Ilmu falak di Indonesia mengalami
perkembangan yang berkelanjutan menyesuaikan perkembangan zaman. Perkembangan
tersebut terekam dalam beberapa kitab/buku dan alat falak yang berhasil disusun
oleh ulama Indonesia. Karya-karya tersebut apabila diperhatikan akan
menunjukkan karakter sesuai zaman penyusunan atau penemuannya. Kitab-kitab yang
disusun pada masa awal akan menunjukkan karakter yang berbeda dengan kitab atau
buku yang disusun pada zaman sekarang (modern). Salah satu karakter tersebut,
dapat ditunjukkan melalui metode hisab rukyat yang digunakan dalam kitab
masing-masing.
Dalam perkembangan ilmu falak di
Indonesia, metode hisab rukyat telah mengalami perkembangan yang sangat
beragam. Keberagaman tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan keakuratan
hasil perhitungan, yang setidaknya dapat dibedakan menjadi dua kateori, yaitu
hisab urfy dan hakiki.
Pertama, hisab urfi yaitu hisab yang
dilaksanakan dengan cara merata-ratakan waktu edar bulan menelilini Matahari .
Hisab ini telah dipergunakan sejak zaman khalifah kedua, Umar bin Khattab (117
H) untuk menyususun kalender Islam untuk jangka waktu yang panjang. Hisab ini
sangat sederhana dan praktis untuk dijadikan sistem suatu kalender, di mana
terdapat keteraturan panjang umur bulan, bulan berganti 30 dan 29 hari secara
teratur kecuali pada tahun kabisat bulan terakhir (Dzulhijjah) umurnya ditambah
satu. Sayangnya, hisab ini tidak bisa menggambarkan penampakan hilal, ia juga
tidak cukup teliti untuk keperluan penentuan ibadah.[1]
Kedua, hisab hakiki yaitu suatu
perhitungan awal bulan berdasarkan pada perhitungan peredaran bulan
mengelilingi Bumi dan mempertimbangkan posisi bulan terhadap ufuk. Sedangkan
dalam Almanak Hisab Rukyat, hisab hakiki didefinisikan dengan sistem penentuan
awal bulan kamariyah dengan penentuan kedudukan bulan pada saat Matahari terbenam.[2]
Yang membedakan keduanya ialah hisab haqiqi mempertimbangkan posisi bulan
terhadap ufuk dan umur tiap bulan tidak konstan dan teratur (30 dan 29 hari).
Dalam seminar sehari Hisab Rukyah yang
dilaksanakan pada 27 April 1992 di Tugu
Bogor, ditetapkan bahwa berdasarkan keakuratanya, hisab hakiki diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu: Pertama, pemikiran hisab rukyat yang keakurasiannya
rendah, yakni hisab hakiki taqribi. Adapun kitab yang mengandung sistem hisab
ini antara lain: kitab sullam Nayyirain karya Muhammad Manshur, Tadzkirat al-Ikhwan
karya (Dahlan Semarang), Syamsul Hilal karya Nor Ahmad dll. Kedua,
Pemikiran hisab rukyat yang pemikirannya tinggi namun klasik yakni hisab hakiki
tahkiki. Kitab yang mengandung sistem ini antara lain : al-Khulashah
al-Wafiyah karya Zubair Umar al-Jailani, al-Mathla’ al-Said karya
Husain zaid, Nur al-Anwar karya Nor Ahmad dll. Sedangkan yang ketiga
yaitu pemikiran hisab rukyat yang keakurasiannya tinggi dan kontemporer,
seperti terdapat dalam Almanak Nautika milik TNI AL Dinas Hidro
Oseanografi, Ephemeris milik Kemenag RI, Islamic calender karya
Muhammad Ilyas dsb.
Pada seminar ini pula disepakati bahwa
kitab Fath al-Rauf al-Manan yang merupakan karya monumental KH. Abdul
Jalil Kudus dikategorikan sebagai hisab taqribi. Yang menarik, walaupun
terkategori taqribi, kitab Fath al-Rauf al-Manan masih menjadi salah
satu kitab yang digunakan oleh sebagian masyarakat, terutama masih menjadi
favorit untuk dikaji di pesantren. Bahkan masih digunakan pertimbangan Kemenag
dalam pendataan sistem data hisab dalam menetapkan awal bulan Kamariyah.[3]
Selain menjelaskan sistem hisab awal
bulan kamariyah, kitab Fath al-Rauf
al-Manan juga berbicara tentang hisab dalam memprediksikan terjadinya
gerhana, baik Matahari maupun bulan.
