Pandangan Ulama Terhadap Image Processing Pada Astrofotografi Di Bmkg Untuk Rukyatul Hilal




ABSTRAK 
BMKG melakukan pengembangan terhadap rukyatul hilal dengan menggunakan Image Processing pada astrofotografi. Proses pengolahan citra pada hilal yang belum dapat dipastikan keberadaannya. Image Processing mampu memperjelas citra hilal yang samar-samar menjadi lebih jelas dan yang tidak terlihatmenjadi terlihat. Penelitian ini mengkaji pandangan ulama  terkait keabsahan penggunaan Image Processing. Terdapat perbedaan antara para ulama. Pertama, ulama yang sama sekali tidak memperbolehkan penggunaan Image Processing karena penggunaan alat terbatas dalam membantu penglihatan. Kedua, ulama yang memperbolehkan penggunaan Image Processing namun hanya sebatas memperjelas citra hilal. Ketiga, ulama yang memperbolehkan penggunaan Image Processing secara keseluruhan, karena langkah tersebut adalah proses ilmiah memastikan hilal.
Kata Kunci: Image Processing, Rukyatul hilal, Ulama.

ABSTRACT
BMKG develops rukyatul hilal by using Image processing in astrophotography. The process of image processing on the cresent that can not be ascertained its existence. Image processing is able to clarify the vivid image of the cresent becoming more vivid and invisible. This study examines the views of ulama related to the validity of the use of image processing. There is a difference between the scholars. Firstly, the scholars did not allow the use of image processing because of the use of limited tools to aid vision. Secondly, scholars who allow the use of image processing but only limited to clarify the image of the new moon. Thirdly, scholars who allow the use of image processing as a whole, because the step is a scientific process to ensure moon.
Keywords: Image Processing, Rukyatul hilal, Ulama.



A.    Pendahuluan  
Astrofotografi merupakan pengamatan fenomena benda langit dan mengabadikannya melalui foto. Hal tersebut bisa dilakukan secara sederhana melalui kamera Digital Single Lens Reflex (DSLR) hingga melalui teropong yang canggih.[1] Penggunaan astrofotografi dalam rukyatul hilal, lebih baik dibandingkan dengan penggunaan alat lain, seperti penggunaan theodolit atau teleskop misalnya, yang hanya berfungsi sebatas mengumpulkan cahaya, memisahkan cahaya, dan memperbesar objek, sehingga memberi bantuan pada retina mata melalui media refraksi saat melakukan pengamatan hilal.[2] Berbeda dengan astrofotografi yang selain mencakup tiga fungsi di atas, juga dapat memotret atau merekam citra hilal dalam bentuk data berupa gambar. 
Kemampuan astrofotografi untuk mengabadikan proses pengamatan hilal berupa citra atau gambar dapat dijadikan sebagai data hilal untuk sebuah pengembangan keilmuan terkait hilal. Sebagaimana dalam pengamatan BMKG sendiri, telah teramati data hilal sebagai berikut:

No
Ketinggian Hilal
Jumlah Hilal Teramati[3]
1
6-7 derajat
4 data hilal
2
7-8 derajat
5 data hilal
3
8-9 derajat
6 data hilal
4
9-10 derajat
15 data hilal
5
10-11 derajat
23 data hilal
6
11-12 derajat
15 data hilal
7
12 > derajat
69 data hilal
Tabel 1.1, Rekapitulasi Data Hilal Teramati BMKG[4]

Teknik astrofotografi dalam rukyatul hilal memiliki hubungan yang sangat erat dengan Image Processing, karena citra hilal yang dipotret sering mengalami penurunan mutu (degradasi), misalnya mengandung cacat atau derau (noise), warnanya terlalu kontras, kurang tajam, kabur (blurring), dan sebagainya. Tentu saja citra semacam ini menjadi lebih sulit diinterpretasi karena informasi yang disampaikan oleh citra tersebut menjadi berkurang.[5] Agar citra hilal yang mengalami gangguan atau tidak terlihat mudah diinterpretasi (baik oleh manusia maupun mesin), maka citra tersebut perlu diproses atau dilakukan pengolahan gambar untuk menghasilkan citra hilal lain yang kualitasnya lebih baik.
Berdasarkan data di atas, hilal pada ketinggian 6-8 derajat masih membutuhkan pengolahan gambar atau Image Processing agar hilal dapat terlihat citranya.[6] Untuk citra pada ketinggian 9 derajat adalah optional, kadang membutuhkan Image Processing kadang tidak. Sedangkan ketinggian 10 derajat lebih Image Processing tidak diperlukan, karena pada ketinggian tersebut hilal sudah terlihat hanya dengan pengambilan citra hilal melalui astrofotografi tanpa harus melakukan pengolahan gambar.[7] 
Penerapan Image Processing[8] pada astrofotografi di Badan Meteorologi  Klimatologi dan Geofisika (BMKG) merupakan salah satu teknik pengembangan rukyatul hilal. Secara umum Image Processing berfungsi untuk perbaikan atau memodifikasi citra[9] guna menonjolkan beberapa aspek informasi yang terkandung di dalamnya, juga untuk pengelompokan dan pencocokan citra, serta penggabungan citra dengan bagian citra yang lain.[10] Pada citra hilal, Image Processing dengan tahapan-tahapan tertentu berfungsi untuk memperjelas ketampakan hilal pada citra atau gambar yang berhasil diambil gambarnya melalui teknik astrofotografi.
