الملخص
التكنولوجيا كعلم دائم التطور يتطلع دائما إلى كل شيء بطبيعته، أي حقيقة شيء
يمكن رؤيته وشعوره. عندما تشارك التكنولوجيا في عملية رؤية القمر الجديد، فإنه
سيتم تحديد مظهر القمر الجديد باعتباره الشيء الرئيسي. الاستفادة من التكنولوجيا
لكيفية ترواالهلال
حقا يمكن أن ينظر
إليه مع بعض المعدات. ترواالهلال
يرتبط ارتباطا وثيقا
بتنفيذ العبادة في الإسلام، سواء الصيام، أو العيد ثم أي شيء يتطور على أساس
التكنولوجيا التي لم يكن لها بعد أساس قانوني من صحتها ينبغي إعادة النظر مرة أخرى
صلاحيتها، واحد منهم باستخدام طريقة مصللةه مورسلا. وهذا هو استعراض المشكلة التي
لا يوجد شرح مفصل في ناش أو الحديث من حيث كيماسلاتانيا، أو على نحو أدق كم
كيماسلاتان في التكنولوجيا لرؤية القمر الجديد.
طريقة البحث المستخدمة في هذا البحث هي نوعية، وهي دراسة مشكلة من خلال وصف
عمق المشكلة في عرض ترواالهلال، وكذلك استكشاف العملية ومعناها. التحليل المستخدم
هو التحليل الوصفي الذي يقلل من البيانات ويعرض ويستخلص الاستنتاجات في مشكلة من
خلال وصفها. وأظهرت نتائج هذه الدراسة أن أولا، ويسمح استخدام التكنولوجيا في
القمر روكيات طالما أن التكنولوجيا ليست موكلاف مرهقة، سواء في استخدام ومن حيث
المواد، لأن فوائد التكنولوجيا لرؤية القمر الجديد يجب أن تكون أكبر من صعوبة
الناجمة. ثانيا، إن التكنولوجيا في رؤية القمر الجديد يجب أن تطرح دائما أصالتها
في آليات عملها وأنظمتها وأساليبها، حتى لا تتعارض مع الحقائق الدينية، فإن الأمور
المتعلقة بالتلاعب لا تسمح بعرض تكنولوجيا القمر.
كلمات البحث:
التكنولوجيا، تروا، هلال، مراجعة، مصلاحه مرسلة
ABSTRAK
Teknologi sebagai sains yang terus-menerus berkembang selalu meninjau
segala sesuatu berdasarkan sifatnya, yaitu kebenaran sesuatu yang dapat dilihat
dan dirasakan. Ketika teknologi ikut mengambil peran dalam proses rukyatul
hilal, maka akan menetapkan ketampakan hilal sebagai hal yang utama. Memanfaatkan
teknologi agar bagaimana hilal benar-benar dapat terlihat dengan
peralatan-peralatan tertentu. Rukyatul hilal sangat berkaitan erat dengan
pelaksanaan ibadah dalam Islam, baik puasa, maupun hari raya maka segala
sesuatu yang berkembang berdasarkan teknologi yang belum memiliki landasan hukum
keberlakuannya harus ditinjau kembali keabsahannya, salah satunya dengan
menggunakan metode Maslahah Mursalah. Yaitu meninjau permasalahan yang
tidak ada penjelasan terperinci dalam nash maupun hadis dari segi kemaslahatannya,
atau lebih tepatnya seberapa jauh kemaslahatan dalam teknologi rukyatul hilal
tersebut.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif,
yaitu mengkaji suatu permasalahan dengan mendeskripsikan kedalaman masalah
dalam teknologi rukyatul hilal, juga menggali proses dan maknanya. Analisis
yang digunakan adalah analisis deskriptif yaitu mereduksi data, menyajikan dan
menarik kesimpulan dalam suatu permasalahan dengan mendeskripsikannya. Hasil
penelitian ini menjunjukan bahwa pertama, penggunaan teknologi dalam rukyatul
hilal diperbolehkan selama teknologi yang dimaksudkan tidak memberatkan
mukallaf, baik dalam pengunaannya maupun dalam dari segi materi, karena kemaslahatan
dari teknologi rukyatul hilal harus lebih besar dari pada kesulitan yang
ditimbulkan. Kedua, teknologi dalam rukyatul hilal harus senantiasa
mengedepankan orisinalitas dalam mekanisme kerja, sistem dan metodenya, agar
tidak bertentangan dengan kebenaran agama, maka hal-hal yang berkaitan dengan
manipulasi tidak diperbolehkan dalam teknologi rukyatul hilal.
Kata Kunci: Teknologi, Rukyat, Hilal, Tinjauan, Maslahah Mursalah
ABSTRACT
Technology
as a constantly evolving science always looks at everything by nature, that is
the truth of something that can be seen and felt. When technology takes part in
the process of rukyatul hilal, it will determine the appearance of the new moon
as the main thing. Utilizing technology for how hilal really can be seen with
certain equipment. Rukyatul hilal is closely related to the implementation of
worship in Islam, whether fasting, or festivals then anything that develops
based on technology that has not had legal basis of its validity must be
reviewed again its validity, one of them by using Maslahah Mursalah method.
That is reviewing the problem that there is no detailed explanation in the nash
or hadith in terms of kemaslahatannya, or more precisely how far the benifit in
technology of rukyatul hilal it.
The
research method used in this research is qualitative, that is studying a
problem by describing the depth of problem in technology of rukyatul hilal,
also explore process and its meaning. The analysis used is descriptive analysis
that reduces data, presents and draws conclusions in a problem by describing
it. The results of this study show that first, the use of technology in
rukyatul hilal is allowed as long as the technology is not burdensome people,
both in the use and in terms of material, because the benefits of technology
rukyatul moon must be greater than the difficulty caused. Secondly, technology
in rukyatul hilal must always prioritize its originality in its working
mechanisms, systems and methods, so as not to contradict religious truths, then
matters relating to manipulation are not allowed in rukyatul hilal technology.
