Teknologi Rukyatul Hilal Dalam Tinjauan Maslahah Mursalah




الملخص
التكنولوجيا كعلم دائم التطور يتطلع دائما إلى كل شيء بطبيعته، أي حقيقة شيء يمكن رؤيته وشعوره. عندما تشارك التكنولوجيا في عملية رؤية القمر الجديد، فإنه سيتم تحديد مظهر القمر الجديد باعتباره الشيء الرئيسي. الاستفادة من التكنولوجيا لكيفية ترواالهلال حقا يمكن أن ينظر إليه مع بعض المعدات. ترواالهلال يرتبط ارتباطا وثيقا بتنفيذ العبادة في الإسلام، سواء الصيام، أو العيد ثم أي شيء يتطور على أساس التكنولوجيا التي لم يكن لها بعد أساس قانوني من صحتها ينبغي إعادة النظر مرة أخرى صلاحيتها، واحد منهم باستخدام طريقة مصللةه مورسلا. وهذا هو استعراض المشكلة التي لا يوجد شرح مفصل في ناش أو الحديث من حيث كيماسلاتانيا، أو على نحو أدق كم كيماسلاتان في التكنولوجيا لرؤية القمر الجديد.

طريقة البحث المستخدمة في هذا البحث هي نوعية، وهي دراسة مشكلة من خلال وصف عمق المشكلة في عرض ترواالهلال، وكذلك استكشاف العملية ومعناها. التحليل المستخدم هو التحليل الوصفي الذي يقلل من البيانات ويعرض ويستخلص الاستنتاجات في مشكلة من خلال وصفها. وأظهرت نتائج هذه الدراسة أن أولا، ويسمح استخدام التكنولوجيا في القمر روكيات طالما أن التكنولوجيا ليست موكلاف مرهقة، سواء في استخدام ومن حيث المواد، لأن فوائد التكنولوجيا لرؤية القمر الجديد يجب أن تكون أكبر من صعوبة الناجمة. ثانيا، إن التكنولوجيا في رؤية القمر الجديد يجب أن تطرح دائما أصالتها في آليات عملها وأنظمتها وأساليبها، حتى لا تتعارض مع الحقائق الدينية، فإن الأمور المتعلقة بالتلاعب لا تسمح بعرض تكنولوجيا القمر.
كلمات البحث: التكنولوجيا، تروا، هلال، مراجعة، مصلاحه مرسلة






ABSTRAK
Teknologi sebagai sains yang terus-menerus berkembang selalu meninjau segala sesuatu berdasarkan sifatnya, yaitu kebenaran sesuatu yang dapat dilihat dan dirasakan. Ketika teknologi ikut mengambil peran dalam proses rukyatul hilal, maka akan menetapkan ketampakan hilal sebagai hal yang utama. Memanfaatkan teknologi agar bagaimana hilal benar-benar dapat terlihat dengan peralatan-peralatan tertentu. Rukyatul hilal sangat berkaitan erat dengan pelaksanaan ibadah dalam Islam, baik puasa, maupun hari raya maka segala sesuatu yang berkembang berdasarkan teknologi yang belum memiliki landasan hukum keberlakuannya harus ditinjau kembali keabsahannya, salah satunya dengan menggunakan metode Maslahah Mursalah. Yaitu meninjau permasalahan yang tidak ada penjelasan terperinci dalam nash maupun hadis dari segi kemaslahatannya, atau lebih tepatnya seberapa jauh kemaslahatan dalam teknologi rukyatul hilal tersebut.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, yaitu mengkaji suatu permasalahan dengan mendeskripsikan kedalaman masalah dalam teknologi rukyatul hilal, juga menggali proses dan maknanya. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif yaitu mereduksi data, menyajikan dan menarik kesimpulan dalam suatu permasalahan dengan mendeskripsikannya. Hasil penelitian ini menjunjukan bahwa pertama, penggunaan teknologi dalam rukyatul hilal diperbolehkan selama teknologi yang dimaksudkan tidak memberatkan mukallaf, baik dalam pengunaannya maupun dalam dari segi materi, karena kemaslahatan dari teknologi rukyatul hilal harus lebih besar dari pada kesulitan yang ditimbulkan. Kedua, teknologi dalam rukyatul hilal harus senantiasa mengedepankan orisinalitas dalam mekanisme kerja, sistem dan metodenya, agar tidak bertentangan dengan kebenaran agama, maka hal-hal yang berkaitan dengan manipulasi tidak diperbolehkan dalam teknologi rukyatul hilal.
Kata Kunci: Teknologi, Rukyat, Hilal, Tinjauan, Maslahah Mursalah






ABSTRACT
Technology as a constantly evolving science always looks at everything by nature, that is the truth of something that can be seen and felt. When technology takes part in the process of rukyatul hilal, it will determine the appearance of the new moon as the main thing. Utilizing technology for how hilal really can be seen with certain equipment. Rukyatul hilal is closely related to the implementation of worship in Islam, whether fasting, or festivals then anything that develops based on technology that has not had legal basis of its validity must be reviewed again its validity, one of them by using Maslahah Mursalah method. That is reviewing the problem that there is no detailed explanation in the nash or hadith in terms of kemaslahatannya, or more precisely how far the benifit in technology of rukyatul hilal it.

The research method used in this research is qualitative, that is studying a problem by describing the depth of problem in technology of rukyatul hilal, also explore process and its meaning. The analysis used is descriptive analysis that reduces data, presents and draws conclusions in a problem by describing it. The results of this study show that first, the use of technology in rukyatul hilal is allowed as long as the technology is not burdensome people, both in the use and in terms of material, because the benefits of technology rukyatul moon must be greater than the difficulty caused. Secondly, technology in rukyatul hilal must always prioritize its originality in its working mechanisms, systems and methods, so as not to contradict religious truths, then matters relating to manipulation are not allowed in rukyatul hilal technology.