Praktek rukyatul hilal yang berkembang di Indonesia, keberadaan data (citra hilal) sebagai bukti terlihatnya hilal bukanlah suatu hal yang dipandang perlu. Hal ini terlihat pada pelaporan hasil observasi hilal, di mana perukyat yang melihat hilal hanya perlu melaporkan hasil observasi (syahadah) kepada petugas dengan menyertakan formulir Laporan Hasil Observasi Bulan tanpa harus menyertakan data hilal (citra hilal) dan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan Hukum Islam harus pula diikuti oleh perukyah.[11] Menurut T. Djamaluddin kesaksian rukyat tidak mutlak kebenarannya. Mata manusia bisa salah lihat. Mungkin yang dikira hilal sebenarnya objek lain. Keyakinan bahwa yang dilihatnya benar-benar hilal harus didukung pengetahuan dan pengalaman tentang pengamatan hilal.[12]  
Selain itu, belum ada batasan-batasan yang pasti mengenai penggunaan alat dan multimedia dalam pelaksanaan rukyatul hilal, khususnya pada aliran yang memperbolehkan pelaksanaan rukyah dengan alat bantu. Ibnu Hajar misalnya, tidak mengesahkan penggunaan cara pemantulan melalui kaca atau air. al-Syarwani lebih jauh menjelaskan bahwa penggunaan alat yang mendekatkan atau membesarkan seperti teleskop, air, ballur[13] masih dapat dianggap sebagai rukyah. Al- Muthi’i menegaskan bahwa penggunaan alat optik sebagai penolong diizinkan karena yang melakukan penilaian terhadap hilal adalah mata perukyah sendiri.[14] Hal ini memperkuat bahwa belum adanya kepastian mengenai penggunaan alat bantu dalam rukyatul hilal, sehingga ketika Image Processing diterapkan pada astrofotografi untuk rukyatul hilal sebagaimana yang dilakukan oleh BMKG memunculkan suatu permasalahan baru. Padahal jika kita telusuri pada dasar hukum yang menjadi acuan rukyatul hilal adalah sama, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, sebagaimana berikut:
حدثنا عبد الله بن مسلمة عن مالك عن نافع عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه و سلم ذكر رمضان فقال لا تصوموا حتى تروا الهلال ولاتفطرواحتى تروه فإن غم عليكم فاقدرواله (رواه البخاري).[15]
“Abdullah Ibn Maslamah bercerita pada kita dari Nafi’ dari ‘Abdullah Ibn Umar ra. bahwasanya Rasulullah saw. menjelaskan tentang puasa Ramadan lalu Beliau bersabda : “Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka sebelum melihatnya lagi. Bila hilāl itu tertutup awan maka kadarkanlah.” (HR. Bukhari)
Hadis ini secara zhahir mewajibkan puasa ketika telah melihat hilal melalui rukyah baik malam atau siang hari, hanya saja untuk kasus melihat di siang hari, kewajiban puasa diperuntukkan hari berikutnya, bukan hari itu juga. Hadis ini juga menjelaskan tentang larangan untuk memulai puasa Ramadan sebelum melihat hilal. Redaksi فإن غم عليكم menunjukkan rukyah hanya ketika langit dalam keadaan cerah, tidak ketika langit mendung. Hal ini masih menjadi perselisihan. Mayoritas ulama berkata, “maksud dari فاقدرواله adalah lihatlah awal bulan dan hitunglah sempurnanya 30 hari".[16]
Dalam hal ini telah terjadi kesenjangan antara penggunaan Image Processing pada astrofotografi di BMKG untuk rukyatul hilal dengan praktek rukyatul hilal secara umum. Image Processing mampu memperjelas citra hilal yang samar-samar menjadi lebih jelas dan yang tidak terlihat (pada ketinggian tertentu) menjadi terlihat. Praktek rukyatul hilal yang berkembang penggunaan alat bantu dalam rukyat hilal hanya sebatas membantu penglihatan, pada akhirnya mata tetap sebagai penilai dari hasil pengamatan. Kita ketahui bahwa rukyatul hilal sangat erat hubungannya dengan pelaksanaan ibadah, sehingga segala sesuatu yang berkembang berdasarkan kemajuan teknologi harus ditinjau kembali keabsahannya menurut hukum Islam yang berlaku.
