan dewa-dewa. Ia bermaksud
agar masyarakat Jawa terhindar dari kemusyrikan. Meskipun Sultan Agung membuang
nama-nama hari yang bercorak Hindu, ia tetap melestarikan hari-hari panca-wara (Pahing,
Pon, Wage, Kliwon, Legi), sebab hal itu merupakan konsep asli masyarakat Jawa
dan tidak bertentangan dengan akidah Islam. Usaha mendekatkan lebih jauh lagi
kalender Jawa lama kepada Islam adalah dengan penamaan tahun dalam satu windu
dengan nama-nama alfabet Arab, tentu
saja dengan logat Jawa.
Perubahan yang
dilakukan Sultan Agung mengadopsi sistem kalender Hijriah, dengan nama-nama
bulan dan hari-hari juga diambil dari kalender Hijriah tetapi dengan sedikit
penyesuaian, sedangkan angka/bilangan tahunnya meneruskan bilangan tahun
kalender Jawa Hindu (tahun Saka). Jadi 1
Muharrom 1043 H adalah 1 Muharom/1 Suro 1555 Jawa, yang jatuh pada hari Jumat
Legi tanggal 8 Juli 1633 M. Angka tahun Jawa ini selalu berselisih 512 dari
angkat tahun Hijriah. Keputusan Sultan Agung ini disetujui dan diikuti oleh
Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651) dari Banten pada masa
pemerintahannya. Mulai saat itu, masyarakat Jawa
menggunakan Kalender Jawa Islam yang tidak lagi berbau Hindu atau budaya India.[5]
1.2.
Konsep Penanggalan Aboge
Aboge adalah
akronim dari Alip, Rebo, Wage yang memiliki arti bahwa tahun Alip jatuh
pada hari Rabu Wage. Perhitungan Aboge ini mereka dapatkan dari nenek moyang
mereka secara turun-temurun. Dalam kalender Jawa, nama tahun dalam satu windu adalah sebagai berikut.
No
|
Nama Tahun
|
Makna Tahun
|
1
|
Alip
|
Ada-ada (Mulai Berniat)
|
2
|
Ehe
|
Tumandang (Melakukan)
|
3
|
Jimawal
|
Gawe (Pekerjaan)
|
4
|
Ze
|
Lelakon (Prosen atau Nasib)
|
5
|
Dal
|
Urip (Hudup)
|
6
|
Be
|
Bola-Bali (Selalu Kembali)
|
7
|
Wawu
|
Marang (Ke arah)
|
8
|
Jimakir
|
Suwung (Kosong)
|
Tabel
5.1. Tahun Aboge Dalam
Satu Windu
Kedelapan tahun
tersebut membentuk kalimat “ada-ada tumandang gawe lelakon urip bola-bali
marang suwung” (mulai melaksanakan aktifitas untuk memulai proses kehidupan
dan selalu kembali kepada kosong). Tuhan dalam bahasa Jawa memiliki arti wiji
(benih). Kedelapan tahun itu menerangkan proses dari perkembangan wiji yang
selalu kembali kepada kosong yaitu lahir-mati, lahir-mati yang selalu berputar.[6]
Sedangkan nama
bulan dalam tahun Jawa diadopsi dari nama bulan tahun Hijriah, yaitu:
No
|
Bulan Jawa
|
Bulan Hijriah
|
Umur Bulan
|
1
|
Suro
|
Muharrom
|
30 Hari
|
2
|
Sapar
|
Sofar
|
29 Hari
|
3
|
Mulud
|
Robi'ul Awal
|
30 Hari
|
4
|
Ngakhir
|
Robi'ul Akhir
|
29 Hari
|
5
|
Jumadil Awal
|
Jumadil Ula
|
30 Hari
|
6
|
Jumadil Akhir
|
Jumadil Tsaniyah
|
29 Hari
|
7
|
Rejeb
|
Rojab
|
30 Hari
|
8
|
Ruwah
|
Sa'ban
|
29 Hari
|
9
|
Poso
|
Romadhon
|
30 Hari
|
10
|
Syawal
|
Syawwal
|
29 Hari
|
11
|
Apit
|
Zul-Hijjah
|
30 Hari
|
12
|
Besar
|
Zul-Qo'dah
|
29 Hari
|
Tabel
5.2. Adopsi nama bulan tahun Jawa dari tahun
Hijriah
Satu tahun
berumur 354,375 hari (354 hari), sehingga daur (siklus) penanggalan Jawa
Islam ini selama 8 tahun (satu windu). Diitetapkan bahwa pada urutan tahun ke-2,
5, 8 merupakan tahun panjang (wuntu) berumur 355 hari, sedangkan tahun lainnya
(1, 3, 4, 6, 7) merupakan tahun pendek (westu) berumur 354 hari[7]
Tahun-tahun dalam
1 windu diberi nama dengan angka huruf Jumali berdasarkan nama hari pada
tanggal 1 Suro tahun yang bersangkutan dihitung dari nama-nama hari tanggal 1
Suro tahun Alipnya. Nama-nama tahun yang dimaksud adalah sebagai berikut.
No
|
Tahun Ke
|
Nama Tahun
|
1
|
Pertama
|
Alip ا
|
2
|
Kedua
|
Ehe Ù‡
|
3
|
Ketiga
|
Jimawal ج
|
4
|
Keempat
|
Ze ز
|
5
|
Kelima
|
Dal د
|
6
|
Keenam
|
Be ب
|
7
|
Ketujuh
|
Wawu Ùˆ
|
8
|
Kedelapan
|
Jimakir ج
|
Tabel 5.3. Tahun Aboge Dalam Satu Windu dan simbolnya
Menurut sistem
ini, satu tahun berumur 354,375 hari. Dengan demikian, dalam waktu 120 tahun sistem ini akan melonjak satu hari
(354,375 x 120 = 42.525 hari) jika dibandingkan
dengan sistem Hijriah (42.524 hari).[8]
Oleh karena itu, setiap 120 tahun ada pemotongan satu hari yaitu yang mestinya
tahun panjang dijadikan tahun pendek. Berikut periodesasi
kalender Jawa.