Keywords: Technology, Rukyat, Hilal, Review, Maslahah Mursalah









A.    Pendahuluan
Teknologi dan agama merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan. Keberadaan teknologi yang terus-menerus berkembang senantiasa memposisikan teknologi tersebut ke dalam setiap permasalahan-permasalahan agama. Terutama terhadap permasalahan yang masih belum menuai penyelesaian, seperti halnya rukyatul hilal. Sebagai salah satu metode penentuan awal bulan kamariyah di Indonesia, rukyatul hilal sangat berpotensi untuk dilakukan dengan menggunakan bantuan teknologi. Mulai dari penggunaan teleskop robotic, teleskop inframerah termal, sistem aktif atau bahkan sensor radar.
Sejauh ini masih terdapat perbedaan tentang penggunaan alat bantu teknologi di dalam rukyatul hilal. Terdiri dari dua kelompok, pertama kelompok yang meyakini rukyat hanya dapat dilakukan dengan menggunakan mata telanjang. Kedua kelompok yang berpandangan rukyat dapat dilakukan dengan alat bantu dengan batasan-batasan tertentu.
Dalam penggunaan alat bantu, mengenai batasan-batasannya sejauh ini banyak yang merujuk kepada tiga pendapat ulama, Ibnu Hajar misalnya, tidak mengesahkan penggunaan cara pemantulan melalui kaca atau air. al-Syarwani lebih jauh menjelaskan bahwa penggunaan alat yang mendekatkan atau membesarkan seperti teleskop, air, ballur[1] masih dapat dianggap sebagai rukyah. Al- Muthi’i menegaskan bahwa penggunaan alat optik sebagai penolong diizinkan karena yang melakukan penilaian terhadap hilal adalah mata perukyah sendiri.[2]  
Berdasarkan pendapat di atas, batasan penggunaan alat bantu berupa teknologi masih sangat sempit. Jika penggunaan alat bantu tersebut hanya sebatas membantu memperdekat jarak pandang mata terhadap objek hilal maka hal ini akan mengenyampingkan penggunaan teleskop inframerah termal, sistem aktif dan sensor radar dalam rukyatul hilal. Padahal jika kita melihat kemampuan tiga komponen tersebut dalam mempermudah pengamatan hilal sangatlah baik, mengingat kebutuhan terhadap metode rukyatul hilal yang memberikan suatu pembaharuan memang sangatlah dibutuhkan.
Dalam hal ini telah terjadi gab antara penggunaan alat bantu dalam rukyatul hilal (dengan batasan tertentu) dengan penggunaan teknologi rukyat berbasis inframerah, sistem aktif, dan sensor radar. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelusuran lebih jauh mengenai penggunaan teknologi dalam rukyatul hilal. Karena hal ini sangat erat hubungannya dengan sah atau tidaknya penggunaan teknologi tersebut, maka akan ditinjau berdasarkan metode Maslahah Mursalah. Kemaslahatan umum sebagai kerangka dasar dari ide pembaruan hukum Islam selalu menjadi perhatian banyak kalangan yang secara gradual terus melaju. Berbagai kasus dari perspektif hukum Islam menjadikan acuan utamanya adalah dasar kemaslahatan umum bagi kehidupan manusia secara universal.
Ada beberapa kajian yang membahas tentang penggunaan teknologi dalam rukyatul hilal, di antaranya:
Pertama, S. Farid Ruskanda tentang Teknologi Rukyah Secara Objektif sebuah makalah ilmiah yang disampaikan pada Diskusi Panel Teknologi Rukyah Awal Bulan Ramadhan dan Syawal[3] dalam makalah tersebut dijelaskan bahwa terdapat tiga pilihan teknologi yang dapat digunakan pada saat langit dalam keadaan cerah untuk rukyatul hilal, diantaranya: sistem pasif untuk cahaya tampak, sistem pasif untuk inframerah, dan sistem aktif. Selain itu juga terdapat teknologi yang dapat digunakan dalam keadan langit berawan, yaitu sistem radar.[4] Penelitian ini memberikan opsi penggunaan teknologi pada dua keadaan  untuk rukyatul hilal, di mana keberlakuannya masih mempertimbangkan pendapat para ulama.
Kedua, Ma’ruf Amin tentang Rukyah untuk Penentu Awal dan Akhir Ramadhan Menurut Pandangan Syari’ah dan Sorotan Iptek sebuah makalah ilmiah yang disampaikan pada Diskusi Panel Teknologi Rukyah Awal Bulan Ramadhan dan Syawal. Makalah ini menjelaskan prinsip syariah yang tidak menolak keikutsertaan iptek dalam proses penentuan awal dan akhir Ramadan, selama tidak bertentangan dengan syari’ah atau mengabaikan petunjuk yang telah diberikan syari’ah. Penggunaan teknologi rukyah secara objektif sebagai pendamping dari rukyah bil fi’li tanpa alat, seperti yang selama ini dilakukan, dapat dilaksanakan. [5]Namun memang hingga saat ini belum ada kesepakatan para ulama tetang boleh tidaknya hasil rukyah bil fi’li dengan menggunakan alat, maka diperlukan kajian lebih lanjut.