Dalam penelitian ini akan diuraikan bagaimana pandangan ulama terhadap Image Processing pada astrofotografi untuk rukyatul hilal di BMKG, dengan rumusan permasalahan yaitu: bagaimana pandangan ulama terhadap keabsahan Image Processing pada astrofotografi di BMKG untuk rukyatul hilal.
Ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan Penelitian ini, di antaranya:
1.      Ike Mardiya Sari, dkk, tentang “Implementasi Circular Hough Transform untuk Deteksi Kemunculan Bulan Sabit”. Penelitian ini menjelaskan tentang Suatu sistem untuk mendeteksi kemunculan bulan sabit dengan metode Circular Hough Transform. Metode ini terdiri dari empat tahap yaitu preprocessing, segmentasi, pencarian kandidat obyek, dan deteksi obyek dengan Circular Hough Transform. Hasil uji coba pada sejumlah citra hasil pengamatan menunjukkan keberhasilan sistem sebesar 75% dalam mendeteksi kemunculan bulan sabit.[17]
2.      Dhani Herdiwijaya tentang “Prosedur Sederhana Pengolahan Citra untuk Pengamatan Hilal”. Penelitian ini mengkaji tentang membangun database dalam perkembangan penelitian hilal di masa mendatang. Di sisi lain kondisi di lapangan seringkali menyisakan waktu yang sempit untuk melaporkan hasil observasi sebagai bahan sidang isbat, sehingga tidak sempat untuk melakukan pengolahan citra. Prosedur pengolahan citra secara sederhana dari bukti rekaman citra hilal dengan menggunakan perangkat lunak yang nir biaya perlu dilakukan, terutama untuk hilal umur sangat muda.[18]
Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, penelitian tentang “Pandangan Ulama Terhadap Image Processing pada Astrofotografi di BMKG untuk Rukyatul hilal” ini merupakan suatu kebaruan, di mana perbedaannya terletak pada Image Processing itu sendiri, fokus locus penelitian, serta pengkajian pandangan ulama terhadap Image Processing pada astrofotografi hilal.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif (library research), dengan pendekatan saintifik[19] dan normatif[20], pendekatan ini dibutuhkan untuk mengkaji kebenaran berdasarkan normatif serta berdasarkan saintifik atau berdasarkan pandangan ulama serta berdasarkan sains yang berkembang. Fokus Penelitian ini merujuk kepada penggunaan Image Processing di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pusat. Sumber data primer dalam Penelitian ini menggunakan 4 buah citra hilal yang berhasil teramati melalui Image Processing di BMKG antara tahun 2008-2017. Sedangkan sumber data sekundernya adalah tulisan-tulisan ilmiah pendukung di antaranya: Robert Reeves, Introduction to Digital Astrophotography; Imaging the Universe with a Digital Camera, Priyanto Hidayatullah, Pengolahan Citra Digital; Teori dan Apklikasi Nyata, Abdul Kadir, Dasar Pengolahan Citra dengan Dalphi, dan lain-lain.
Teknik analisis dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, yaitu mendeskripsikan keabsahan hasil Image Processing astrofotografi hilal di BMKG untuk rukyatul hilal berdasarkan pandangan ulama tentang Image Processing. Mendeskripsikan kejadian atau fakta, keadaan, fenomena, dan variabel dengan menarik suatu titik temu dalam penggunaan Images Processing pada astrofotografi hilal di BMKG.

B.     Pengertian Ulama
Kata “Ulama” berasal dari bahasa Arab علماء jamak dari  عليم yang berarti orang yang berilmu atau orang yang berpengetahuan. Maka kata عليم adalah isim yang diserupakan dengan isim fa’il. Kata عا لم adalah isim fa’il dari kata kerja علم yang berarti ia telah mengetahui atau telah mengetahui. Sedangkan kata علماء berarti orang-orang yang berilmu atau orang orang-orang yang mengetahui.[21] Kata Ulama jika dihubungkan dengan perkataan lain, seperti Ulama fiqh, Ulama hadis, Ulama tafsir dan sebagainya, akan mengandung arti yang luas, yakni meliputi orang yang berilmu dalam bidang tertentu.[22]
Dalam konteks penetapan hukum, Ulama dapat mengintegrasikan diri dalam mekanisme yang ada untuk berpartisipasi membentuk hukum dan opini legal. Ulama dipandang mempunyai maslahat yang lebih besar sesuai dengan fungsinya mempertahankan representasi otoritas hukum Islam.[23] Ulama sebagai sumber ilmu merupakan orang yang fakih dalam masalah halal-haram. Ia adalah rujukan dan tempat menimba ilmu sekaligus guru yang bertugas membina umat agar selalu berjalan di atas tuntunan Allah dan rasul-Nya.[24]  