Keywords: Technology, Rukyat, Hilal, Review, Maslahah Mursalah
A. Pendahuluan
Teknologi
dan agama merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan. Keberadaan
teknologi yang terus-menerus berkembang senantiasa memposisikan teknologi tersebut
ke dalam setiap permasalahan-permasalahan agama. Terutama terhadap permasalahan
yang masih belum menuai penyelesaian, seperti halnya rukyatul hilal. Sebagai
salah satu metode penentuan awal bulan kamariyah di Indonesia, rukyatul hilal
sangat berpotensi untuk dilakukan dengan menggunakan bantuan teknologi. Mulai
dari penggunaan teleskop robotic, teleskop inframerah termal, sistem
aktif atau bahkan sensor radar.
Sejauh
ini masih terdapat perbedaan tentang penggunaan alat bantu teknologi di dalam
rukyatul hilal. Terdiri dari dua kelompok, pertama kelompok yang meyakini
rukyat hanya dapat dilakukan dengan menggunakan mata telanjang. Kedua kelompok yang
berpandangan rukyat dapat dilakukan dengan alat bantu dengan batasan-batasan
tertentu.
Dalam
penggunaan alat bantu, mengenai batasan-batasannya sejauh ini banyak yang
merujuk kepada tiga pendapat ulama, Ibnu Hajar misalnya, tidak
mengesahkan penggunaan cara pemantulan melalui kaca atau air. al-Syarwani lebih
jauh menjelaskan bahwa penggunaan alat yang mendekatkan atau membesarkan
seperti teleskop, air, ballur[1] masih dapat dianggap sebagai
rukyah. Al- Muthi’i menegaskan bahwa penggunaan alat optik sebagai penolong
diizinkan karena yang melakukan penilaian terhadap hilal adalah mata perukyah
sendiri.[2]
Berdasarkan
pendapat di atas, batasan penggunaan alat bantu berupa teknologi masih sangat
sempit. Jika penggunaan alat bantu tersebut hanya sebatas membantu memperdekat
jarak pandang mata terhadap objek hilal maka hal ini akan mengenyampingkan
penggunaan teleskop inframerah termal, sistem aktif dan sensor radar dalam
rukyatul hilal. Padahal jika kita melihat kemampuan tiga komponen tersebut
dalam mempermudah pengamatan hilal sangatlah baik, mengingat kebutuhan terhadap
metode rukyatul hilal yang memberikan suatu pembaharuan memang sangatlah
dibutuhkan.
Dalam hal
ini telah terjadi gab antara penggunaan alat bantu dalam rukyatul hilal
(dengan batasan tertentu) dengan penggunaan teknologi rukyat berbasis
inframerah, sistem aktif, dan sensor radar. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka perlu dilakukan penelusuran lebih jauh mengenai penggunaan teknologi dalam
rukyatul hilal. Karena hal ini sangat erat hubungannya dengan sah atau tidaknya
penggunaan teknologi tersebut, maka akan ditinjau berdasarkan metode Maslahah
Mursalah. Kemaslahatan umum sebagai kerangka dasar dari ide pembaruan
hukum Islam selalu menjadi
perhatian banyak kalangan yang secara gradual terus melaju. Berbagai kasus dari perspektif hukum Islam
menjadikan acuan utamanya adalah dasar kemaslahatan umum bagi kehidupan manusia
secara universal.
Ada
beberapa kajian yang membahas tentang penggunaan teknologi dalam rukyatul
hilal, di antaranya:
Pertama, S. Farid
Ruskanda tentang Teknologi Rukyah Secara Objektif sebuah makalah ilmiah yang
disampaikan pada Diskusi Panel Teknologi Rukyah Awal Bulan Ramadhan dan Syawal[3]
dalam makalah tersebut dijelaskan bahwa terdapat tiga pilihan teknologi yang
dapat digunakan pada saat langit dalam keadaan cerah untuk rukyatul hilal,
diantaranya: sistem pasif untuk cahaya tampak, sistem pasif untuk inframerah,
dan sistem aktif. Selain itu juga terdapat teknologi yang dapat digunakan dalam
keadan langit berawan, yaitu sistem radar.[4]
Penelitian ini memberikan opsi penggunaan teknologi pada dua keadaan untuk rukyatul hilal, di mana keberlakuannya
masih mempertimbangkan pendapat para ulama.
Kedua, Ma’ruf Amin tentang Rukyah
untuk Penentu Awal dan Akhir Ramadhan Menurut Pandangan Syari’ah dan Sorotan
Iptek sebuah makalah ilmiah yang disampaikan pada Diskusi Panel Teknologi
Rukyah Awal Bulan Ramadhan dan Syawal. Makalah ini menjelaskan prinsip syariah
yang tidak menolak keikutsertaan iptek dalam proses penentuan awal dan akhir
Ramadan, selama tidak bertentangan dengan syari’ah atau mengabaikan petunjuk
yang telah diberikan syari’ah. Penggunaan teknologi rukyah secara objektif
sebagai pendamping dari rukyah bil fi’li tanpa
alat, seperti yang selama ini dilakukan, dapat dilaksanakan. [5]Namun
memang hingga saat ini belum ada kesepakatan para ulama tetang boleh tidaknya
hasil rukyah bil fi’li dengan
menggunakan alat, maka diperlukan kajian lebih lanjut.