Ketiga, Dito Alif Pratama, Rukyatul Hilal Dengan Teknologi: Telaah Pelaksanaan Rukyatul Hilal di Baitul Hilal Teluk Kemang Malaysia, Penelitian ini menjelaskan tentang Baitul Hilal Teluk Kemang  yang merupakan salah satu tempat yang dijadikan patokan oleh pemerintah malaysia dalam menentukan awal bulan kamariah, khususnya bulan Ramadan, syawal, dan Zulhijah. Tempat ini juga pernah berhasil merekam hilal termuda pada bulan Sya’ban 1431 H (12 Juli 2010) dengan umur hilal 16:16 jam.[6]
Perbedaan kajian ini dengan kajian yang lain terletak pada peninjauan keabsahan teknologi rukyatul hilal, yang pada penelitian ini penulis menggunakan metode Maslahah Mursalah. Penulis akan meninjau aspek maslahat dalam teknologi rukyatul hilal, sehingga akan menuai suatu kesimpulan yang menunjukan status penggunaan teknologi dalam rukyatul hilal.
B.     Pembahasan
1.      Tinjauan Tentang Maslahah Mursalah
a.       Pengertian Maslahat Mursalah
Secara etimologi, maslahah adalah turunan dari kata shaluha-yashluhu-shâlih yang berarti (baik) yaitu lawan dari buruk atau rusak. Kata mashlahah adalah singular (mufrad) dari kata mashâlih yang merupakan masdar dari ashlaha yang bermakna mendatangkan kemaslahatan. Dengan demikian, kata mashlahah juga diartikan dengan al-shalah yaitu kebaikan atau terlepas darinya kerusakan.[7]
Ungkapan bahasa Arab menggunakan maslahat dalam arti manfaat atau perbuatan dan pekerjaan yang mendorong serta mendatangkan manfaat kepada manusia.[8]
Sedangkan dalam arti umum, maslahah diartikan sebagai segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan, seperti menghasilkan keuntungan atau kesenangan, atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudaratan atau kerusakan. Jadi, setiap yang mengandung manfaat patut disebut maslahat meskipun manfaat yang dimaksud mengandung dua sisi, yaitu mendatangkan kebaikan dan menghindarkan bahaya atau kerusakan disisi lain.[9]
Ahli ushul fiqh memberi pengertian Mashlahat Mursalah sebagai kemaslahatan yang seara dengan tujuan syari’ al-Islami (Allah SWT), namun tidak akan ada petunjuk khusus yang mengakuinya atau menolaknya. Setiap hukum yang ditetapkan Allah dalam al-Qur’an bagitu pula yang ditetapkan Nabi dalam Sunagnya mengandung unsur maslahat dalam tinjauan akal, baik dalam bentuk mendatangkan manfaat atau kebaikan yang diperoleh oleh manusia maupun menghindarkan kerusakan dari manusia. Maslahat itu berkenaan dengan hajat hidup manusia, baik bentuk agama, jiwa, akal, keturunan, harga diri, maupun harta. Oleh karena itu, dalam keadaan tidak ditentukan hukumnya dalam al-Qur’an maupun Sunnah Nabi, maka dapatlah hukum syara’ atau fiqh ditetapkan dengan pertim,bangan maslahat itu.[10]
b.      Dasar Hukum Mashlahat Mursalah
Para ulama yang menjadikan maslahat sebagai salah satu dalil syara’, menyatakan bahwa dasar hukum maslahat mursalah, ialah:
1)      Persoalan yang dihadapi manusia selalu tumbuh dan berkembang, demikian pula kepentingan dan keperluan hidupnya, kenyataan menunjukkan bahwa banyak hal-hal atau persoalan tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW., kemudian timbul dan terjadi pada masa-masa sesudahnya, bahkan ada yang terjadi tidak lama setelah Rasulullah SAW., meninggal dunia. Seandainya tidka ada dalil yang dapat memecahkan hal-hal demikian berarti akan sempitlah kehidupan manusia. Dalil itu ialah dalil yang dapat menetapkan mana yang merupakan kemaslahatan manusia dan mana yang tidak sesuai dengan dasar-dasar umum dari agama Islam. Jika hal itu telah ada, maka dapat direalisasikan kemaslahatan manusia pada setiap masa, keadaan dan tempat.
2)      Sebenarnya para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan para ulama yang datang sesudahnya telah melaksanakannya, sehingga mereka dapat segera nenetapkan hukum susuai dengan kemalahatan kaum muslimin pada masa itu. Khalifah Umar telah menetapkan talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus jatuh tiga, padahal pada masa Rasululkah SAW., hanya jatuh satu, Khalifah Utsman telah memerintahkan penulisan al-Qur’an dalam satu mushaf dan Khalifah Ali pun telah menghukum bakar hidup golongan Syi’ah Radidhah yang memberontak, kemudia diikuti oleh para ulama yang datang sesuadahnya.[11]
c.       Kamaslahatan Manusia Dalam Prinsip Hukum Islam
Menerapkan hukum Islam atas manusia senantiasa memerhatikan kemaslahatan manusia. Hal ini terjadi sesuai dengan situasi dan kondisi suatu masyarakat. Oleh karena itu, hukum yang ditetapkan akan dapat diterima dengan lapang dada, dikarenakan kesesuaian akal dengan kenyataan yang ada. Maka dalam penetapan hukum itu selalu didasarkan kepada tiga sendi pokok, yaitu:
1)      Hukum ditetapkan setelah masyarakat membutuhkan hukum-hukum itu.
2)      Hukum-hukum ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak nenetapkan hukum dan memudahkan masyarakat ke bawah ketetapannya.
3)      Hukum-hukum ditetapkan menurut kadar kebutuhan masyarakat.