Sistem hisab dalam kitab ini disusun berdasarkan data pergerakan rata-rata
bulan dan Matahari yang disajikan dalam
bentuk tabel.
Untuk menelusuri karakter metode hisab
takribi kitab Fath al-Rauf al-Manan, pemakalah akan membahasnya dalam
makalah ini yang akan terbatasi melalui pembahasan Biografi Penulis kitab Fath
al-Rauf al-Manan, sitem perhitungan dan keklasikan hisab takribinya.
1.1. Biografi KH. Abdul Jalil Kudus
Abdul Djalil memiliki nama lengkap Abu
Hamdan Abdul Djalil bin Abdul Hamid. Ia lahir pada Ahad Kliwon, 2 Juli 1905 M/
28 Rabiul Akhir 1323 H, di Bulumanis Kidul Margoyoso Tayu Pati Jawa Tengah.
Nama orang tuanya adalah KH. Abdul Hamid dan Syamsiah. Riwayat pendidikannya dimulai sejak berada dalam lingkungan
keluaranya, dibawah didikan orang tuanya sendiri. Setelah itu, Abdul jalil
remaja dikirim orang tuanya untuk ngangsu kaweruh di beberapa Pesantren,
seperti di Pesantren Jamsaren solo di bawah asuhan K.H. Idris (1919– 1920
M/1338 – 1339 H), Pesantren Termas Pacitan
Jawa Timur di bawah asuhan K.H. Dimyati, Pesantren Kasingan Rembang Jawa
Tengah di bawah asuhan K.H. Kholil dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur
di bawah asuhan K.H. Hasyim Asy’ari, di sana ia mulai tertarik dengan ilmu
falak.
Pada tahun 1924 M ia melanjutkan
pengembaraannya ke tanah suci, di Makkah Saudi Arabia ia belajar selama dua
tahun. Kemudian kembali ke Indonesia belajar di pondok pesantren Tebuireng
Jombang Jawa Timur diasuh KH. Hasyim Asy’ari selama setahun, setelah itu
kembali lagi ke Makkah sampai tahun 1930 M.[4]
Pengembaraan Abdul Jalil ke Makkah tidak terlepas dari pengaruh, saran dan
dorongan gurunya, KH. Hasyim Asy’ari[5].
Kepakaran hisab Abdul Djalil Hamid ini
pernah diuji ketika beliau di Mekah, di mana hisab gerhana Matahari nya dipakai
oleh pihak kerajaan Arab Saudi. Jabatan dan organisasi yang terkait dengan
kepakarannya dalam bidang falak yakni pernah menjadi Ketua lajnah falakiyah
PBNU beserta merangkap anggota badan hisab rukyat Departemen Agama RI
(1969-1973 M), Ketua Tim penentu kiblat masjid Baiturrohman Semarang tahun 1968
dan menyusun penanggalan/ Almanak NU. KH. Abdul Jalil Hamid wafat pada usia 69
tahun di Makkah pada tanggal 16 Dzulqo’dah 1394 H / 30 November 1974 M.