Ketiga, Dito Alif Pratama, Rukyatul
Hilal Dengan Teknologi: Telaah Pelaksanaan Rukyatul Hilal di Baitul Hilal Teluk
Kemang Malaysia, Penelitian ini menjelaskan tentang Baitul Hilal Teluk
Kemang yang merupakan salah satu tempat
yang dijadikan patokan oleh pemerintah malaysia dalam menentukan awal bulan
kamariah, khususnya bulan Ramadan, syawal, dan Zulhijah. Tempat ini juga pernah
berhasil merekam hilal termuda pada bulan Sya’ban 1431 H (12 Juli 2010) dengan
umur hilal 16:16 jam.[6]
Perbedaan
kajian ini dengan kajian yang lain terletak pada peninjauan keabsahan teknologi
rukyatul hilal, yang pada penelitian ini penulis menggunakan metode Maslahah
Mursalah. Penulis akan meninjau aspek maslahat dalam teknologi rukyatul
hilal, sehingga akan menuai suatu kesimpulan yang menunjukan status penggunaan
teknologi dalam rukyatul hilal.
B. Pembahasan
1. Tinjauan
Tentang Maslahah Mursalah
a. Pengertian Maslahat Mursalah
Secara etimologi, maslahah adalah turunan
dari kata shaluha-yashluhu-shâlih
yang berarti
(baik) yaitu
lawan dari buruk atau rusak. Kata mashlahah adalah
singular (mufrad) dari kata mashâlih
yang merupakan
masdar dari ashlaha
yang bermakna
mendatangkan kemaslahatan. Dengan
demikian, kata mashlahah juga diartikan
dengan al-shalah
yaitu kebaikan
atau terlepas darinya kerusakan.[7]
Ungkapan bahasa Arab menggunakan maslahat dalam arti manfaat atau perbuatan dan pekerjaan yang mendorong serta mendatangkan manfaat kepada manusia.[8]
Ungkapan bahasa Arab menggunakan maslahat dalam arti manfaat atau perbuatan dan pekerjaan yang mendorong serta mendatangkan manfaat kepada manusia.[8]
Sedangkan dalam arti umum, maslahah
diartikan sebagai segala sesuatu yang
bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti
menarik atau
menghasilkan, seperti menghasilkan keuntungan
atau kesenangan, atau dalam arti menolak atau
menghindarkan seperti menolak kemudaratan
atau kerusakan. Jadi, setiap yang mengandung
manfaat patut disebut maslahat meskipun
manfaat yang dimaksud mengandung dua sisi,
yaitu mendatangkan kebaikan dan menghindarkan
bahaya atau kerusakan disisi lain.[9]
Ahli ushul fiqh memberi pengertian Mashlahat
Mursalah sebagai kemaslahatan yang seara dengan tujuan syari’ al-Islami (Allah
SWT), namun tidak akan ada petunjuk khusus yang mengakuinya atau menolaknya.
Setiap hukum yang ditetapkan Allah dalam al-Qur’an bagitu pula yang ditetapkan
Nabi dalam Sunagnya mengandung unsur maslahat dalam tinjauan akal, baik dalam
bentuk mendatangkan manfaat atau kebaikan yang diperoleh oleh manusia maupun
menghindarkan kerusakan dari manusia. Maslahat itu berkenaan dengan hajat hidup
manusia, baik bentuk agama, jiwa, akal, keturunan, harga diri, maupun harta.
Oleh karena itu, dalam keadaan tidak ditentukan hukumnya dalam al-Qur’an maupun
Sunnah Nabi, maka dapatlah hukum syara’ atau fiqh ditetapkan dengan
pertim,bangan maslahat itu.[10]
b.
Dasar Hukum Mashlahat
Mursalah
Para ulama yang menjadikan maslahat sebagai
salah satu dalil syara’, menyatakan bahwa dasar hukum maslahat mursalah, ialah:
1)
Persoalan yang
dihadapi manusia selalu tumbuh dan berkembang, demikian pula kepentingan dan
keperluan hidupnya, kenyataan menunjukkan bahwa banyak hal-hal atau persoalan
tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW., kemudian timbul dan terjadi pada
masa-masa sesudahnya, bahkan ada yang terjadi tidak lama setelah Rasulullah
SAW., meninggal dunia. Seandainya tidka ada dalil yang dapat memecahkan hal-hal
demikian berarti akan sempitlah kehidupan manusia. Dalil itu ialah dalil yang
dapat menetapkan mana yang merupakan kemaslahatan manusia dan mana yang tidak
sesuai dengan dasar-dasar umum dari agama Islam. Jika hal itu telah ada, maka
dapat direalisasikan kemaslahatan manusia pada setiap masa, keadaan dan tempat.
2)
Sebenarnya
para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan para ulama yang datang sesudahnya
telah melaksanakannya, sehingga mereka dapat segera nenetapkan hukum susuai
dengan kemalahatan kaum muslimin pada masa itu. Khalifah Umar telah menetapkan
talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus jatuh tiga, padahal pada masa
Rasululkah SAW., hanya jatuh satu, Khalifah Utsman telah memerintahkan
penulisan al-Qur’an dalam satu mushaf dan Khalifah Ali pun telah menghukum
bakar hidup golongan Syi’ah Radidhah yang memberontak, kemudia diikuti
oleh para ulama yang datang sesuadahnya.[11]
c.
Kamaslahatan
Manusia Dalam Prinsip Hukum Islam
Menerapkan hukum Islam atas manusia senantiasa
memerhatikan kemaslahatan manusia. Hal ini terjadi sesuai dengan situasi dan
kondisi suatu masyarakat. Oleh karena itu, hukum yang ditetapkan akan dapat
diterima dengan lapang dada, dikarenakan kesesuaian akal dengan kenyataan yang
ada. Maka dalam penetapan hukum itu selalu didasarkan kepada tiga sendi pokok,
yaitu:
1)
Hukum
ditetapkan setelah masyarakat membutuhkan hukum-hukum itu.
2)
Hukum-hukum
ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak nenetapkan hukum dan memudahkan
masyarakat ke bawah ketetapannya.
