Aisyah, Kasih Yang Tak bertuan



Pagi ini menakutkan. Angin yang berhembus pelan seakan membawa ke khawatiran yang begitu berat tuk dipikul. “Bagaimana kau lalui hari tanpa kebiasaan yang memberi ketergantungan?” Guman hati yang seakan belum siap menerima kenyataan.

Di tepi jalan yang biasa kau lalui aku duduk termenung. Matahari mulai mengintip di ufuk timur. Awan tipis masih mengitari horizon langit. Kedua kakiku seolah melakukan gerakan berulang yang tak biasa. Kedua tangan ku genggam mencoba mengalirkan kekuatan kesekujur tubuh. “Bagaimana memulai hari setelah hari ini?” Hati bertanya pada dirinya sendiri.

Perlahan suasa mulai genting, waktu telah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Jika kemarin Ia katakan akan take off pada pukul 09.30 WIB. Otomatis garasi berwarna hitam tersebut akan terbuka beberapa menit lagi. Suasan panas mulai mengalir dari dalam tubuh. Seakan kondisi semakin tak terkendali antara takut kehilangan dengan khawatir tak bisa bertahan.

Kini mentari 30 menit lebih tinggi dari sebelumnya. Dugaanku benar. Terlihat seorang lelaki yang mirip Ayahnya sedang membuka pintu pagar dengan pakaian rapi. Seolah-olah pintu itu terbuka begitu cepatnya sehingga tak bisa tertahan meski oleh batu yang ada pada jalur rodanya. Seketika gerbangpun terbuka lebar. Aku mulai panik. Bangun dari posisi dudukku dan berdiri dengan kondisi yang lebih buruk dari sebelumnya.

“Oh Tuhan. Apakah ini nyata?” Aku masih tak percaya akan apa yang akan aku alami. Serentak aku kaget melihat belakang mobil yang mulai keluar dari pagar. “Oh tidak”. Semua ini ternyata adalah kenyataan yang pernah aku khawatirkan dulu saat pertama kali mengenal Aisyah. Gadis sederhana yang penuh dengan kedinginan sikap. Dimana aku terjebak dalam ruangan dingin tersebut.

Lebih kurang lima tahun sudah aku mengenal Aisyah. Gadis yang penuh dengan kemuliaan sikap. Kami menjalin suatu hubungan aneh namun memberikan kebahagiaan. Jangka waktu yang begitu pangjang hanya dihabiskan dengan saling senyum saat bertemu dipersimpangan dengan sedikit kata sapaan. Tak lebih.

Mobilnya pun telah keluar secara sempurna dari pelataran rumah Aisyah. Perlahan mobil itu menuju ke arahku. Tepatnya jalan satu arah yang biasa digunakan warga sekitar komplek untuk menuju ke arah jalan raya.

Pohon-pohon penghias jalan seolah-olah senyap tanpa ada angin yang menggerakkan. Mungkin mereka tahu suana duka perpisahan tanpa kata yang akan aku alami. Ku pandangi setiap sisi mobil yang melaju pelan. Bola mataku sibuk mencari dimana Aisyah duduk. Seketika kutemu tepat ketika mobilnya berada di samping aku berdiri terpaku.

Entah air apa yang mengalir begitu cepat di pipiku. Mataku tak berkedip melihat detik demi detik Aisyah dan keluarganya menjauh dari pandanganku. Aisyah hanya tersenyum. Senyuman yang jauh sekali berbeda dengan lima tahun yang pernah kita lalui. Aku bisa apa. Menahan air mataku pun aku tak kuasa. Ketika Aisyah sedikit menjauh. Ia melambaikan tangan, dengan gerakan yang seolah-olah agar tidak diketahui keluarganya.

Kisah ini pun akan berakhir dalam hitungan detik. Aisyah pun berlalu dengan berjuta kenangan yang pernah Ia titipkan. Rasanya ingin ku memberontak kenapa aku harus kalah dengan larangan orang tua Aisyah untuk sekedar berteman denganku. Apakah memang tak pantas orang yang putus pendidikan mengenal gadis yang akan melanjutkan studinya di Australia? Apakah tidak ada penilaian baik lain dari keluarganya terhadapku ? sehingga kisah ini harus berakhir tanpa kepastian.

Seketika semua terasa senyap. Aku berjalan kecil. Mencoba menghampiri mobil yang sudah berjalan jauh. Namun setitik pun sudah tak terlihat lagi. Kekecewaan ku pun semakin menjadi. Begitu berat ku rasa mengemban rasa yang tak bertuan ini. Melepas kepergian Aisyah yang tak tahu sampai kapan tanpa ada sebait kejelasan. Seolah semua lenyap ditelan keramaian yang menjadi sunyi. Mentari pun seakan tak jadi hadir di pagi ini. Hanya awan yang menjamuri cakrawala langit pagi. Mungkin alampun berduka dengan apa yang aku alami.

Hujanpun turun. Tidak seperti biasanya. Akupun berlalu bersama tetesan yang tak bisa ku bedakan antara air mata dan air hujan. Ku telusuri jalan pulang dengan deraian air yang mendominasi.   


Post a Comment

0 Comments