Abdul Jalil merupakan seorang ulama yang
produktif, ia telah mengarang beberapa kitab dalam beberapa disiplin ilmu yang
berbeda. Selain kitab Fath al-Rauf al-Manan, ia juga tercatat telah
menyusun kitab Dalil al-Minhaj, Tawajjuh, Jadwal Rubu’, Tuhfah al-Asfiya’,
Ahkamul Fuqoha, Takallam bi al-Lughoh al-Arabiyah. Hal ini menunjukkan
bahwa ia bukan merupakan seorang pakar falak, namun juga ahli fikih dan bahasa.[6]
1.2. Sistem Perhitungan Fath al-Rauf al-Manan
Sistem hisab karya Abdul Jalil Hamid
Kudus ini termasuk pada sistem tabel,
yaitu menjadikan posisi bulan dan Matahari pada saat penyusunan data sebagai pedoman,
lalu diadakan penambahan gerak rata-rata sejak waktu itu sampai perhitungan
dilakukan dibarengi dengan koreksi-koreksi yang diperlukan sehingga
menghasilkan posisi sebenar-benarnya pada saat perhitungan dilakukan. Abdul
Jalil menyusun sistem perhitungan awal
bulan dan gerhana dalam kitab Fath
al-Rauf al-Manan dengan menggunakan data astronomis yang ia ambil dari zij
yang disusun oleh syaikh Dahlan Semarang. Zij ini terkenal dengan istilah
ahl al-ha’ah.[7]
Adapun Data dalam kitab ini disajikan
dalam bentuk angka arab (1,2,3..). Apabila diteliti secara mendalam, dapat
diasumsikan bahwa tabel yang dilampirkan dalam kitab Fath al-Rauf al-Manan
merupakan terjemahan data astronomis yang disusun oleh Mas manshur al-Batawi
dalam kitab Sullam al-Nayyirain[8]
yang disajikan dalam bentuk angka jumali dengan menggunakan rumus abajadun
(أبجد هوز حطي كلمن سعفص قرشت ثخذ ضظغ).[9]
Ini artinya, data-data dalam kitab Fath al-Rauf al-Manan juga berpangkal
pada data Zaij[10]
Ulugh Beik.
Data astronomis yang disajikan dalam
kitab Fath al-Rauf al-Manan menggunakan markaz Semarang Jawa Tengah
dengan data bujur 110o 24’ dihitung dari titik nol derajat London
(Greenwich). Pada kitab ini juga disebutkan data bujur Semarang lain yaitu 145o
35’ yang dihitung dari Jazair al-Khalidat, yaitu tempat yang dijadikan
titik nol derajat dan dijadikan acuan perhitungan bujur bumi pada masa lampau,
sebagaimana juga dijadikan patokan dalam kitab-kitab falak generasi sebelum Fath
al-Rauf al-manan. Untuk melakukan perhitungan dengan markaz di daerah lain,
maka cara yang ditempuh ialah menghitung selisih waktu daerah tersebut dengan
markaz Semarang.
Penggunaan titik 0 meridian Greenwich
oleh KH. Abdul Jalil pada masa itu menunjukkan bahwa ia Menyususun kitabnya
dengan mengikuti perkembangan zaman pada masa itu. Apabila kita menengok
sejarah, penetapan Observatorium Greenwich di London sebagai titik 0 derajat merupakan
hasil Konferensi Meridian Internasional di Washington DC pada 1884 yang
dihadiri oleh 25 negara.[11]
A. Mansyur Suryanegara menjelaskan sejarah penetapan GMT itu disebabkan
pengaruh kemenangan Inggris dalam kancah kolonialisme di dunia. Sebelumnya terdapat
beberapa tempat yang sempat dijadikan titik 0 derajat meridian yang menjadi
pusat arah mata angin. Pada awalnya, karena yang membuat peta ialah Ilmuan
Islam, maka titik nol meridiannya ialah makkah untuk salat. Pada masa
penjajahan peta tersebut diambil oleh bangsa penjajah, sehingga Napoleon pernah
memindahkan titik nol tersebut di Prancis dengan membangun menara Eiffel.
Karena kalah pengaruh dengan Inggris, titik nol meridian pun akhirnya dipindah
ke Greenwich.[12]
Sistem perhitungan dalam kitab Fath
al-Rauf al-Manan dilakukan dengan sangat sederhana, hanya meliputi
penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Adapun dalam perhitungan
awal bulan kamariyah, alur perhitungan dalam kitab ini dimulai dari menghitung
data al-alamah, hishah, wasath al-syams, al-Khashah dan markaz
yang pada akhirnya data-data tersebut akan diinterpolasi (ta’dil).