3)
Hukum-hukum
ditetapkan menurut kadar kebutuhan masyarakat.
Ibnu Qayyim berkata: “Sesungguhnya syarat
itu fondasi dan asasnya adalah hikmah dan kemaslahatan hamba, baik dalam
kehidupan dunia maupun akhirat”.[12]
Dimana ada kemaslahatan di sana ada hukum
Allah SWT., adalah ungkapan populer di kalangan ulama, maka mempertimbangkan
kemaslahatan dapat dijadikan dalil hukum dan dutetapkan hukum bagi banyak masalah
baru yang tidak disinggung oleh al-Qur’an dan Sunnah.[13]
Salah satu bagian penting dari pembagian hukum
adalah kesediaan untuk mengakui bahwa kemaslahatan yang dimiliki oleh manusia
di dunia dan di akhirat dipahami sebagai sesuatu yang relatif, tidak absolut.
Dengan kata lain, kemaslahatan tidak akan diperoleh tanpa pengorbanan
sedikitpun. Sebagai contoh semua kemaslahatan yang diatur oleh hukum yang
berkenaan dengan kehidupan seperti pangan, sandang dan papan memerlukan
pengorbanan dalam batas yang wajar. Tujuan daripada hukum adalah untuk
melindungi dan mengembangkan perbuatan-perbuatan yang lebih banyak
kemaslahatannya, dan melarang perbuatan-perbuatan yang diliputi bahaya dan
memerlukan pengorbanan yang tidak semestinya.
Kemaslahatan yang ingin diselesaikan adalah
yang memiliki syarat seperti berikut:
1)
Masalah itu
harus real atau berdasarkan prediksi yang kuat dan bukan khayalan.
2)
Maslahat yang
ingin diwujudkan harus benar-benar dapat diterima akal.
3)
Haru sesuai
dengan tujuan syari’at secara umum, dan tidak bertentangan dengan prinsip umum
syari’at.
4)
Mendukung
raelisasi masyarakat daruriyat atau menghilangkan kesulitan yang berat
dalam beragama.[14]
d.
Bentuk-bentuk
Maslahat
Ulama membagi
maslahat sebagai berikut:
1)
Sesuatu yang
maslahat menurut pertimbangan akal, dan disamping itu ada pula petunjuk khusus
dalam nash atau ijmak bahwa maslahat itu dapat diperhitungkan. Maslahat bentuk
ini disebut al-mashlahah al-mu’tabarh. Maslahat dalam bentuk ini
disepakati oleh ulama untuk dijadikan petunjuk dalam menetapkan hukum.
Umpamanya tidak boleh mendekati (hubungan kelamin dengan) istri yang sedang
haid adalah baik menurut akal, karena yang demikian mendatangkan penyakit yang
merusak. Hal ini pun sudah sejalan pula dengan larangan Allah dalam al-Qur’an.
2)
Sesuatu yang
maslahat menurut akal, namun ada petunjuk khusus dalam nash atau ijmak yang
menolaknya. Mashlahat dalam bentuk ini disebut al-maslahah al-mulghah. Ulama
telah sepakat untuk menolaknya menjadi dalil hukum syara’. Umpamanya
berdasarkan pertimbangan akan adalah sesuatu kemaslahatan menyamakan hak
laki-laki dan perempuan dalam hak menerima warisan, karena sesuai dengan emansipasi
perempuan yang telah meningkat. Namun, apa yang ditetapkan sebagai maslahat
oleh akal itu tidak sejalan dengan petunjuk al-Qur’an yang menetapkan hak anak
laki-laki adalah dua kali hak anak perempuan.
Sesuatu yang maslahat menurut pertimbangan
akal, tetapi tidak ada nash secara khusus yang membenarkannya dan juga tidak
ada petunjuk khusus yang menolaknya. Maslahat dalam bentuk ini disebut al-maslahah
al-mursalah. Umpamanya usaha menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dalam satu
mushaf pada masa khalifah Abu Bakar. Usaha ini adalah baik, karena kalau tidak
dilakukan ayat-ayat al-Qur’an akan berserakan dan hilang. Tidak ada dalil yang
melarangnya, meskipun juga tidak ada dalil yang menyuruhnya.[15]
2.
Teknologi dalam Rukyatul Hilal
Teropong atau
teleskop adalah alat untuk melihat (scope) benda yang jauh (tele). Jika
benda yang akan dilihat itu terlalu kecil karena sangat jauh, maka teropong
akan sangat membantu. Seberapa kuat suatu teropong bisa mendekatkan (atau
membantu benda terlihat dekat) dinyatakan dalam perbesaran teropong. Dengan
teropong yang memiliki pembesaran 5 x misalnya, maka benda akan terlihat 5 x
lebih dekat dibandingkan dengan melihat dengan mata telanjang.[16]
Hilal yang
diameternya hampir sama dengan diameter bulan purnama menunjukkan bahwa masalah
utamanya bukanlah jarak bulan dengan bumi, yang jauhnya kira-kira 400.000
kilometer. Masalahnya adalah selain matahari, bulan terlihat sebagai benda
langit yang terbesar dan mencakup sudut pandang sekitar setengah derajat.
Dengan demikian, perbesaran teropong tidak akan banyak membantu.[17]
Suatu benda akan
terlihat dengan baik bukan hanya karena besarnya, namun juga karena terlihat
lebih kontras. Kontras adalah perbedaan kuat cahaya antara benda yang menjadi
pusat pandang dan latar belakangnya. Agar tampak jelas dan kontras, kuat cahaya
atau kecerahan benda harus lebih terang daripada latar belakangnya. Persyaratan
inilah yang sulit dipenuhi dalam rukyatul hilal karena dua hal. Pertama, cahaya
dari hilal sangat lemah, hanya sekitar beberapa persen, bahkan kadang-kadang
kurang dari satu persen dari cahaya bulan purnama. Sementara itu, cahaya latar
belakang demikian kuatnya. Cahaya ini berasal dari cahaya putih yang terang.