Nikkie R Kiddie dalam Scholar, Saint and Sufis: Muslim Religious Institution in Middle East since 1500, mendefinisikan ulama sebagai sekumpulan orang yang berkuasa (powerful) Dan dihormati, yang memiliki sejumlah kekayaan personal maupun perusahaan serta memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk masyarakat Islam. Ulama yang melakukan tugas khusus sebagai seorang pengajar, penceramah, atau qadi, menerima penghargaan atas jasa mereka dalam beragam bentuk, mereka juga mengelola lembaga pendidikan, lembaga peradilan, rumah sakit, serta lembaga-lembaga amal lainnya.[25] Otoritas ulama tersebut tidak saja dalam masalah hukum, pendidikan, namun juga masalah-masalah kontemporer dimana memiliki kemampuan yang tidak secara terspesialisasi dan tidak dibeda-bedakan.[26]
Selain itu, menurut M. Quraish Shihab[27], ulama bertugas untuk memberikan petunjuk dan bimbingan guna mengatasi perselisihan-perselisihan pendapat, problem-problem sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Sedangkan Menurut Hiroko Horikoshi, hubungan ulama dengan masyarakat adalah dengan istilah patron dengan client. Banyak faktor yang menyebabkan kedekatan antara patron dengan client antara lain karena keilmuannya dan kredibilitas moralnya, di samping karena sebagai pengayom masyarakat.[28]
Harun Nasution membagi ciri pemikiran Islam kedalam tiga zaman, yaitu: priode klasik (650-1250 M)[29], priode pertengahan (1250-1800 M)[30], dan priode modern (1800 M)[31]. Menurut Harun Nasution, metode berfikir ulama priode klasik terikat langsung dengan al-Qur’an dan hadis, sehingga banyak melahirkan ijtihad yang kualitatif. Sedangkan pemikiran priode pertengahan menjadi lebih terikat sekali dengan hasil pemikiran ulama klasik. Dalam menghadapi masalah-masalah baru mereka tidak lagi secara langsung menggali al-Qur’an dan hadis, melainkan lebih banyak terikat dengan produk pemikiran ulama zaman klasik, sehingga orisinalitas pemikiran semakin berkurang dan cenderung dogmatis. Pemikiran priode kontemporer tidak mesti terikat dengan pemikiran klasik maupun pertengahan, bila ternyata tidak relevan dengan persoalan yang ada, tetapi yang masih relevan tetap dijadikan pegangan. 
Berdasarkan pendapat di atas menurut penulis pemikiran klasik dan pertengahan dalam menyikapi suatu permasalahan langsung dari al-Quran dan hadis, namun hanya pada masalah tertentu pada masanya, sehingga masih sangat kaku. Sedangkan pemikiran modern sudah ada pemikiran baru yang juga menggunakan al-Quran dan hadis, khususnya pada masalah yang belum terjadi pada masa dulu, sehingga akan terus berkembang sesuai permasalahan pada masa modern.
Untuk lebih jelasnya yang dimaksud dengan istilah ulama dalam penelitian ini adalah orang Islam yang pengetahuannya tentang agama Islam melebihi orang-orang biasa dan merupakan tokoh masyarakat sekaligus sebagai pemimpin non formal. Berkaitan dengan keabsahan penggunaan Image Processing pada astrofografi untuk rukyatul hilal, maka ulama yang dimaksud di sini secara spesifik adalah ulama fiqh, ulama sains, dan ulama yang berkaitan langsung dengan rukyatul hilal tersebut.

C.    Image Processing pada Astrofotografi
Image Processing merupakan istilah lain dari pengolahan citra. Dalam pengertian umum, citra adalah gambar. Dalam pengertian yang lebih khusus, citra adalah gambaran visual mengenai suatu objek atau beberapa objek. Tentu saja, wujud citra dapat bermacam-macam, dari foto orang, gambar awan, hasil rontgen, hingga cita satelit.[32]
Secara prinsip, citra dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu citra warna, citra keabuan, dan citra biner (citra monokrom). Citra berwarna (true color) merepresentasikan keadaan visual objek-objek yang bisa kita lihat. Citra berskala keabuan atau (grayscale) adalah citra yang menggunakan gradasi warna abu-abu yang merupakan kombinasi antara hitam dan putih. Citra biner atau dikenal dengan sebutan cita hitam-putih atau citra monokrom adalah citra yang dinilai piksel-pikselnya berupa angka nol atau satu saja atau dua keadaan seperti 0 dan 255.[33]