Sistem perhitungan ini sedikit berbeda alurnya dengan kitab sullam
al-nayyirain yang menghitung hingga الأوج (titik equinox).[13]
Dengan pertimbangan bahwa gerakan Matahari
dan bulan tidak rata, maka diperlukan
koreksi gerakan anomali Matahari (ta’dil
al-markaz) dan gerakan anomali bulan (ta’dil al-khashah), yang
keduanya dijumlahkan, kemudian hasil dari koreksi tersebut dikalikan
lima menit, dengan menjumlahkan hasil perkalian tersebut dengan gerakan anomali
Matahari (ta’dil markaz) maka
diperoleh hasil koreksi Matahari (ta’dil
al-syamsi). Dari hasil tersebut dapat dicari muqawwam al-syamsi, dengan
pengurangan dari gerak longitude Matahari (wasath al-syamsi) dengan hasil koreksi
Matahari (ta’dil al-syamsi). Dari
hasil inilah dapat diketahui bulan hijriah yang hendak dicari (konversi bulan
hijriah ke masehi)[14].
Lalu dicari koreksi bulan - Matahari (ta’dil
al-ayyam). Seterusnya dicari waktu yang dibutuhkan bulan untuk menempuh
busur satu derajat (hisshah al-sa’ah). Terakhir dicari waktu ijtimak
sebenarnya yaitu dengan mengurangi gerakan waktu ijtimak rata-rata dengan jarak
Matahari bulan dibagi hishah
al-sa’ah.[15]
Dalam hisab awal bulan dalam kitab
ini, pergantian bulan ditandai dengan adanya ijtimak. Ijtimak ini disyaratkan
terjadi sebelum terbenamnya Matahari dengan tanpa mempertimbangkan keadaan hilal
dari ufuk. Apabila ijtimak terjadi pada siang hari maka secara otomatis malam
berikutnya termasuk bulan baru, walaupun bulan belum bisa dirukyah. Begitu juga
sebaliknya, ketika ijtimak terjadi setelah Matahari terbenam, maka malam berikutnya dan siang
harinya masih termasuk bulan yang lalu atau belum masuk bulan baru[16]
dan bulan baru dimulai pada tenggelamnya Matahari setelahnya (lusa).
Adanya syarat
terjadinya ijtimak harus sebelum terbenamnya Matahari sebagai tanda pergantian bulan dapat diterima
karena permulaan hari dalam kitab ini ialah sejak terbenamnya Matahari . Dengan
demikian ketika data al-sa’ah al-alamah menunjukan angka lebih besar
dari 12, maka ijtimak terjadi pada siang hari. Dan jika datanya menunjukkan
angka kurang dari 12 maka ijtimak terjadi pada malam hari. Contohnya ketika
data al-sa’ah al-alamah berupa 5h 4j 3m
maka ijtimak terjadi pada malam kamis[17] 4
jam 3 menit setelah ghurub, yaitu pada pukul 22:03 WIB. Dengan demikian
bulan baru dimulai pada hari jum’at.[18]
Walaupun tidak memperhitungkan kondisi
hilal dari ufuk, KH. Abdul Jalil telah menyertakan rumus perhitungan untuk
mengetahui arah hilal, keadaan hilal dan
rasi bintang (buruj). Rumus-rumus tersebut antara lain:
1. Jihah Al-Hilal (Arah Hilal)
Arah atau posisi hilal setelah ijtimak
akan selalu mengikuti arah Muqawwam al-Syamsi, dari awal al-Haml
hingga akhir al-Sunbulah adalah sebelah Utara, sedangkan dari awal al-Mizan
hingga akhir al-Hut adalah sebelah Selatan, semuanya dari arah
katulistiwa. Adapun dari pulau Jawa, buruj[19]
yang terletak di arah Selatan adalah dari separuh al-Mizan hingga
separuh al-Hut, dan sisanya berada di bagian Utara Jawa.[20]
2. Haiah Al-Hilal (Keadaan Hilal)
Keadaan
hilal bisa condong ke salah satu arah bisa juga tidak, tergantung pada hasil Muqawwam
al-Syamsi. Apabila Muqawwam al-Syamsi tersebut terletak pada buruj
ke 9, 10, 11, 0, 1, dan 2 maka hilal condong ke Utara Matahari . Namun, apabila
Muqawwam al-Syamsi terletak pada buruj ke 3, 4, 5, 6, 7, dan 8,
maka hilal condong ke sebelah Selatan.