Cahaya lain yang sering kali lebih dominan adalah cahaya cerlang petang,
berasal dari sinar matahari yang dihamburkan oleh butiran-butiran kecil (partikel)
di atmosfer. Pada umumnya, cahaya ini berwarna tunggal (monokromatik) kuning
keemasan. Kedua, jenis cahaya ini saling bergabung sehingga menjadi sangat kuat
dan mampu menenggelamkan cahaya hilal. Dengan demikian, penggunaan teropong
bagaimanapun besar ukurannya, tidak akan banyak menolong. Penggunaan teropong
yang semakin besar justru punya kecendrungan semakin menyulitkan.[18]
Melihat hal tersebut
maka pengembangan teknologi rukyatul hilal ke arah yang lebih jauh semakin
dibutuhkan, guna mempermudah pengamatan hilal. Alat bantu yang dibutuhkan bukan
hanya sebatas alat yang mampu memperdekat jarang pandang mata terhadap objek
hilal, melainkan harus jauh lebih baik. Misalnya seperti penggunaan inframerah
termal, sistem aktif atau bahkan sensor radar. Yang diyakini lebih mempermudah
pengamatan hilal dari sekedar memperdekat jarang pandang mata.
Terdapat beberapa
teknologi yang dapat digunakan untuk mempermudah pengamatan hilal, di
antaranya:
a. Sistem teleskop
cahaya (visible light), yang membantu memperdekat ketampakan hilal
terletak pada panjang gelombang 0,4-0,7.
b. Sistem teleskop
inframerah termal (radiasi panas) yang terletak pada panjang gelombang sekitar
3-5 atau 8-14.
c. Sistem aktif, yaitu
menyoroti bulan dengan laser.
d. Sistem kebal cuaca,
yaitu dengan menggunakan sensor yang peka terhadap radiasi gelombang mikro.[19]
Sistem teleskop
cahaya dan teleskop inframerah termal dilengkapi dengan penyempurnaan citra
hilal dengan menggunakan komputer, dan dikombinasikan dengan perekam video
kamera telivisi untuk keperluan penayangan langsung. Kedua sistem ini merupakan
sistem pasif, artinya radiasi yang diterima dari sensor adalah radiasi yang
dipantulkan atau dipancarkan oleh bulan (dalam hal ini bulan merupakan sumber
radiasi). Sedangkan sistem aktif, dengan teknologi ini radiasi yang diterima
sensor adalah gabungan radiasi yang dipancarkan bulan yang berasal dari
matahari dan dari laser CO2 yang kita tembakkan dari bumi ke bulan,
yang kedua-duanya merupakan radiasi inframerah. Ketiga sistem ini tidak dapat
menembus awan, kecuali sistem kebal cuaca, yang radiasinya dapat menembus awan,
misalnya sensor radar.
3.
Faktor-faktor Penyebab
Dibutuhkan Teknologi dalam Rukyatul Hilal
a.
Melihat Benda
Jauh dan Tampak Kecil
Untuk melihat benda yang jauh dan tampak kecil
(karena sudut pandangnya kecil, dalam hal rukyatul hilal = 0,5), maka
diperlukan teknologi yang dapat mendekatkan pandangan atau memperbesar sudut
pandangan. Sebenarnya kedua fungsi itu identik, benda tampak jauh karena sudut pandangnya
kecil. Benda jauh kan terlihat dekat, kalau kita mendekatinya. Karena dengan
mendekatinya maka sudut pandagnya jadi lebih besar. Jika tanpa teknologi, maka
sasaran untuk memperbesar sudut pandang itu hanya dapat dicapai dengan
mendekatinya. Semua ini tak perlu dilakukan jika kita menggunakan teknologi.
Jadi supaya bulan tampak besar, tak perlu kita terbang mendekatinya, cukup
dengan menggunakan teknologi teleskop (teropong). Teknologi yang secara harfiah
berarti untuk melihat (scope) benda jauh (tele). Sebagaimana
halnya tele-phone untuk mendengarkan suara (phone) ditempat jauh,
telekomunikasi untuk berkomunikasi dengan orang yang jauh.
Teleskop atau sering disebut teropong umumnya
menggunakan komponen optik seperti lensa, cermin dan prisma untuk menjalankan
fungsinya alat ini dibedakan antaranya dari pembesaran sudutnya. Pembesaran
sudut ini menyatakan berapa kali diperbesarnya sudut pandang yang masuk ke alat
ini. Jadi jika teleskop dengan pembesaran 10 digunankan untuk melihat bulan,
maka sudut pandang yang masuk adalah setengah derajat. Sedangkan sudut pandang
yang keluar adalah sepuluh kalinya, sebesar 10 x 0,5 = 5 derajat. Dengan
teropong ini maka bulan akan tampak sepuluh kali lebih besar.
Dalam mencapai fungsinya, teleskop menggunakan
lensa-lensa, cermin, maupun prisma. Jika cahaya melewati bahan gelas atau
dipantulkan oleh lapisan cermin, maka tentu saja ada sebagian terserap,
sehingga mengurangi kekuatannya. Cahaya akan tampak lebih redup. Ini salah satu
kerugian pengunaan teknologi teleskop.
Kerugian lain adalah karena sudut pandangnya
lebih kecil dari mata biasa, maka bila arah benda yang terlihat masih harus
dicari, mata manusia akan lebih mudah mendapatkannya. Namun setelah arah
pandangan terhadap benda yang dijadikan sasaran sudah diperoleh, maka dengan
menggunakan teleskop pandangan akan tampak lebih jelas, karena tampat lebih
dekat.
b.