Pengolahan citra digital dibangun di atas fondasi formulasi dan probabilistik, intuisi dan analisis manusia memainkan peran penting dalam pemilihan teknologi. Pemilihan sering dibuat berdasarkan pendapat subjektif dan visual.[34] Penglihatan adalah indra yang paling peka sehingga tidak mengejutkan bila citra memainkan peran yang paling penting dalam persepsi manusia. Bagaimanapun, tidak seperti manusia yang terbatas dalam band penglihatan spektrum elektromagnetik (EM), mesin pencitraan mencakup hampir semua spektrum EM, dengan jangkauan mulai dari sinar gamma sampai gelombang radio. Mesin tersebut dapat mengoperasikan citra yang dihasilkan oleh sumber yang manusia tidak biasa hubungkan dengan citra, termasuk ultrasound, electron microscopy dan komputer pembuat citra. Karena itu, pengolahan citra digital meliputi daerah aplikasi yang luas dan bermacam-macam.[35]
Bidang digital Image Processing meliputi pengolahan digital image dari suatu komputer digital. Gambar dihasilkan dari seluruh spektrum EM , mulai dari gamma sampai gelombang radio. Ada tiga tipe pengolahan citra, diantaranya: Pertama, Low level process, meliputi operasi dasar seperti image preprocessing: reduce noise, contrast enhancement, dan image sharpening. Kedua,  Mid level process, meliputi segmentasi (membagi sebuah gambar dalam region atau object), mendeskripsikan objek tersebut untuk direduksi dalam bentuk yang diinginkan dan klasifikasi (recognition) dari objek tersebut. Ketiga,  High level process, meliputi pemberian arti suatu rangkaian objek-objek yang dikenali dan akhirnya menampilkan fungsi-fungsi kognitif secara normal sehubungan dengan penglihatan.[36]
Image Processing bertujuan memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau mesin (dalam hal ini komputer). Teknik-teknik pengolahan citra mentransformasikan citra menjadi citra lain. Jadi, masukannya adalah citra dan keluarannya juga citra, namun citra keluaran mempunyai kualitas lebih baik daripada citra masukan.[37]
Dalam astrofotografi, mengambil citra merupakan suatu langkah awal. Untuk sampai pada citra yang memuaskan, maka harus menghadapi hal-hal seperti pengurangan noise[38], kontras dan peningkatan kecerahan, dan koreksi warna.[39]
Tidak ada astrofotografi yang melakukan pemrosesan gambar sama persis. Program yang baik memiliki tutorial yang menjelaskan cara pengoperasiannya, pengguna akan menemukan kombinasi yang paling sesuai untuk masing-masing citra, terutama jika tujuannya adalah untuk menghasilkan "citra terbaik". Citra yang ilmiah harus mengikuti proses pengolahan ketat langkah demi langkah, yang dapat didokumentasikan dan tidak membahayakan data.[40]
Banyak yang menggunakan lebih dari satu program untuk melengkapi citra yang akan diproses, mulai dari kecerahan, kontras, koreksi warna, dan lain-lain. Oleh sebab itu, sulit untuk meletakkan aturan atau langkah universal dalam pengolahan gambar. Sehingga sangat dibutuhkan keahlian khusus.[41]

D.  Image Processing pada Astrofotografi di BMKG untuk Rukyatul hilal
BMKG hanya melakukan Image Processing pada citra-citra hilal pada saat ketinggian di bawah delapan derajat. Karena biasanya pada ketinggian tersebut citra hilal belum dapat dipastikan apakah terlihat atau tidak. Terkadang hilal sudah terlihat namun perlu dinaikkan kontras pada citra tersebut agar lebih jelas citra hilalnya. Atau mungkin citra hilal terlihat samar-samar, maka dinaikkan kontrasnya dan memperhatikan konsistensinya pada citra-citra lain. Hal tersebutlah yang menjadi alasan utama mengapa Image Processing dibutuhkan dalam citra hilal.
Dengan menerapkan metode pengolahan citra di atas, Image Processing pada astrofotografi telah membantu keberhasilan pengamatan hilal sebanyak 15 data sejak 2013 hingga Mei 2017 dari pengamatan rutin setiap bulannya, pada bulan-bulan selanjutnya secara umum tinggi hilal di bawah delapan derajat membutuhkan pengolahan citra sebagaimana dijelaskan di atas.[42]
Sedangkan hilal pada ketinggian sembilan derajat terkadang juga membutuhkan Image Processing untuk memperjelas citra hilal, dapat dikatakan opsional untuk hilal pada ketinggian sembilan derajat. Namun hilal pada ketinggian sepuluh derajat ke atas, tidak membutuhkan Image Processing karena pada ketinggian tersebut citra hilal telah terlihat jelas.
Sebelum melakukan pengolahan citra terlebih dahulu harus mengetahui orientasi hilal dan ukuran hilal dengan prediksi. Orientasi hilal untuk memprediksikan arah kemiringan hilal terhadap sinar matahari, sedangkan ukuran hilal untuk menentukan bentuk  hilal dalam satu frame, dengan diprediksikan besar hilal itu seperti apa.[43]
Pada umumnya terdapat 4 metode yang dapat dilakukan dalam Images Processing pada astrofotografi untuk rukyatul hilal, di antaranya:
1.      Meningkatkan atau menurunkan kontras pada satu citra hilal.
2.      Meningkatkan atau menurunkan kontras pada beberapa citra hilal dengan memperhatikan konsistensinya.
3.      Penumpukan citra hilal tanpa kalibrasi.
4.      Penumpukan citra hilal dengan kalibrasi.[44]
Untuk memahami empat hal proses pengolahan di atas, berikut akan dijelaskan secara terperinci dari masing-masing metode Image Processing:
1.      Meningkatkan atau menurunkan kontras pada satu citra hilal.
Kontras dalam visual adalah sesuatu yang membuat sebuah objek atau representasi dari objek tersebut dalam bentuk gambar dapat dibedakan dari objek lain atau background. Kontras ditentukan oleh perbedaan dalam warna dan tingkat kecerahan dari objek yang satu dengan yang lainnya dalam jangkauan pandang yang sama.[45]
Dalam citra hilal kontras diperlukan untuk memperjelas ketampakan hilal pada satu citra, karena biasanya citra hilal sering terlihat sama dengan background atau objek lain seperti awan yang ada disekelilingnya, sehingga sulit dipastikan apakah objek tersebut adalah hilal atau bukan, maka diperlukan peningkatan kontras agar citra Hilal lebih mendominasi.
Jadi, dalam peningkatan kontras pada satu citra hilal ini, pada dasarnya dalam citra awal hilal telah terlihat atau tampak, namun peningkatan kontras pada citra hilal tersebut dilakukan untuk lebih memperjelas hilal yang sudah terlihat. Perhatikan contoh gambar berikut!
Gambar 3.3; Citra Awal.
Gambar 3.4; Citra Sesudah Diproses.
2.      Meningkatkan atau menurunkan kontras pada beberapa citra hilal dengan memperhatikan konsistensinya.
Fungsi kontras masih tetap sama dalam tahapan ini yaitu membuat sebuah objek atau representasi dari objek tersebut dalam bentuk gambar dapat dibedakan dari objek lain atau background.
Yang membedakan tahap ini dengan tahap sebelumnya adalah pada tahap ini hilal belum dapat dipastikan terlihat atau tidak, namun kemungkinan terlihat itu ada, sehingga pengolahan pada satu citra hilal saja tidak akan membantu. Hal lain yang perlu dilakukan adalah memperhatikan konsistensi ketampakan hilal pada citra yang lain. Konsistensi yang dimaksudkan adalah adanya kesamaan antara citra yang satu dengan citra yang lain, baik dari segi bentuk hilal, maupun dari segi posisi atau letak hilal dalam citra satu dengan citra yang lainnya.
Jika konsistensinya menunjukkan persamaan, maka dapat disimpulkan bahwa yang terlihat seperti hilal tersebut adalah hilal. Dalam proses tersebutlah kontras dinaikkan pada beberapa citra untuk lebih meyakinkan bahwa citra hilal benar terlihat. Perhatikan contoh gambar berikut!
Gambar 3.5; Citra Awal.
Gambar 3.6; Citra Sesudah Diproses.
3.      Penumpukan citra hilal tanpa kalibrasi.
Berbeda dengan tahap sebelumnya, pada tahap ini hilal tidak terlihat dalam beberapa citra. Dan peningkatan kontras pada satu citra atau peningkatan kontras pada beberapa citra dengan memperhatikan konsistensinya tidak membantu untuk menampilkan citra hilal pada gambar. Maka tahapan selanjutnya yang mungkin untuk dilakukan adalah menumpukkan beberapa citra hilal atau menggabungkan beberapa citra menjadi satu.
Penumpukan tersebut tidak terbatas jumlahnya, bisa mencapai 100 citra atau bahkan lebih banyak. Penumpukan citra tersebut akan menampilkan citra hilal akhir, sehingga dapat dipastikan apakah hilal terlihat atau tidak. Jika citra hilal terlihat, maka pada akan muncul suatu bentuk hilal pada tempat dan posisi yang sama dalam citra yang telah ditumpuk tersebut.
4.      Penumpukan citra hilal dengan kalibrasi.
Pada tahap terakhir untuk prosesnya hampir sama dengan tahap ketiga, yaitu menumpukkan beberapa citra hilal menjadi satu citra untuk dapat mengetahui apakah hilal terlihat atau tidak. Namun yang membedakannya adalah pada tahap keempat ini sebelum melakukan penumpukan tersebut terlebih dahulu melakukan kalibrasi terhadap citra hilal.
Kalibrasi tersebut dilakukan pada saat pengambilan citra dengan alat-alat kaliblator. Untuk meningkatkan Signal to Noise (S/N) Ratio, lakukan perekaman citra bias (bias frame), citra gelap (dark frame), dan citra medan datar (flat field frame).