Lain
halnya dengan muqawwam al-syamsi terdapat pada akhir buruj ke-dua atau
bilangan buruj ke-tiga, maka bulan netral dan tidak condong ke arah manapun.[21]
1.3. Keklasikan Hisab Takribi dalam Kitab Fath al-Rauf al-Manan
Kitab Fath
al-Rauf al-Manan merupakan kitab falak karya ulama nusantara yang tergolong
klasik. Apabila kita menengok sejarah perkembangan hisab rukyat di Indonesia,
kitab ini merupakan kitab yang lahir pada generasi kedua. Sedangkan generasi
pertama kitab falak karya ulama nusantara diantaranya ialah kitab sullam
Nayyirain karya Muhammad Manshur dan
Tadzkirat al-Ikhwan karya Dahlan Semarang.
Dikategorikan
sebagai generasi kedua karena kitab ini merupakan salah satu kitab yang disusun
dengan menggunakan data klasik yang disadur dari kitab sebelumnya. Sebagaimana
dijelaskan di atas, data astronomis yang disajikan dalam kitab ini disadur dari
zij ahl al-hai’ah karya kiai Dahlan Semarang yang merupakan terjemahan
(data berbasis angka arab) dari zij dalam kitab sullam al-Nayyirain
karya Mas Manshur al-Batawi yang masih menggunakan angka jumali yang
disajikan dalam rumus abajadun.
Sejauh ini penulis belum bisa memastikan kapan tepatnya kitab ini
diterbitkan (selesai ditulis), namun dengan menelusuri biografi penulisnya,
kita bisa megetahui kira-kira masa penulisannya. Kiai Abdul Jalil diketahui tertarik
mempelajari ilmu falak semenjak mondok dengan KH. Hasyim Asy’ari di
Tebuireng. Ketika berusia 19 tahun Abdul Jalil muda melanjutkan pendidikannya
di Makkah. Setelah sempat pulang ke tanah air, ia kembali lagi ke Makkah dan
pada waktu itu hisabnya pernah digunakan oleh Kerajaan Saudi Arabia ketika
terjadi gerhana. Apabila kita asumsikan pada waktu itu Abdul Jalil sudah
memiliki pemikiran hisab rukyat, maka bisa dikatakan bahwa pemikiran hisab ini
lahir pada tahun 1930 an M dan sekarang sudah berusia 86 tahun.
Dengan
membandingkan kelahiran anatara penulis kitab Fath al-Rauf al-Manan dan
beberapa penulis sebelumnya, setidaknya terdapat selisisih sekitar 30 an tahun.
Asusmsi tersebut dianggap mendekati kebenaran ketika diperbandingkan dengan
kelahiran penulis kitab generasi sebelumnya, misalnya Mas Manshur al-Batawi.
Mas Manshur al-Batawi lahir pada tahun 1878 M sedangkan Abdul Jalil lahir ada
tahun 1905 M.
Meskipun
tergolong kitab yang disusun pada generasi awal, penulis kitab ini sangat
memperhatikan perkembangan dunia ilmu pengetahuan. Hal ini terbukti dengan
penetapan bujur markaz (Semarang) yang diukur dari titik 0 meridian Greenwich
London. Bujur ini juga yang nantinya membedakan kitab ini dengan kitab-kitab
sebelumnya yang menggunakan titik 0 meridian di Jazair al-Khalidat.
Data
astronomis dalam kitab ini yang berasal dari zij Ulugh Beigh dapat
menunjukkan bahwasanya data ini disusun berdasarkan tabel almagest dengan teori
geosentris, yaitu teori yang mengatakan bahwa bumi merupakan pusat tata surya
yang ditemukan oleh Ptolmeus[22]
(127-151). Teori ini mengatakan bahwa Matahari , bulan dan planet-planet
beredar mengelilingi Bumi dengan suatu sistem yang rumit yang isinya
menggambarkan bahwa bumi menjadi pusat peredaran bulan, planet-planet lain, di
antaranya Matahari , dengan urutan sebagai berikut: Bulan, Merkurius, Venus, Matahari
, Mars, Jupiter, Saturnus, dan sebagainya.[23]
Teori ini pada saat ini telah ditumbangkan oleh teori heliosentris yang
mengatakan bahwa mataharai merupakan pusat tata surya, bukan lagi bumi.