Melihat Benda
dengan Cahaya Lemah
Cahaya dari hilal masih paling kuat
dibandingkan dengan cahaya dari bintang-bintang bahkan dibandingkan dengan
planet-planet tata surya kita. Namun demikian, terutama untuk pandangan mata
secara langsung, cahaya ini masih sangat lemah, sehingga menyulitkan
pelaksanaan rukyat secara konvensional dengan menggunakan mata secara langsung.
Untuk menyelesaikan masalah lemahnya cahaya
ini maka digunakan teknologi Pelipatgandaan Cahaya (Light Intensification). Dengan
menggunakan suatu komponen yang dinamakan image intensifier maka bantuan
intensitas cahaya dilipatgandakan sampai 50.000 kali. Dengan teknologi yang telah
dikuasai Indonesia sejak 1980 ini, maka intensitas citra hilal yang telah
didekatkan oleh teleskop kemudian dilipatgandakan kecerahannya sehingga puluhan
ribu kali lebih terang.
Keuntungan dari teknologi Pelipatgandaan
Cahaya ini adalah selain dapat melipatgandakan cahaya tampak atau cahaya yang
terlihat oleh mata (visible light), teknologi ini juga dapat
melipatgandakan cahaya yang tampak seperti cahaya inframerah Plus. Karena
selain memperkuat inframerah, juga dapat memperkuat cahaya tampak, bahkan juga
Gelombang Ultraviolet seperti pada Teknologi Intensified Charge Couple
Device.
c.
Pengamatan
dalam Latar Belakang Cahaya Rembang Petang (Twilight)
Cahaya rembang petang lazimnya mulai tampak
dalam warna cahaya kuning keemasan, selanjutnya kembali berubah menjadi jingga
kemudian merah. Kemudian tepat pada saat awal waktu salat isak cahaya ini
menghilang. Rembang petang ini memang tak selalu tampak terang pada setiap
petang. Warna cahaya rembang petang ini tergantung pada besarnya butiran
partikel di udara yang menghamburkan cahaya matahari terbenam. Semakin besar
butiran di atmosfer, warnanya akan mendekati merah. Makin kecil butirannya
warnanya makin mendekati kuning. Sedangkan kekuatan cahayanya tergantung
banyaknya partikel di udara. Bila partikel merupakan partikel pencemar udara
lingkungan, maka makin tercemar udaranya semakin kuat cahaya rembang petangnya.
Masalah cahaya rembang petang ini sangat
mengganggu, karena akan makin membuat hilal yang tipis itu tampak tenggelam
dalam cahaya latar belakang, untuk mengatasi hal itu maka diigunakan filter
(tapis) yang disebut filter substraksi (substraction filter) warna
sehingga semua warna dengan cahaya rembang petang diblokir, ditahan sehingga
tak masuk kedalam pengamatan. Walaupun cahaya yang sewarna ini termasuk berasal
dari hilal itu sendiri, namun tidak perlu dikhawatirkan karena cahaya dari
hilal juga masih mengandung warna-warna lain dan cahaya inframerah. Dengan
kombinasi Image Intensifier, maka masalah kekuatan cahaya yang makin
kecil setelah melalui “blokade” oleh filter subtrasi ini dapat teratasi.
d.
Perancangan
Teleskop Penguatan Citra untuk Rukyatul Hilal
Salah satu teknologi yang dipakai
adalahTeleskop Image Intensifier yang dikombinasikan dengan Filter Subtraksi
Warna (kuning, jingga atau merah). Untuk objektif teleskop digunakan lensa
dengan panjang fokus 500 m atau 200 mm dengan bukaan rana masing-masing sebesar
f/8.0 dam f/1.7. dengan kedua objektif dan menggunakan tabung Image
Intinsifier 18 mm, maka hilal akan terlihat masing-masing sebesar seperempat
dan sepersepuluh pandangan. Jadi jika hasil pengamatan ditayangkan pada layar
televisi, maka hilal akan tampak mengisi masing-masing seperempat dan
sepersepuluh besar layar televisi. Hasil pengamatan kemudian dapat direkam
melaui video-tape, dibuatnya foto dengan kamera, atau melalui
video-printer yang adapat menyetak langsung semua gambar yang terekam dalam
video tape atau ditayangkan di televisi.[20]
4. Analisis
Teknologi Rukyatul Hilal
Maslahah Mursalah menijau suatu persoalan berdasarkan terdapat tidaknya kemaslahatan dalam
suatu perkara yang belum ada kepastian hukumnya. Terutama pada
persoalan-persoalan kontemporer, yang membutuhkan penggalian hukum karena belum
ada nash atau hadis yang menjelaskannya. Dimana dalam hal ini, teknologi
rukyatul hilal yang berkembang seiring kemajuan zaman menawarkan sebuah solusi
terhadap permasalahan yang kerap muncul pada setiap penentuan awal bulan
kamariah, khususnya pada bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Diakui atau tidak
bahwa tanpa bantuan teknologi sering ditemui kesulitan dalam mendeteksi
ketampakan hilal. Baik karena ketinggian hilal yang rendah maupun faktor cuaca
yang cenderung berawan pada saat melakukan pengamatan. Maka sangatlah wajar
jika teknologi ikut mengambil andil dalam penetapan awal bulan.
Berdasarkan kualitas
dan kepentingannya, maka persoalan teknologi rukyatul hilal termasuk dalam
kategori al-Mashlahah alhâjiyyah, dimana
hal ini dibutuhkan untuk melengkapi kebutuhan pokok dalam beribadah (puasa dan hari raya). Agama dibangun atas prinsip dasar
untuk mencegah kesulitan dan kesukaran serta mendatangkan kemudahan. Kesulitan
terhadap melihat hilal dengan mata telanjang akan menjadi mudah dengan bantuan
teknologi yang dipandang lebih mampu untuk menghilangkan kessulitan dalam
rukyatul hilal tersebut. Karena jika kemajuan teknologi tidak di ikut sertakan
dalam rukyatul hilal maka akan membuat ketidak sesuaian hukum itu terhadap
perkembangan zaman.