Ibnu Qayyim berkata: “Sesungguhnya syarat itu fondasi dan asasnya adalah hikmah dan kemaslahatan hamba, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat”.[12]
Dimana ada kemaslahatan di sana ada hukum Allah SWT., adalah ungkapan populer di kalangan ulama, maka mempertimbangkan kemaslahatan dapat dijadikan dalil hukum dan dutetapkan hukum bagi banyak masalah baru yang tidak disinggung oleh al-Qur’an dan Sunnah.[13]
Salah satu bagian penting dari pembagian hukum adalah kesediaan untuk mengakui bahwa kemaslahatan yang dimiliki oleh manusia di dunia dan di akhirat dipahami sebagai sesuatu yang relatif, tidak absolut. Dengan kata lain, kemaslahatan tidak akan diperoleh tanpa pengorbanan sedikitpun. Sebagai contoh semua kemaslahatan yang diatur oleh hukum yang berkenaan dengan kehidupan seperti pangan, sandang dan papan memerlukan pengorbanan dalam batas yang wajar. Tujuan daripada hukum adalah untuk melindungi dan mengembangkan perbuatan-perbuatan yang lebih banyak kemaslahatannya, dan melarang perbuatan-perbuatan yang diliputi bahaya dan memerlukan pengorbanan yang tidak semestinya.
Kemaslahatan yang ingin diselesaikan adalah yang memiliki syarat seperti berikut:
1)      Masalah itu harus real atau berdasarkan prediksi yang kuat dan bukan khayalan.
2)      Maslahat yang ingin diwujudkan harus benar-benar dapat diterima akal.
3)      Haru sesuai dengan tujuan syari’at secara umum, dan tidak bertentangan dengan prinsip umum syari’at.
4)      Mendukung raelisasi masyarakat daruriyat atau menghilangkan kesulitan yang berat dalam beragama.[14]
d.      Bentuk-bentuk Maslahat
Ulama membagi maslahat sebagai berikut:
1)      Sesuatu yang maslahat menurut pertimbangan akal, dan disamping itu ada pula petunjuk khusus dalam nash atau ijmak bahwa maslahat itu dapat diperhitungkan. Maslahat bentuk ini disebut al-mashlahah al-mu’tabarh. Maslahat dalam bentuk ini disepakati oleh ulama untuk dijadikan petunjuk dalam menetapkan hukum. Umpamanya tidak boleh mendekati (hubungan kelamin dengan) istri yang sedang haid adalah baik menurut akal, karena yang demikian mendatangkan penyakit yang merusak. Hal ini pun sudah sejalan pula dengan larangan Allah dalam al-Qur’an.
2)      Sesuatu yang maslahat menurut akal, namun ada petunjuk khusus dalam nash atau ijmak yang menolaknya. Mashlahat dalam bentuk ini disebut al-maslahah al-mulghah. Ulama telah sepakat untuk menolaknya menjadi dalil hukum syara’. Umpamanya berdasarkan pertimbangan akan adalah sesuatu kemaslahatan menyamakan hak laki-laki dan perempuan dalam hak menerima warisan, karena sesuai dengan emansipasi perempuan yang telah meningkat. Namun, apa yang ditetapkan sebagai maslahat oleh akal itu tidak sejalan dengan petunjuk al-Qur’an yang menetapkan hak anak laki-laki adalah dua kali hak anak perempuan.
Sesuatu yang maslahat menurut pertimbangan akal, tetapi tidak ada nash secara khusus yang membenarkannya dan juga tidak ada petunjuk khusus yang menolaknya. Maslahat dalam bentuk ini disebut al-maslahah al-mursalah. Umpamanya usaha menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dalam satu mushaf pada masa khalifah Abu Bakar. Usaha ini adalah baik, karena kalau tidak dilakukan ayat-ayat al-Qur’an akan berserakan dan hilang. Tidak ada dalil yang melarangnya, meskipun juga tidak ada dalil yang menyuruhnya.[15]
2.      Teknologi dalam Rukyatul Hilal
Teropong atau teleskop adalah alat untuk melihat (scope) benda yang jauh (tele). Jika benda yang akan dilihat itu terlalu kecil karena sangat jauh, maka teropong akan sangat membantu. Seberapa kuat suatu teropong bisa mendekatkan (atau membantu benda terlihat dekat) dinyatakan dalam perbesaran teropong. Dengan teropong yang memiliki pembesaran 5 x misalnya, maka benda akan terlihat 5 x lebih dekat dibandingkan dengan melihat dengan mata telanjang.[16]
Hilal yang diameternya hampir sama dengan diameter bulan purnama menunjukkan bahwa masalah utamanya bukanlah jarak bulan dengan bumi, yang jauhnya kira-kira 400.000 kilometer. Masalahnya adalah selain matahari, bulan terlihat sebagai benda langit yang terbesar dan mencakup sudut pandang sekitar setengah derajat. Dengan demikian, perbesaran teropong tidak akan banyak membantu.[17]
Suatu benda akan terlihat dengan baik bukan hanya karena besarnya, namun juga karena terlihat lebih kontras. Kontras adalah perbedaan kuat cahaya antara benda yang menjadi pusat pandang dan latar belakangnya. Agar tampak jelas dan kontras, kuat cahaya atau kecerahan benda harus lebih terang daripada latar belakangnya. Persyaratan inilah yang sulit dipenuhi dalam rukyatul hilal karena dua hal. Pertama, cahaya dari hilal sangat lemah, hanya sekitar beberapa persen, bahkan kadang-kadang kurang dari satu persen dari cahaya bulan purnama. Sementara itu, cahaya latar belakang demikian kuatnya. Cahaya ini berasal dari cahaya putih yang terang. Cahaya lain yang sering kali lebih dominan adalah cahaya cerlang petang, berasal dari sinar matahari yang dihamburkan oleh butiran-butiran kecil (partikel) di atmosfer. Pada umumnya, cahaya ini berwarna tunggal (monokromatik) kuning keemasan. Kedua, jenis cahaya ini saling bergabung sehingga menjadi sangat kuat dan mampu menenggelamkan cahaya hilal. Dengan demikian, penggunaan teropong bagaimanapun besar ukurannya, tidak akan banyak menolong. Penggunaan teropong yang semakin besar justru punya kecendrungan semakin menyulitkan.[18]
Melihat hal tersebut maka pengembangan teknologi rukyatul hilal ke arah yang lebih jauh semakin dibutuhkan, guna mempermudah pengamatan hilal. Alat bantu yang dibutuhkan bukan hanya sebatas alat yang mampu memperdekat jarang pandang mata terhadap objek hilal, melainkan harus jauh lebih baik. Misalnya seperti penggunaan inframerah termal, sistem aktif atau bahkan sensor radar. Yang diyakini lebih mempermudah pengamatan hilal dari sekedar memperdekat jarang pandang mata.