Citra Bias diperlukan untuk mengoreksi ketidakteraturan setiap pixel pada detektor dalam merekam data. Citra Gelap diperlukan untuk mengoreksi efek panas dan derau elektronik pada detektor. Citra Medan Datar diperlukan untuk mengoreksi permasalahan-permasalahan terkait dengan penjalaran cahaya dari depan teleskop, lensa, hingga ke detektor.[46] 
Di BMKG sendiri Image Processing yang dilakukan sejauh ini hingga tahap pertama dan tahap kedua. Yaitu tahapan meningkatkan kontras pada satu citra hilal dan beberapa citra hilal dengan memperhatikan konsistensinya. Namun terkadang pernah juga melakukan percobaan pengolahan gambar hingga ke tahapan yang lebih lanjut atau kompleks. Hal ini menunjukkan bahwa hilal dengan ketinggian lebih rendah dapat terlihat dengan teknik astrofotografi, meskipun mata telanjang belum dapat melihatnya.[47]

E.  Pandangan Ulama Terhadap Keabsahan Image Processing pada Astrofotografi untuk Rukyatul hilal
Image Processing pada astrofotografi untuk rukyatul hilal merupakan bentuk penerapan sains dan teknologi terhadap penetapan pelaksanaan ibadah. Menurut Baiquni, sains adalah himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar, melalui penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data pengukuran yang diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam. Sedangkan teknologi adalah himpunan pengetahuan manusia tentang proses-proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka kegiatan yang produktif ekonomis.[48] Beragam fenomena kebaruan semesta dan peristiwa selalu diiringi pula dengan runtutan teori yang menjelaskannya.[49] Berikut akan dipaparkan pandangan ulama terhadap keabsahan Image Processing pada astrofotografi untuk rukyatul hilal, di antaranya:
1.      Ulama Fiqh Klasik
a.       Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami
Ibnu Hajar al-Haitami lahir di Mahallah Abi al-Haitam, Mesir bagian Barat, Rajab 909 H, beliau wafat di Mekkah Rajab 973 H. Beliau adalah seorang ulama di bidang fikih mazhab syafi'i, ahli kalam dan tasawuf. Ibnu Hajar menguasai berbagai ilmu antara lain tafsir, hadis, ilmu kalam, fikih, ushul fiqh, ilmu waris, ilmu hisab, tasawuf, dan ilmu lain. Di antara karya-karyanya adalah al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, Syarh Mukhtashar Abi al-Hasan al-Bakri, Tuhfatul Muhtaj al Syarhil Minha, dan masih banyak karya lainnya.[50]
Dalam kitab Hamisy Hawasyii Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj, Ibnu Hajar menjelaskan bahwa rukyatul hilal dilakukan pada saat setelah ghurub, dan dilakukan tanpa menggunakan perantara (alat) seperti kaca (لا بواسطة نحو مرآة).[51]
Hal tersebut merupakan penjelasan dari pelaksanaan rukyatul hilal dalam menetapkan puasa Ramadan, dimana Ibnu Hajar juga menjelaskan bahwa:
يجب صوم رمضان با كمال شعبان ثلا ثين أو رؤية الهلال[52]
“Kewajiban puasa Ramadan dilakukan dengan menyempurnakan jumlah bulan Syakban 30 hari atau dengan rukyatul hilal”.
b.      Abdul Hamid asy-Syarwani
Abdul Hamid bin al-Husain al-Daghistani al-Syarwani al-Makki. Beliau menekuni berbagai ilmu agama di negerinya, Daghistan, kemudian beliau mengembara ke negara-negara Islam dalam rangka menuntut ilmu, Istanbul, lalu ke Mesir. Di kedua kota pusat keilmuan Islam pada masa tersebut, al-Syarwani menimba ilmu dari para ulama terkemuka di sana, antara lain Syaikh Mushthafa al-Wadini dan Syaikhul-Islam Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri. Karyanya yang paling terkenal adalah Hawasyi (catatan pinggir) terhadap Tuhfah al-Muhtaj Syarh al-Minhaj, karya Ibnu Hajar al-Haitami, dan dicetak di Mesir dalam 10 jilid.[53]
al-Syarwani menyatakan bahwa dalam rukyatul hilal lebih utama untuk dilakukan tidak dengan menggunakan alat, tetapi juga diperbolehkan menggunakan alat. Alat yang dimaksud tersebut adalah seperti air, ballur, sesuatu yang mendekatkan yang jauh, dan yang membesarkan yang kecil dalam pandangan.[54]
c.       Muhammad Bukhit al-Muti’i
Muhammad Bakhit al-Muthi'i  merupakan seorang Mutfi Mesir lahir pada tahun 1271 H / 1856 M., di daerah al-Muti’, keturunan Bakhit bin Husein. Pada usia empat tahun ayahnya memasukkan dia ke sekolah. Setelah hafal al-Qur'an sang ayah mengantarkannya ke al-Azhar. Pada tahun 1297 M, pemerintah menunjuk Muhammad Bakhit Al-Muti’i sebagai Ketua Pengadilan di Kabupaten Qalyubi. Satu tahun kemudian ia pindah sebagai hakim di Kabupaten Al-Minya. Di antara karya-karyanya adalah Jam Al-Jawami, Irsyad Ahli al-Millah ila Isbat al-Ahillah, al-Kalimat al-Hisan fi al Ahruf al-Sab’ah wa Jami’i al-Qur'an, al-Qaul al-Mufid fi al-Tawhid, dan lain-lain.[55]
al-Muti’i berpendapat bahwa (تقبل شهادة الرائ للهلال ولو رأي بالنظارة المعظمة)  dapat diterima persaksian orang yang melihat hilal walaupun ia melihat dengan teropong pembesar sepanjang hilal tersebut dapat dilihat oleh selain orang yang tajam sekali padangannya menurut kita, karena yang dilihat dengan perantaraan alat tersebut adalah hilal itu sendiri dan fungsinya hanya untuk membentuk penglihatan untuk melihat benda yang jauh atau kecil yang tidak mungkin dilihat tanpa alat tersebut.