Berdasarkan kandungannya,
teknologi rukyatul hilal ini berkaitan erat dengan kemaslahatan umum. Perbedaan
memulai puasa atau hari raya telah lama menggejolak di Indonesia, hal tersebut
tidak terlepas dari perbedaan pandangan dalam menetapkan awal bulan kamariah.
Bukan hanya persoalan antara mazhab hisab dengan mazhab rukyat, akan tetapi
pada masing-masing mazhab juga masih terdapat perbedaan. Karena ini menyangkut
kepentingan banyak manusia maka peran teknologi yang memberikan suatu solusi
yang objektif perlu dipertimbangkan.
Di sisi lain, jika penggunaan
alat dalam rukyatul hilal masih terpaku pada pendapat Ibnu Hajar, al-Syarwani,
dan al-Muthi’i yang secara umum alat yang dimaksdukan hanya sebatas membantu
pendekatan mata, maka secara otomatis teknologi rukyatul hilal yang telah
dipaparkan tidak diperbolehkan. Padahal
jika ditelusuri biografi ketiga ulama di atas, misalnya
Ibnu hajar yang wafat pada tahun 1449 Masehi, maka sangatlah wajar jika
pandangannya mengenai pengguaan alat dalam rukyatul hilal masih tergolong
sangat sempit (tidak memperbolehkan menggunakan alat seperti kaca) karena pada
masa tersebut perkembangan teknologi yang dapat dikatakan masih terbatas,
sehingga tidak muncul pemikiran tentang pemanfaatan teknologi yang lebih jauh
seperti saat ini. Bagitu halnya dengan al-Syarwani dan al-Muthi’i meskipun
keduanya baru wafat sekitar lebih kurang 100 tahun-an lalu, namun tetap saja
peradaban teknologi pada masa tersebut juga masih terbatas.
Dalam hal rukyatul hilal, yang
dipermasalahkan bukanlah tidak ada nash atau hadis yang memerintahkan pelaksanaannya.
Melainkan tidak adanya keterangan yang terperinci dalam hadis yang menjadi
sumber penetapan awal bulan kamariyah dengan rukyatul hilal, sehingga mucul
banyak pendapat mengenai cara yang dilakukan untuk melihat hilal. Maka ketika
teknologi mengambil peran dalam rukyatul hilal, ada beberapa hal yang dipandang
sebagai maslahat:
Pertama, menghilangkan kesukaran
dalam pengamatan menggunakan mata telanjang. Sejak dulu hingga saat ini masih
ada golongan atau kelompok yang berpengan pada rukyat dengan mata telanjang.
Sejatinya, jika dibuktikan secara objektif, sangat tidak mungkin melihat hilal
dengan mata telanjang pada saat ketinggian hilal sangat rendah. Hal itu juga
dibuktikan dengan beberapa kesaksian yang menyatakan melihat hilal padahal
berdasarkan hisab hilal sama sekali masih belum wujud. Padahal bisa saja yang
terlihat oleh mata tersebut rangkaian awan yang terlihat seperti hilal. Banyak
kesulitan dalam melihat hilal dengan mata telanjang, karena selain hilal itu
letaknya sangat jauh dari pengamat hilal juga merupakan objek yang sangat kecil
dan minim cahaya. Maka kemampuan mata telanjang akan sangat terbatas dalam
mendeteksi hilal. Belum lagi jika keadaan langit pada saat pengamatan berawan.
Kedua, teknologi rukyatul hilal
dapat memperkecil kemungkianan perdedaan dalam mengawali puasa maupun hari
raya. Tentunya hal ini akan memberikan dampak positif terhadap perbedaan yang
terjadi selama ini. Dengan hilang atau berkurangnya perbedaan tersebut, maka
muncullah kemaslahatan yang dapat mempersatukan umat. Kemampuan teknologi
rukyatul hilal yang dapat ditanyangkan melalui pemancar televisi akan dapat
disaksikan oleh banyak masyarakat akan memberikan suatu kepercayaan atau keyakinan
bahwa pada saat melakukan pengamatan hilal tersebut hilal terlihat atau tidak.
Hal lain yang perlu
dipertimbangkan dalam teknologi rukyat ini adalah faktor kemampuan mukallaf
baik dari segi pengoperasionalan teknologi rukyatul hilal maupun dari segi
materi yang diperlukan dalam memenuhi teknologi rukyat tersebut. Jika kedua
faktor tersebut dapat dihindari atau dipandang tidak memberatkan maka teknologi
rukyat ini dipastikan memberikan banyak kemaslahatan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa
penggunaan teknologi juga tidak terlepas dari banyaknya manupulasi yang tidak
bisa diterima akal. Maka dalam hal rukyatul hilal, manipulasi tersebut harus
benar-benar dihindari, karena hal ini berhubungan erat dengan memulai dan
mengakhiri ibadah wajib. Jika hal tersebut tidak dihindari, maka secara tidak
langsung yang mulanya kemaslahatan akan berubah menjadi kemudaratan. Selain hal
tersebut tidak dapat diterima oleh akal, manipulasi dalam teknologi rukyatul
hilal juga bertentangan dengan syari’at secara umum.
Legalitas suatu perkara itu
senantiasa berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Maka hukum juga senantiasa
harus mengikutinya dengan ketentuan dan batasan-batasan tertentu. Dalam
teknologi rukyatul hilal, penggunaan teknologi yang lebih baik memang sangat
dibutuhkan, karena berdasarkan faktor-faktor yang telah disebutkan di atas
peralatan dengan teknologi sederhana yang sebatas memperdekat jarak pandang
mata juga tidak banyak membantu. Oleh karena itu, teknologi lebih berkembang ke
arah teknologi teleskop inframerah
termal, sistem aktif dan sensor radar yang secara kualitas lebih baik
dibandingkan teleskop biasa.