Terdapat beberapa teknologi yang dapat digunakan untuk mempermudah pengamatan hilal, di antaranya:
a.       Sistem teleskop cahaya (visible light), yang membantu memperdekat ketampakan hilal terletak pada panjang gelombang 0,4-0,7.
b.      Sistem teleskop inframerah termal (radiasi panas) yang terletak pada panjang gelombang sekitar 3-5 atau 8-14.
c.       Sistem aktif, yaitu menyoroti bulan dengan laser.
d.      Sistem kebal cuaca, yaitu dengan menggunakan sensor yang peka terhadap radiasi gelombang mikro.[19]
Sistem teleskop cahaya dan teleskop inframerah termal dilengkapi dengan penyempurnaan citra hilal dengan menggunakan komputer, dan dikombinasikan dengan perekam video kamera telivisi untuk keperluan penayangan langsung. Kedua sistem ini merupakan sistem pasif, artinya radiasi yang diterima dari sensor adalah radiasi yang dipantulkan atau dipancarkan oleh bulan (dalam hal ini bulan merupakan sumber radiasi). Sedangkan sistem aktif, dengan teknologi ini radiasi yang diterima sensor adalah gabungan radiasi yang dipancarkan bulan yang berasal dari matahari dan dari laser CO2 yang kita tembakkan dari bumi ke bulan, yang kedua-duanya merupakan radiasi inframerah. Ketiga sistem ini tidak dapat menembus awan, kecuali sistem kebal cuaca, yang radiasinya dapat menembus awan, misalnya sensor radar.
3.      Faktor-faktor Penyebab Dibutuhkan Teknologi dalam Rukyatul Hilal
a.       Melihat Benda Jauh dan Tampak Kecil
Untuk melihat benda yang jauh dan tampak kecil (karena sudut pandangnya kecil, dalam hal rukyatul hilal = 0,5), maka diperlukan teknologi yang dapat mendekatkan pandangan atau memperbesar sudut pandangan. Sebenarnya kedua fungsi itu identik, benda tampak jauh karena sudut pandangnya kecil. Benda jauh kan terlihat dekat, kalau kita mendekatinya. Karena dengan mendekatinya maka sudut pandagnya jadi lebih besar. Jika tanpa teknologi, maka sasaran untuk memperbesar sudut pandang itu hanya dapat dicapai dengan mendekatinya. Semua ini tak perlu dilakukan jika kita menggunakan teknologi. Jadi supaya bulan tampak besar, tak perlu kita terbang mendekatinya, cukup dengan menggunakan teknologi teleskop (teropong). Teknologi yang secara harfiah berarti untuk melihat (scope) benda jauh (tele). Sebagaimana halnya tele-phone untuk mendengarkan suara (phone) ditempat jauh, telekomunikasi untuk berkomunikasi dengan orang yang jauh.
Teleskop atau sering disebut teropong umumnya menggunakan komponen optik seperti lensa, cermin dan prisma untuk menjalankan fungsinya alat ini dibedakan antaranya dari pembesaran sudutnya. Pembesaran sudut ini menyatakan berapa kali diperbesarnya sudut pandang yang masuk ke alat ini. Jadi jika teleskop dengan pembesaran 10 digunankan untuk melihat bulan, maka sudut pandang yang masuk adalah setengah derajat. Sedangkan sudut pandang yang keluar adalah sepuluh kalinya, sebesar 10 x 0,5 = 5 derajat. Dengan teropong ini maka bulan akan tampak sepuluh kali lebih besar.
Dalam mencapai fungsinya, teleskop menggunakan lensa-lensa, cermin, maupun prisma. Jika cahaya melewati bahan gelas atau dipantulkan oleh lapisan cermin, maka tentu saja ada sebagian terserap, sehingga mengurangi kekuatannya. Cahaya akan tampak lebih redup. Ini salah satu kerugian pengunaan teknologi teleskop.
Kerugian lain adalah karena sudut pandangnya lebih kecil dari mata biasa, maka bila arah benda yang terlihat masih harus dicari, mata manusia akan lebih mudah mendapatkannya. Namun setelah arah pandangan terhadap benda yang dijadikan sasaran sudah diperoleh, maka dengan menggunakan teleskop pandangan akan tampak lebih jelas, karena tampat lebih dekat.
b.      Melihat Benda dengan Cahaya Lemah
Cahaya dari hilal masih paling kuat dibandingkan dengan cahaya dari bintang-bintang bahkan dibandingkan dengan planet-planet tata surya kita. Namun demikian, terutama untuk pandangan mata secara langsung, cahaya ini masih sangat lemah, sehingga menyulitkan pelaksanaan rukyat secara konvensional dengan menggunakan mata secara langsung.