Faktor
lain yang menunjukkan keklasikan hisab ini ialah data astronomis yang digunakan
dalam kitab ini merupakan data yang konstan mengacu pada tabel-tabel yang
tercantum. Hal ini jelas berbeda dengan perkembangan hisab rukyat pada masa
kini yang telah mengatakan bahwa pergerakan bumi dan benda-benda lain itu tidak
tetap, namun berubah-rubah, sehingga data astronomis yang digunakanpun selalu up
to date. Sebagai contoh hisab kontemporer saat ini yang berkembang di
Indonesia, yang menggunakan data astronomis yang selalu di up date
setiap tahunnya, seperti data ephemeris hisab rukyat dan almanak nautika.
Data yang
ditampilkan tabel dalam kitab ini masih
sangat sederhana dan klasik, jauh berbeda dengan data yang ada pada ephemeris
yang lebih lengkap. Data Matahari yang
disediakan dalam ephemeris adalah bujur astronomi, lintang astronomi, asensio
rekta, deklinasi Matahari, jarak Bumi-Matahari, semi diameter Matahari kemiringan ekliptika dan perata waktu. Sedangkan
data Bulan meliputi bujur astronomi, lintang astronomi, asensio rekta,
deklinasi, horizontal parallaks, semi diameter, sudut kemiringan Bulan, dan
luas cahaya Bulan.[24]
Keklasikan
lain yang dikandung oleh hisab dalam kitab Fath al-Rauf al-Manan ini
ialah ditunjukkan oleh sistem perhitungannya yang terlihat sangat sederhana,
yaitu hanya dengan melakukan penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian
data-data astronomis dalam tabelnya. Hal ini jauh berbeda dengan sistem
perhitungan hisab kontemporer yang menggunakan sistem segitiga siku-siku dan
segitiga bola[25]
yang diwujudkan dalam rumus sin, cos, tan dll.
Hisab
ijtimak dalam kitab ini sudah didasarkan pada algoritma yang benar, hanya saja
interpolasi yang dilakukan masih sederhana. ta’dil yang dilakukan hanya 5 kali
(ta’dil al-khoshoh, ta’dil al-markaz, ta’dil al-syams, ta’dil al-ayyam,
ta’dil al-‘allamah), sedangkan dalam hitungan ephemeris koreksi ta’dil
dilakukan dalam beberapa koreksi, di anatara koreksi-koreksi tersebut adalah
(interpolasi jam ijtima’, interpolasi deklinasi Matahari , interpolasi perata
waktu, interpolasi right ascension Matahari , right ascension bulan,
interpolasi deklinasi bulan, horizontal parallax, refraksi, interpolasi
cahaya bulan).
Sebagai
contoh dalam perhitungan irtifa’ al-hilal (ketinggian hilal), di mana irtifa’
al-hilal hanya dihitung dengan membagi dua selisih waktu terbenam Matahari dengan waktu ijtimak dengan dasar bulan
meninggalkan Matahari ke arah timur
sebesar 12 derajat setiap sehari semalam. Dari sini nampak bahwa gerak harian
bulan Matahari tidak diperhitungkan, hal
ini dapat dimengerti karena berdasarkan pada teori ptolomeus. Padahal
sebenarnya busur sebesar 12 derajat tersebut adalah selisih rata-rata antara
longitud bulan dan Matahari , sebab kecepatan bulan pada longitud rata-rata 13
derajat dan kecepatan Matahari pada
longitud sebesar rata-rata satu derajat. Seharusnya irtifa’ tersebut
harus dikoreksi lagi dengan menghitung mathla’ al-ghurub mathari dan
bulan berdasarkan wasat Matahari dan wasat bulan.[26]
[1] Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab dan Rukyat Telaah Syariah,
Sains dan Teknologi, Jakarta: Gema insani Press, 1996, hlm. 30-31.
[2]Badan Hisab Rukyat Depag RI, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta:
Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981, hlm. 96
[3] Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab-Rukyat
Praktis dan Solusi Permaslahannya), Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012,
hlm. 201
[4]Pengembaraan ilmiyah seorang muslim tanah air ke makkah pada masa
itu merupakan bentuk penyempurnaan keilmuan. Pada waktu itu masih banyak ulama
Indonesia yang menetap di sana untuk belajar dan mengajar, seperti syaikh
Mahfudz termas dan syaikh Nawawi Banten yang pernah menjadi mufti di sana.
[5] KH. Hasyim Asy’ari juga tercatat pernah dua kali melakukan
perjalanan ke tanah suci untuk mempeljari ilmu agama.
