Kesaksian Rukyat Non Muslim



A.   Pendahuluan
Merukyat Hilal sebagai salah satu metode penetapan awal bulan Kamariyah menjadi sangat penting untuk dilaksanakan, khususnya pada bulan-bulan tertentu seperti: Ramadan, Syawal dan Zulhijjah. Dalam proses penetapan terlihat tidaknya hilal, terlebih dahulu seseorang yang yakin telah melihat hilal diambil kesaksiannya dan disumpah dihadapan hakim. Hal ini dilakukan agar adanya keabsahan yang final dalam hasil rukyah.
Kemajemukan bangsa Indonesia akan menimbulkan sebuah permasalahan baru terkait kesaksisan rukyat, yaitu ketika kesaksian tersebut dilakukan oleh seseorang yang beragama selain Islam atau non Muslim. Hal ini menjadi sangat penting untuk dikaji lebih dalam, sehingga dalam makalah ini akan dibahas mengenai “Kesaksian Rukyah Non Muslim Dalam Perspektif Fiqh”.
B.     Pembahasan
1.      Pengertian Saksi
Saksi dalam Bahasa Indonesia berarti “orang yang melihat atau yang mengetahui”, maksudnya adalah orang yang diminta untuk hadir pada suatu peristiwa untuk dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa tadi sungguh atau benar terjadi.[1]
Sedangkan menurut Peter Salim saksi adalah orang yang mengetahui atau melihat sendiri suatu peristiwa atau kejadian.[2]
Dalam kitab-kitab fiqh, saksi diutarakan dalam kata “kesaksian” sebagaimana berikut:
a.       Kesaksian adalah ibarat dari pembuktian seseorang yang benar di depan pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan suatu hak orang lain.[3]
b.      Kesaksian adalah pemberitahuan yang benar untuk menetapkan suatu hak dengan ucapan kesaksian di depan sidang pengadilan.[4]
Dari pengertian dan pendapat-pendapat di atas, maka dapat di simpulkan jika persaksian dalam rukyatul Hilal adalah pembuktian kebenaran seseorang yang telah melihat hilal pada saat rukyat di hadapan hakim.
Berdasarkan pengertian saksi atau kesaksian di atas, maka akan dijelaskan lebih lanjut mengenai kesaksian Non Muslim dalam rukyat Hilal.