Perlu digaris bawahi, bahwa
untuk teknologi rukyatul hilal (inframerah termal, sistem aktif) secara umum
masih dapat diterima akal. Karena sesuai fungsinya yang dapat memperpanjang
gelombang pengamatan. Sedangkan untuk teknologi sensor radar yang dapat
menembus awan dapat digolongkan ke dalam manipulasi dalam rukyatul hilal.
Karena memaksakan ketampakan hilal hingga harus menembus awan ketika pada waktu
pengamatan dalam keadaan mendung atau tertutup awan.
C.
Kesimpulan
Penggunaan
teknologi dalam rukyatul hilal diperbolehkan selama teknologi yang dimaksudkan
tidak memberatkan mukallaf, baik dalam pengunaannya maupun dalam dari segi
materi, karena kemaslahatan dari teknologi rukyatul hilal harus lebih besar
dari pada kesulitan yang ditimbulkan. Teknologi dalam rukyatul hilal harus
senantiasa mengedepankan orisinalitas dalam mekanisme kerja, sistem dan metodenya,
agar tidak bertentangan dengan kebenaran agama, maka hal-hal yang berkaitan
dengan manipulasi tidak diperbolehkan dalam teknologi rukyatul hilal. Karena
hal tersebut dipandang bukan sebagai maslahat melainkan lebih menimbulkan
mudarat.
Daftar Pustaka
al-Razi, Abu ‘Abdillah Zain al-Din Muhammad
bin Abu Bakr, Mukhtar al-Sihah, Bairut: al-Maktabah al-Asriyyah, 1999.
Dahlan. Abdul Aziz, dkk., Ensiklopedi Hukum
Islam, Jilid IV, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2001.
Izzuddin, Ahmad, Fiqh Hisab Rukyah; Menyatukan NU & Muhammadiyah dalam Penentuan
Awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007.
Manzur, Muhammad bin Mukrim, Lisan
al-‘Arab, Juz II, Bairut: Dar Sadir, 1414 H.
Nasution, Muhammad Syukri Albani, Filsafat
Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014.
Pratama, Dito Alif, 2016 , “Rukyatul Hilal
Dengan Teknologi: Telaah Pelaksanaan Rukyatul Hilal di Baitul Hilal Teluk
Kemang Malaysia”, dalam al-Ahkam, Vol.
26, Nomor 2, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang.
Ruskanda, S. Farid, 100 Masalah Hisab &
Rukyat; Telaah Syari’ah, Sains dan Teknologi, Jakarta: Gema Insani press,
1996.
Ruskanda, S. Farid, dkk, Rukyah dengan Teknologi; Upaya Mencari Kesamaan Pandangan tentang
Penentuan Awal Bulan Ramadhan dan Syawal, Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Sanusi, Ahmad & Sohari, Ushul Fiqh, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2015.
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh & Ushul
Fiqh, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016.
Syariffuddin, Amir, Garis-garis Besar Ushul
Fiqh, Cet II, Jakarta:
Kencana, 2014.
______, Ushul Fiqh, Jilid II,
Jakarta: Kencana, 2009.
Tim Penyusun Direktorat Jendral Bimas Islam
dan Penyelenggaraan Haji, Selayang Pandang Hisab Rukyat, ttp: tp, 2004.
Zakariyya, Ahmad bin Faris, Mu’jam Maqayis
al-Lugah, Juz III, Bairut: Dar al-Fikr, 1979.
[2] Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah; Menyatukan NU & Muhammadiyah dalam Penentuan
Awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), 6-7.
[3] Diskusi Panel tersebut diselenggarakan oleh
ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) di Jakarta pada 4 September 1993.
[4] S. Farid Ruskanda, dkk, Rukyah dengan Teknologi; Upaya Mencari Kesamaan Pandangan tentang
Penentuan Awal Bulan Ramadhan dan Syawal, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), 32.
[6] Dito Alif Pratama, 2016 , “Rukyatul Hilal
Dengan Teknologi: Telaah Pelaksanaan Rukyatul Hilal di Baitul Hilal Teluk
Kemang Malaysia”, dalam al-Ahkam, Vol.
26, Nomor 2, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, 281.
[7] Ahmad bin Faris bin Zakariyya, Mu’jam
Maqayis al-Lugah, Juz III (Bairut: Dar al-Fikr, 1979), 303; Abu ‘Abdillah
Zain al-Din Muhammad bin Abu Bakr al-Razi, Mukhtar al-Sihah (Bairut:
al-Maktabah al-Asriyyah, 1999), 178; Muhammad bin Mukrim bin Manzur, Lisan
al-‘Arab, Juz II (Bairut: Dar Sadir, 1414 H), 516.
[8] Abdul Aziz Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum
Islam, Jilid IV (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), 1143.
[10] Amir Syariffuddin, Garis-garis Besar Ushul
Fiqh, Cet II (Jakarta:
Kencana, 2014), 64-65, ; Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2016), 107.
[12] Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat
Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), 117.
[16] S. Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab &
Rukyat; Telaah Syari’ah, Sains dan Teknologi, (Jakarta: Gema Insani press),
1996, 64.
[19] S. Farid Ruskanda, dkk., Rukyah dengan
Teknologi; Upaya Mencari Kesamaan Pandangan tentang Penentuan Awal Ramadhan dan
Syawal, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), 65.
[20] Tim Penyusun Direktorat Jendral Bimas Islam
dan Penyelenggaraan Haji, Selayang Pandang Hisab Rukyat (ttp: tp, 2004),
80-83.
0 Comments