Untuk menyelesaikan masalah lemahnya cahaya ini maka digunakan teknologi Pelipatgandaan Cahaya (Light Intensification). Dengan menggunakan suatu komponen yang dinamakan image intensifier maka bantuan intensitas cahaya dilipatgandakan sampai 50.000 kali. Dengan teknologi yang telah dikuasai Indonesia sejak 1980 ini, maka intensitas citra hilal yang telah didekatkan oleh teleskop kemudian dilipatgandakan kecerahannya sehingga puluhan ribu kali lebih terang.
Keuntungan dari teknologi Pelipatgandaan Cahaya ini adalah selain dapat melipatgandakan cahaya tampak atau cahaya yang terlihat oleh mata (visible light), teknologi ini juga dapat melipatgandakan cahaya yang tampak seperti cahaya inframerah Plus. Karena selain memperkuat inframerah, juga dapat memperkuat cahaya tampak, bahkan juga Gelombang Ultraviolet seperti pada Teknologi Intensified Charge Couple Device.
c.       Pengamatan dalam Latar Belakang Cahaya Rembang Petang (Twilight)
Cahaya rembang petang lazimnya mulai tampak dalam warna cahaya kuning keemasan, selanjutnya kembali berubah menjadi jingga kemudian merah. Kemudian tepat pada saat awal waktu salat isak cahaya ini menghilang. Rembang petang ini memang tak selalu tampak terang pada setiap petang. Warna cahaya rembang petang ini tergantung pada besarnya butiran partikel di udara yang menghamburkan cahaya matahari terbenam. Semakin besar butiran di atmosfer, warnanya akan mendekati merah. Makin kecil butirannya warnanya makin mendekati kuning. Sedangkan kekuatan cahayanya tergantung banyaknya partikel di udara. Bila partikel merupakan partikel pencemar udara lingkungan, maka makin tercemar udaranya semakin kuat cahaya rembang petangnya.
Masalah cahaya rembang petang ini sangat mengganggu, karena akan makin membuat hilal yang tipis itu tampak tenggelam dalam cahaya latar belakang, untuk mengatasi hal itu maka diigunakan filter (tapis) yang disebut filter substraksi (substraction filter) warna sehingga semua warna dengan cahaya rembang petang diblokir, ditahan sehingga tak masuk kedalam pengamatan. Walaupun cahaya yang sewarna ini termasuk berasal dari hilal itu sendiri, namun tidak perlu dikhawatirkan karena cahaya dari hilal juga masih mengandung warna-warna lain dan cahaya inframerah. Dengan kombinasi Image Intensifier, maka masalah kekuatan cahaya yang makin kecil setelah melalui “blokade” oleh filter subtrasi ini dapat teratasi.
d.      Perancangan Teleskop Penguatan Citra untuk Rukyatul Hilal
Salah satu teknologi yang dipakai adalahTeleskop Image Intensifier yang dikombinasikan dengan Filter Subtraksi Warna (kuning, jingga atau merah). Untuk objektif teleskop digunakan lensa dengan panjang fokus 500 m atau 200 mm dengan bukaan rana masing-masing sebesar f/8.0 dam f/1.7. dengan kedua objektif dan menggunakan tabung Image Intinsifier 18 mm, maka hilal akan terlihat masing-masing sebesar seperempat dan sepersepuluh pandangan. Jadi jika hasil pengamatan ditayangkan pada layar televisi, maka hilal akan tampak mengisi masing-masing seperempat dan sepersepuluh besar layar televisi. Hasil pengamatan kemudian dapat direkam melaui video-tape, dibuatnya foto dengan kamera, atau melalui video-printer yang adapat menyetak langsung semua gambar yang terekam dalam video tape atau ditayangkan di televisi.[20]     
4.      Analisis Teknologi Rukyatul Hilal
Maslahah Mursalah menijau suatu persoalan berdasarkan terdapat tidaknya kemaslahatan dalam suatu perkara yang belum ada kepastian hukumnya. Terutama pada persoalan-persoalan kontemporer, yang membutuhkan penggalian hukum karena belum ada nash atau hadis yang menjelaskannya. Dimana dalam hal ini, teknologi rukyatul hilal yang berkembang seiring kemajuan zaman menawarkan sebuah solusi terhadap permasalahan yang kerap muncul pada setiap penentuan awal bulan kamariah, khususnya pada bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Diakui atau tidak bahwa tanpa bantuan teknologi sering ditemui kesulitan dalam mendeteksi ketampakan hilal. Baik karena ketinggian hilal yang rendah maupun faktor cuaca yang cenderung berawan pada saat melakukan pengamatan. Maka sangatlah wajar jika teknologi ikut mengambil andil dalam penetapan awal bulan.
Berdasarkan kualitas dan kepentingannya, maka persoalan teknologi rukyatul hilal termasuk dalam kategori al-Mashlahah alhâjiyyah, dimana hal ini dibutuhkan untuk melengkapi kebutuhan pokok dalam  beribadah (puasa dan hari  raya). Agama dibangun atas prinsip dasar untuk mencegah kesulitan dan kesukaran serta mendatangkan kemudahan. Kesulitan terhadap melihat hilal dengan mata telanjang akan menjadi mudah dengan bantuan teknologi yang dipandang lebih mampu untuk menghilangkan kessulitan dalam rukyatul hilal tersebut. Karena jika kemajuan teknologi tidak di ikut sertakan dalam rukyatul hilal maka akan membuat ketidak sesuaian hukum itu terhadap perkembangan zaman.