2.      Kesaksian Non Muslim Dalam Pandangan Empat Mazhab
a.       Mazhab Syafi’i
Dalam kitab besar Imam Syafi’i, Al-Umm tidak dijelaskan secara ekplisit mengenai kesaksian rukyah non muslim, hanya saja dalam pembahasan kesaksian, terdapat sub bab yang menjelaskan Kesaksian Anak Kecil, Budak, dan Orang Kafir. Sebagai berikut:
Apabila seorang anak memberikan kesaksian sebelum baligh, budak sebelum dimerdekakkan, dan orang kafir sebelum memeluk Islam terhadap seseorang, maka qadhi tidak diperkenankan untuk memperbolehkannya. Qadhi juga tidak harus mendengarkan kesaksian tersebut. Mendengarkan kesaksian dari pihak seperti ini hanya akan membebani diri.
Apabila anak kecil telah baligh, budak telah merdeka, dan orang kafir masuk Islam, dan mereka adil, lalu bersaksi, maka kesaksian mereka diterima. Alasnnya, kami tidak menolak kesaksian terhadap budak dan anak kecil dengan alasan kebencian terhadap perbuatan dan kebohongan mereka, bukan pula atas perbuatan negatif dirinya. Seandainya mereka beralih dari identitas tersebut (anak kecil dan budak) dan tetap dalam sikapnya, kami menerima kesaksian mereka. Kami menolaknya tidak lain karena mereka tidak memenuhi syarat yang diperbolehkan kesaksiannya.
Bukankah kesaksian dan diamnya anak kecil dan budak dalam kondisi demikian sama saja ? Kami tidak mempertanyakan keadilan mereka. Seandainya kami mengetahui keadilan mereka, tentu sama dengan penilaian negatif terhadapnya. Artinya Anda tetap tidak akan menerima kesaksian mereka, karena yang satu belum baligh dan yang satu lagi budak ? begitupun orang kafir, sekalipun dipercaya tidak akan bersaksi palsu, karena tidak memenuhi syarat kesaksian yang diterima. Apabila tiga orang ini telah memenuhi syarat yang kita diperintahkan untuk menerimanya, maka kita menerima kesaksian mereka semua. Jadi, mereka seperti orang yang hanya bersaksi dalam kondisi tersebut.
Sementara itu, seorang merdeka, muslim, dan baligh yang kesaksiannya atas sesuatu pernah ditolak, kemudian dia memperbaiki sikapnya, lalu bersaksi lagi, kami tetap tidak menerima kesaksiannya. Alasannya kami telah memutuskan untk membatalkan kesaksiannya. Menurut pertimbangan kami, saat orang tersebut bersaksi, dia masuk kategori saksi yang kesaksiannya dipermasalahkan, sebelum kita menyelidiki bahwa dia dinilai negatif berbuat sesuatu untuk berdusta.
Jadi, orang tersebut di atas diawasi, lalu kami menolak kesaksiannya. Kami tidak memperbolehkan kesaksian tersebut. Lain halnya dengan budak, anak kecil, dan orang kafir. Baik mereka adil maupun tidak, dalam diri mereka terdapat alasan, yaitu tidak memenuhi syarat. Sedangkan, orang muslim yang pernah ditolak kesaksiannya telah memenuhi syarat, namun pengetahuan dan ucapannya perlu diselidiki.[5]
Dalam rukyah Hilal sendiri, dijelaskan bahwa seorang Imam hanya diperkenankan menetapkan kewajiban puasa Ramadan kepada masyarakat berdasarkan kesaksian dua orang laki-laki atau lebih yang adil. Begitu pula dengan kewajiban berbuka (Idul Fitri). Imam Syafi’i menganjurkan agar mereka berpuasa berdasakan kesaksian orang yang adil. Sebab mereka tidak dibebani biaya dalam urusan puasa. Jika ternyata sudah masuk Ramadan, Imam Syafi’i berharap merek berkenan memberinya upah.[6]
Dalam Kitab Bughya Al-Mustar Syidin dijelaskan tentang syarat-syarat saksi untuk kesaksian rukyat Hilal di hadapan hakim, di antaranya:
a.       Islam
b.      Mukallaf
c.       Merdeka
d.      Baligh
e.       Mampu Berbicara
f.       Mampu Melihat
g.      Adil
h.      Laki-laki
i.        Perempuan
Selain syarat-syarat saksi di atas, setiap saksi harus terbebas dari segala bentuk kecacatan. Selain itu, hal penting yanga paling ditekankan dalam kesaksian rukyat Hilal ini adalah konsep adil.  Adil yang dimaksud di sini adalah sebenar-benarnya adil. Adil sendiri dibagi menjadi beberapa bagian, diantaranya: Pertama, Adil yang didefenisikan sebagai seseorang yang meninggalkan semua bentuk dosa besar dan memegang teguh ketaatannya. Adil yang pertama inilah yang dimaksud dalam syarat kesaksian di atas. Kedua, Seseorang yang sedikitnya kepatuhan terhadap agam disebut fasiq. Yaitu orang yang ketaatannya lebih besar dari pada maksiatnya. Adil yang kedua ini meskipun dia dikatakan sebagai adil namun kesaksiannya tidak dapat diterima.[7]
Dari kedua pendapat di atas, dapat dipahami bahwa syarat Islam dalam persaksian rukyat Hilal adalah suatu hal yang mutlak. Karena Pertama, adanya kemungkinan untuk berdusta dalam persaksian seseorang yang beragam selain Islam, meskipun diyakinin dia mampu berkata jujur. Kedua, karena syarat Adil yang ditekankan dan adil yang dimaksud juga sebenar-benarnya adil maka tidak ada kemungkinan untuk saksi seorang nonmuslim.

A.    Mazhab Hanafi
Tidak berbeda jauh dengan pendapat Mazhab Syafi’I, Mazhab  Hanafi dalam beberapa kitab karangan Hanafiyyah juga tidak dijelaskan secara ekplisit mengenai kesaksian seorang Non Muslim dalam Rukyat Hilal, namun beberapa di antaranya menjelaskan tentang syarat-syarat  yang tidak dimungkinkannya persaksian Non Muslim dalam rukyat Hilal.
Menurut Hanafiyah, hilal Ramadan dapat diterima ketika seseorang telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Adil.
b.      Muslim.
c.       Berakal.
d.      Baligh.
e.       Merdeka atau Hamba Sahaya
f.       Laki-laki atau Perempuan.[8]
Dalam hal ini, keadilan adalah salah satu hal yang mutlak dalam sebuah kesaksian dan merupakan kelanjutan dari keislaman. Seorang Islam itu dianggap adil sebagian mereka terhadap yang lain, kecuali: Orang yang pernah memberikan kesaksian palsu, orang yang pernah dijatuhi hukuman mati, orang yang diragukan asal usulnya.[9]
Selain, juga dijelaskan jika terdapat gangguan di langit pada saat melakukan rukyah maka persaksiannya tidak dapat diterima kecuali di saksikan oleh banyak orang.[10] Jadi jika pada saat cuaca buruk hanya disaksikan oleh satu orang perukyah saja, maka kesaksiannya tidak dapat diterima.
Dalam sumber lain disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan adil adalah, wajib Islam, Berakal, Baligh, Merdeka, ulama India Hanafiyah menambahkan tidak diterima bila kesaksian itu diberikan oleh seorang anak kecil.[11] Kewajiban beragama Islam di sini menunjukan tidak diperbolahkannya menerima kesaksian seorang non muslim dalam rukyatul Hilal. Kewajiban Islam sebagai syarat diterimanya kesaksian di sini juga tidak memperbolahkan untuk menerima kesaksian seorang Yahudi dan Nasrani.
C.    Penutup
Demikian  makalah tentang “Kesaksian Rukyah Non Muslim Dalam Perspektif Fiqh” ini. Semoga dapat memberikan pembaharuan keilmuan dalam diri kita masing-masing serta membentuk keinginan untuk senantiasa mengkaji hal tersebut lebih mendalam. Tentunya dalam penyajian makalah ini terdapat banyak kekurangan, baik dari segi substansi maupun penulisan yang tidak sesuai dengan tata penulisan yang baik dan benar. Hal itu disebabkan kurangnya pemahaman dan pengetahuan penulis. Semoga berkenan untuk memaafkan. Dan semoga ada hal lain yang dapat menambah khazanah keilmuan Islam. Aamiin.




DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, 1994, Sayyid Bin Muhammad Bin Husin Bin Umar, Bughyatu Al-Mustar Syidiin, Mesir: Darul Fikr.
Ahmad bin Muhammad bin Ismail ath-Thahawi al Hanafi, 1318, Haasyiyyah ala Maraaqi al-Fallah Syarah Nurul ‘Iidhaah, Mesir: al-Mathba’ah al-Kubra, Juz 1.
Damasyqi, Abdul Ghani al-Ghanimiad, al-Lubaab fii Syarah al-Kitab, TT: Darul Kitab, Juz 1.
Hamman, Ibnu, 1970, Syarah Fathul Qarib, Mesir: Mustafa al-Babil Halabi, juz IV.
Madzkur, Muhammad Salam, 1964, al- Qadlu fii al_islam, Kairo:Darul Nahdatul Arabiyah.
Madzkur, Muhammad Salam, 1990, Peradilan dalam Islam, Surabaya: Bina Ilmu.
Nidzam, Asy-syaikh dan Para ulama India, 1991, al-Fatawa al-Hindiyah fii Mazhab al-Imam al-A’dzam Abi Hanifah an-Nu’maan, Mesir: Darul Fikr, Juz 1.
Poerwadarminata, 1985, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Salim, Peter, 1991, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: Modern English Press.
Syafi’I, Imam, 2015, Al-Umm, (Tahqiq & Takhrij: Dr. Rif’a Fauzi, Abdul Muththalib), Jilid 13, Jakarta: Pustaka Azzam.



[1] Poerwadarminata, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1985, h. 852.
[2] Peter Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: Modern English Press, 1991, h. 1309.
[3] Muhammad Salam Madzkur, al- Qadlu fii al_islam, Kairo:Darul Nahdatul Arabiyah, 1964, h. 83.
[4] Ibnu Hamman, Syarah Fathul Qarib, Mesir: Mustafa al-Babil Halabi, 1970, juz IV, h. 415.
[5] Imam Syafi’I, Al-Umm, (Tahqiq & Takhrij: Dr. Rif’a Fauzi, Abdul Muththalib), Jilid 13, Jakarta: Pustaka Azzam, 2015, h.267-269.   
[6] Imam Syafi’I, Al-Umm, (Tahqiq & Takhrij: Dr. Rif’a Fauzi, Abdul Muththalib), Jilid 13, Jakarta: Pustaka Azzam, 2015, h.272.
[7] Sayyid Abdurrahman Bin Muhammad Bin Husin Bin Umar, Bughyatu Al-Mustar Syidiin, Mesri: Darul Fikr:1994, h. 465
[8] Asy-syaikh Nidzam dan Para ulama India, al-Fatawa al-Hindiyah fii Mazhab al-Imam al-A’dzam Abi Hanifah an-Nu’maan, Mesir: Darul Fikr, 1991, Juz 1, h. 197
[9] Muhammad Salam Madzkur, Peradilan dalam Islam, Surabaya: Bina Ilmu, 1990, h. 45.
[10] Abdul Ghani al-Ghanimiad Damasyqi, al-Lubaab fii Syarah al-Kitab, TT: Darul Kitab, Juz 1, h. 83
[11] Ahmad bin Muhammad bin Ismail ath-Thahawi al Hanafi, Haasyiyyah ala Maraaqi al-Fallah Syarah Nurul ‘Iidhaah, Mesir: al-Mathba’ah al-Kubra, 1318, Juz 1, h.434.

Post a Comment

0 Comments