[6]Ahmad Izzuddin, Pemikiran Hisab Rukyah Abdul Djalil (Studi atas
Kitab Fath al-Rauf al-Manan), IAIN Walisongo: Laporan Penelitian Individual
DIPA-PNPB, 2005, Hlm. 30-32
[7] Abdul Jalil, Fath al-Rauf al-Manan, Kudus: Menara Kudus,
T.th., hlm. 2
[8]Izzuddin, Pemikiran..., hlm. 33
[9] Jumali adalah salah
satu model angka yang biasa digunakan oleh para ulama hisab tempo dulu untuk
menyajikan data astronomis benda-benda langit
sebelum mengenal angka. Lihat
Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta : Buana Pustaka, 2005, h.
41
[10]Merupakan kata yang berasal dari kata sansekerta yang
masuk kedalam bahasa Arab dan Persia melalui bahasa Pahlevi yang berarti tabel
astronomi, akan tetapi sebenarnya Zaij tidak hanya tentang tabel tapi meliputi
bahasan tentang astronomi, kronologi astronomi matematis dan
subjek lain yang berhubungan aspek lain
yang merupakan satu bagian penting literature ilmu falak. Biasanya dinamakan
menurut penyusunnya atau kota tempat ia disusun. Lihat Susiknan Azhari, Ensiklopedi
Hisab Rukyah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008, cet. 2, h. 246.
[11]Dhedi’sh, Asal Mula Ditetapkannya GMT (Greenwich Main Time), Jurnal
Kali Lima, Diakses dari http://kaki-5news.blogspot.com/2012/12/ditetapkannya-mt-greenwich-mean-time.html?m=1, pada 9 Nopember 2016 pukul 08.45 WIB.
[12]Disampaikan oleh A. Mansyur
Suryanegara pada Seminar Nasional Menelusuri Indikasi Pengaburan Sejarah Islam
Nusantara yang diselenggarakan oleh Padepokan Dakwah Sunah Kalijaga di Fakultas
Adab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 12 Maret 2015
[13]Jalil, Fath..., hlm. 3
[15]Arrikah Imeldawati, Studi Analisis Metode Hisab Awal Bulan Kamariah dalam Kitab
Sair Al-Kamar, Skripsi, Semarang: Perpustakaan Institut
IAIN Walisongo, 2010, hlm. 63-64
[16]M. Mas manshur al-Batawi, Sullam al-Nayyirain, Jakarta:
Madrasah al-Khairiyah, T.Th., hlm. 11
[17]Hari pada alamah dimulai pada hari ahad.
[18] Jalil, Fathu.., hlm. 13
[19] Pada penggunaan nama buruj (Rasi Bintang), menggunakan
rumus angka, di mulai dari bintang Taurus (al-Tsaur), yakni 1. al-TasurI(Taurus)
, 2. al-Jauza’(Gemini), 3. al-Surthan (Cancer), 4. al-Asad (Leo),
5. al-Sunbulah (Virgo), 6. al-Mizan (Libra), 7. al-Aqrab (Scorpio),
8. al-Qus (Sagitarius), 9. al-Jadi (Capricon), 10. al-Dalwu(Aquarius),
11. al-Hut (Pisces), dan 11. al-Haml (IAries).
[21]Jalil, Fath..., hlm. 14-15
[22] Izuuzddin, Pemikiran..., hlm. 33
[23]Slamet Hambali, Pengantar Ilmu Falak (Menyimak Proses
Pembentukan Alam Semesta), Banyuwangi: Bismillah Publisher, 2012, hlm. 182
[24]Ahmad Ridani, Studi Evaluasi Formula Arah Kiblat Dengan
Theodolit Dalam Buku Ephemeris Hisab Rukyat 2013, Skripsi, IAIN Walisongo, 2013, hlm. 47.
[25]Segitiga bola terjadi ketika tiga buah lingkaran besar pada
permukaan sebuah permukaan bola saling berpotong-potongan. Lihat A. Jamil, Ilmu
Falak teori dan Aplikasi Arah Qiblat, Awal Waktu, dan Awal Tahun (Hisab
Kontemporer), Jakarta: Amzah, 2009, hlm. 56
[26]Izuddin, Pemikiran...,I hlm. 36
0 Comments