Berdasarkan kandungannya, teknologi rukyatul hilal ini berkaitan erat dengan kemaslahatan umum. Perbedaan memulai puasa atau hari raya telah lama menggejolak di Indonesia, hal tersebut tidak terlepas dari perbedaan pandangan dalam menetapkan awal bulan kamariah. Bukan hanya persoalan antara mazhab hisab dengan mazhab rukyat, akan tetapi pada masing-masing mazhab juga masih terdapat perbedaan. Karena ini menyangkut kepentingan banyak manusia maka peran teknologi yang memberikan suatu solusi yang objektif perlu dipertimbangkan.
Di sisi lain, jika penggunaan alat dalam rukyatul hilal masih terpaku pada pendapat Ibnu Hajar, al-Syarwani, dan al-Muthi’i yang secara umum alat yang dimaksdukan hanya sebatas membantu pendekatan mata, maka secara otomatis teknologi rukyatul hilal yang telah dipaparkan tidak diperbolehkan. Padahal jika ditelusuri biografi ketiga ulama di atas, misalnya Ibnu hajar yang wafat pada tahun 1449 Masehi, maka sangatlah wajar jika pandangannya mengenai pengguaan alat dalam rukyatul hilal masih tergolong sangat sempit (tidak memperbolehkan menggunakan alat seperti kaca) karena pada masa tersebut perkembangan teknologi yang dapat dikatakan masih terbatas, sehingga tidak muncul pemikiran tentang pemanfaatan teknologi yang lebih jauh seperti saat ini. Bagitu halnya dengan al-Syarwani dan al-Muthi’i meskipun keduanya baru wafat sekitar lebih kurang 100 tahun-an lalu, namun tetap saja peradaban teknologi pada masa tersebut juga masih terbatas.
Dalam hal rukyatul hilal, yang dipermasalahkan bukanlah tidak ada nash atau hadis yang memerintahkan pelaksanaannya. Melainkan tidak adanya keterangan yang terperinci dalam hadis yang menjadi sumber penetapan awal bulan kamariyah dengan rukyatul hilal, sehingga mucul banyak pendapat mengenai cara yang dilakukan untuk melihat hilal. Maka ketika teknologi mengambil peran dalam rukyatul hilal, ada beberapa hal yang dipandang sebagai maslahat:
Pertama, menghilangkan kesukaran dalam pengamatan menggunakan mata telanjang. Sejak dulu hingga saat ini masih ada golongan atau kelompok yang berpengan pada rukyat dengan mata telanjang. Sejatinya, jika dibuktikan secara objektif, sangat tidak mungkin melihat hilal dengan mata telanjang pada saat ketinggian hilal sangat rendah. Hal itu juga dibuktikan dengan beberapa kesaksian yang menyatakan melihat hilal padahal berdasarkan hisab hilal sama sekali masih belum wujud. Padahal bisa saja yang terlihat oleh mata tersebut rangkaian awan yang terlihat seperti hilal. Banyak kesulitan dalam melihat hilal dengan mata telanjang, karena selain hilal itu letaknya sangat jauh dari pengamat hilal juga merupakan objek yang sangat kecil dan minim cahaya. Maka kemampuan mata telanjang akan sangat terbatas dalam mendeteksi hilal. Belum lagi jika keadaan langit pada saat pengamatan berawan.
Kedua, teknologi rukyatul hilal dapat memperkecil kemungkianan perdedaan dalam mengawali puasa maupun hari raya. Tentunya hal ini akan memberikan dampak positif terhadap perbedaan yang terjadi selama ini. Dengan hilang atau berkurangnya perbedaan tersebut, maka muncullah kemaslahatan yang dapat mempersatukan umat. Kemampuan teknologi rukyatul hilal yang dapat ditanyangkan melalui pemancar televisi akan dapat disaksikan oleh banyak masyarakat akan memberikan suatu kepercayaan atau keyakinan bahwa pada saat melakukan pengamatan hilal tersebut hilal terlihat atau tidak.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam teknologi rukyat ini adalah faktor kemampuan mukallaf baik dari segi pengoperasionalan teknologi rukyatul hilal maupun dari segi materi yang diperlukan dalam memenuhi teknologi rukyat tersebut. Jika kedua faktor tersebut dapat dihindari atau dipandang tidak memberatkan maka teknologi rukyat ini dipastikan memberikan banyak kemaslahatan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan teknologi juga tidak terlepas dari banyaknya manupulasi yang tidak bisa diterima akal. Maka dalam hal rukyatul hilal, manipulasi tersebut harus benar-benar dihindari, karena hal ini berhubungan erat dengan memulai dan mengakhiri ibadah wajib. Jika hal tersebut tidak dihindari, maka secara tidak langsung yang mulanya kemaslahatan akan berubah menjadi kemudaratan. Selain hal tersebut tidak dapat diterima oleh akal, manipulasi dalam teknologi rukyatul hilal juga bertentangan dengan syari’at secara umum.
Legalitas suatu perkara itu senantiasa berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Maka hukum juga senantiasa harus mengikutinya dengan ketentuan dan batasan-batasan tertentu. Dalam teknologi rukyatul hilal, penggunaan teknologi yang lebih baik memang sangat dibutuhkan, karena berdasarkan faktor-faktor yang telah disebutkan di atas peralatan dengan teknologi sederhana yang sebatas memperdekat jarak pandang mata juga tidak banyak membantu. Oleh karena itu, teknologi lebih berkembang ke arah teknologi teleskop inframerah termal, sistem aktif dan sensor radar yang secara kualitas lebih baik dibandingkan teleskop biasa.