No
|
Huruf
|
Tahun Masehi
|
Tahun Jawa
|
Tahun Hijriah
|
Tahun Alipnya
|
Umur
|
1
|
Aahgi
|
1633 – 1703
|
1555 – 1626
|
1043 – 1114
|
Jum'at Legi
|
72 Tahun
|
2
|
Amiswon
|
1703 – 1819
|
1627 – 1746
|
1115 – 1234
|
Kemis Kliwon
|
120 Tahun
|
3
|
Aboge
|
1819 - 1936
|
1747 – 1866
|
1235 – 1254
|
Rebo Wage
|
120 Tahun
|
4
|
Asapon
|
1936 - 2052
|
1867 – 1986
|
1355 – 1474
|
Seloso Pon
|
120 Tahun
|
5
|
Anenhing
|
2025 - 2169
|
1987 – 1594
|
1475 – 1594
|
Senen Pahing
|
120 Tahun
|
Tabel 5.4. Periodesasi Kalender Jawa
Penanggalan Jawa
juga mengenal istilah “Selapanan” atau masa 35 hari yang berarti 7 kali
pasaran dan satu windu berarti 81 kali selapanan. Selisih 1 Suro 1555 J dengan
1 Muharrom 1 H adalah 369,251 hari, sedangkan selisih 1 Suro J dengan 1 Januari
1 M adalah 596,267 hari. Adapun rumus yang digunakan sebagai berikut.
a.
Rumus Tahun
1.
Aboge Alip
Rebo Wage ® 1-1 Alip Ji Ji
2.
Hadpona Ehe Ahad
Pon ® 5-5 Ehe mama
3.
Jangapon Jimawal Jumat Pon ® 3-5 Jiwal Luma
4.
Jesaing Ze
Selasa Pahing ® 7-1 Je Tupat
5.
Daltugi Dal
Sabtu Legi ® 4-3 Dal Patlu
6.
Bemislegi Be Kamis Legi ® 2-3 Be Roji
7.
Wanenwon Wawu Senen
Kliwon ® 6-2 Wa Nemro
8.
Jingagea Jimakir
Jumat Wage ® 3-1 Jimakir Luji
b.
Rumus Bulan
1.
Ramjiji Suro
1-1
2.
Parluji Sapar
3-1
3.
Ludpatma Mulud 4-5
4.
Ngakimemma Ngakir 6-5
5.
Diwaltupat Jumadilawal 7-4
6.
Dikirropat Jumadilakir 2-4
7.
Jablulu Rajab
3-3
8.
Wahmalu Ruwah 5-3
9.
Senemro Poso 6-2
10.
Waljiro Sawal
1-2
11.
Pitroji Apit
2-1
12.
Sarpatji Besar
4-1
c.
Pasaran
Pon – Pahing –
Wage – Kliwon – Legi
Dari rumus di
atas, kita tentukan dahulu tahun yang akan dicari. Untuk menentukan tahun Jawa
Islam yang kita inginkan, dapat dilakukan dengan menentukan tahun Hijriah yang
kita ketahui, selanjutnya tahun Hijriah tersebut ditambah 512.
Sebagai contoh:
Tahun Hijriah =
1438
Tahun Jawa = 1438 - 512 = 1950 J
Maka, tahun 1438 H
bertepatan dengan 1950 J.
Sedangkan untuk
mengetahui nama-nama tahun pada tahun 1438 H/ 1959 J adalah dengan mengurangi
tahun Jawa yang kita tentukan dengan tahun dimulainya tahun Jawa/Saka Islam
dikurangi satu (1555 – 1 =1554), kemudian hasilnya dibagi jumlah tahun (8) dan
sisanya menunjukkan nama tahun. Contoh:
Tahun Jawa =
1950
Awal Tahun Jawa – 1 = 1554
= 396
= 396 : 8 = 49,5. Sisa 5
Maka 5 nama tahunnya adalah
DALTUGI
Untuk mengetahui awal
bulan jatuh pada hari apa, dapat dilakukan dengan rumus seperti yang tersebut
di atas, contoh, bulan Ramadahan/Poso rumusnya adalah 6-2, maka awal Ramadhan
dihitung dari hari Sabtu + 6 dan pasarannya dihitung dari Legi + 2. Sehingga awal
Ramadhan 1950 J jatuh pada hari Kamis
Pahing.
[1] Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa Sejarah Sistem Penanggalan
Masehi Hijriah dan Jawa, Program Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, Semarang,
2011, Cet ke1, hal ; 17
[2] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta:
Buana Pustaka, Cet. Ke-1, 2005, hal ; 116
[3] Ibid
[4]
Susiknan Azhari, Ensiklopedi
Hisab Rukyat, Edisi Revisi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. ke-2, 2008,
hal ; 16
Yogyakarta: LABDA Press, 2010, hal ;
108
[6] Tahri Fauzi, Tahrir Fauzi, Studi Analisis
Penetapan Awal Bulan Kamariah Sistem Aboge di Desa Kracak Kecamatan Ajibarang
Kabupaten Banyumas Jawa Tengah, Skripsi Sarjana Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang, 2010, hal ; 54
[8] Sofwan Jannah, Kalender Hijriah dan Masehi 150 Tahun Ulil
Pers, Yogyakarta, 1994, hal ; 4
0 Comments