Perlu digaris bawahi, bahwa untuk teknologi rukyatul hilal (inframerah termal, sistem aktif) secara umum masih dapat diterima akal. Karena sesuai fungsinya yang dapat memperpanjang gelombang pengamatan. Sedangkan untuk teknologi sensor radar yang dapat menembus awan dapat digolongkan ke dalam manipulasi dalam rukyatul hilal. Karena memaksakan ketampakan hilal hingga harus menembus awan ketika pada waktu pengamatan dalam keadaan mendung atau tertutup awan.




C.    Kesimpulan
Penggunaan teknologi dalam rukyatul hilal diperbolehkan selama teknologi yang dimaksudkan tidak memberatkan mukallaf, baik dalam pengunaannya maupun dalam dari segi materi, karena kemaslahatan dari teknologi rukyatul hilal harus lebih besar dari pada kesulitan yang ditimbulkan. Teknologi dalam rukyatul hilal harus senantiasa mengedepankan orisinalitas dalam mekanisme kerja, sistem dan metodenya, agar tidak bertentangan dengan kebenaran agama, maka hal-hal yang berkaitan dengan manipulasi tidak diperbolehkan dalam teknologi rukyatul hilal. Karena hal tersebut dipandang bukan sebagai maslahat melainkan lebih menimbulkan mudarat.
























Daftar Pustaka
al-Razi, Abu ‘Abdillah Zain al-Din Muhammad bin Abu Bakr, Mukhtar al-Sihah, Bairut: al-Maktabah al-Asriyyah, 1999.
Dahlan. Abdul Aziz, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid IV, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2001.
Izzuddin, Ahmad, Fiqh Hisab Rukyah; Menyatukan NU & Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007.
Manzur, Muhammad bin Mukrim, Lisan al-‘Arab, Juz II, Bairut: Dar Sadir, 1414 H.
Nasution, Muhammad Syukri Albani, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014.
Pratama, Dito Alif, 2016 , “Rukyatul Hilal Dengan Teknologi: Telaah Pelaksanaan Rukyatul Hilal di Baitul Hilal Teluk Kemang Malaysia”,  dalam al-Ahkam, Vol. 26, Nomor 2, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang.
Ruskanda, S. Farid, 100 Masalah Hisab & Rukyat; Telaah Syari’ah, Sains dan Teknologi, Jakarta: Gema Insani press, 1996.
Ruskanda, S. Farid, dkk, Rukyah dengan Teknologi; Upaya Mencari Kesamaan Pandangan tentang Penentuan Awal Bulan Ramadhan dan Syawal, Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Sanusi, Ahmad & Sohari, Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015.
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016.
Syariffuddin, Amir, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, Cet II, Jakarta: Kencana, 2014.
­­­______, Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta: Kencana, 2009.
Tim Penyusun Direktorat Jendral Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Selayang Pandang Hisab Rukyat, ttp: tp, 2004.
Zakariyya, Ahmad bin Faris, Mu’jam Maqayis al-Lugah, Juz III, Bairut: Dar al-Fikr, 1979.




[1] Ballur adalah benda yang berwarna putih seperti kaca.
[2] Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah; Menyatukan NU & Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), 6-7.
[3] Diskusi Panel tersebut diselenggarakan oleh ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) di Jakarta pada 4 September 1993.
[4] S. Farid Ruskanda, dkk, Rukyah dengan Teknologi; Upaya Mencari Kesamaan Pandangan tentang Penentuan Awal Bulan Ramadhan dan Syawal, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), 32.
[5] S. Farid Ruskanda, dkk, Rukyah ..., 74.
[6] Dito Alif Pratama, 2016 , “Rukyatul Hilal Dengan Teknologi: Telaah Pelaksanaan Rukyatul Hilal di Baitul Hilal Teluk Kemang Malaysia”,  dalam al-Ahkam, Vol. 26, Nomor 2, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, 281.
[7] Ahmad bin Faris bin Zakariyya, Mu’jam Maqayis al-Lugah, Juz III (Bairut: Dar al-Fikr, 1979), 303; Abu ‘Abdillah Zain al-Din Muhammad bin Abu Bakr al-Razi, Mukhtar al-Sihah (Bairut: al-Maktabah al-Asriyyah, 1999), 178; Muhammad bin Mukrim bin Manzur, Lisan al-‘Arab, Juz II (Bairut: Dar Sadir, 1414 H), 516.
[8] Abdul Aziz Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid IV (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), 1143.
[9] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II (Jakarta: Kencana, 2009), 345.
[10] Amir Syariffuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, Cet II (Jakarta: Kencana, 2014), 64-65, ; Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), 107.
[11] Ahmad Sanusi & Sohari, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015), 80-81.
[12] Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), 117.
[13] Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum ..., 182.
[14] Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum ..., 107.
[15] Amir Syariffuddin, Garis-garis Besar ..., 65-66.
[16] S. Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab & Rukyat; Telaah Syari’ah, Sains dan Teknologi, (Jakarta: Gema Insani press), 1996, 64.
[17] S. Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab ..., 64.
[18] S. Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab ..., 65.
[19] S. Farid Ruskanda, dkk., Rukyah dengan Teknologi; Upaya Mencari Kesamaan Pandangan tentang Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), 65.
[20] Tim Penyusun Direktorat Jendral Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Selayang Pandang Hisab Rukyat (ttp: tp, 2004), 80-83.

Post a Comment

0 Comments