Al-Muthi’i menambahkan oleh karena itu, tidak ada halangan untuk melihat hilal sekarang ini dari teropong Bulan Mesir dan lain-lainnya dengan alat pembesarnya. Adapun rukyat dengan perantaraan teropong pembesar, maka ia seperti rukyat dengan mata tanpa perbedaan sebagaimana diketahui hal itu pada penggunaan kacamata untuk membaca. [56]
2.      Ulama Fiqh Kontemporer
a.       Huzaemah T. Yanggo
Huzaemah Tahido Yanggo dilahirkan di Donggola, Sulawesi Tengah pada 30 Desember 1946.  Beliau merupakan Rektor Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) 2014-2018 dan Ketua Bidang Fatwa MUI Pusat. Beliau adalah wanita pertama dari Indonesia yang mendapatkan gelar Ph.D dalam ilmu fiqih perbandingan mahzab di Universitas al-Azhar. Beliau menjadi anggota Komisi Fatwa MUI Pusat sejak tahun 1987, menjadi anggota Dewan Syariah Nasional MUI sejak 1997, dan menjadi ketua MUI Pusat Bidang Pengajian dan Pengembangan Sosial sejak 2000. Karangannya yang dibukukan dan diterbitkan antara lain adalah, Pandangan Islam tentang Gender, Pengantar Perbandingan Mahzab, Fiqih Perempuan Kontemporer, Masail Fiqhiyah: Kajian Fiqih Kontemporer, dan lain-lain.[57]
Menurut Huzaemah penggunaan teknik astrofotografi untuk rukyatul hilal sebagai penentuan awal bulan Kamariah merupakan suatu perkara yang baik. Karena kemampuan teknik tersebut yang dapat mendeteksi hilal dengan output-nya berupa gambar. Dimana dengan mata telanjang hal tersebut tidak dapat dilakukan. Hal ini sangat berkaitan erat dengan perkembangan teknologi yang mengambil peran dalam perkara ibadah, sehingga ketika teknologi tersebut dapat mempermudah pelaksanaan menuju suatu ibadah maka itu dipandang baik.
Pada hakekatnya istihsan itu adalah berkaitan dengan penerapan atau pelaksanaan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma’, atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.[58] Dengan menggunakan dasar istihsan, kita dapat mengatasi masalah kontemporer seperti penggunaan astrofotografi untuk rukyatul hilal. Mengingat sejauh ini permasalahan mengenai penetapan awal bulan kamariah tidak kunjung menuai titik temu. Maka astrofotografi di sini merupakan salah satu metode yang memperjelas pelaksanaan ibadah. Peninjauan suatu perkara atas dasar “baik” tersebut sangat perlu dalam perkembangan suatu hukum yang mengikuti kemajuan zaman dan teknologi.
Kemudian untuk Image Processing atau pengolahan citra dari hasil astrofotografi tersebut, jika sifatnya sebagai proses lanjutan untuk memperjelas atau memastikan keberadaan hilal pada citra maka sah-sah saja untuk diterapkan. Selama dalam pemrosesan yang dilakukan padat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. [59]
b.      Al Yasa Abubakar
Al Yasa’ Abubakar lahir di Takengon, Aceh Tengah, tahun 1953. Beliau merupakan profesor di bidang fikih dan ushul fiqh UIN ar-Raniry Banda Aceh. Di luar kampus beliau pernah bertuga sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dan setelah itu Kepala Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh yang pertama. Beliau juga pernah diberi amanah menjadi Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah provinsi Aceh. Ketika aceh diberi izin untuk melaksanakan syari’at Islam, melalui UU No. 44 Tahun 1999, beliau ikut terlibat dalam penyusunan perencanaan, kebijakan, dan penulisan berbagai qanun untuk pelaksanaannya sampai sekarang. Di antara buku yang beliau tulis yang telah diterbitkan yaitu: Alam Pikiran Islam dan Perkembangannya, (terjemahan) 1986; Hidayatul Habib fit Targhib wat Tarhib, 2012; Penerapan Syari’at Islam di Aceh: Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa, 2013; Metode Istislahiah Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul Fiqh, 2016; dan masih banyak lagi karya lainnya.[60]
Al Yasa Abubakar memandang persoalan astrofotografi untuk rukyatul hilal terhadap kedudukan alat tersebut pada tiga hal: Pertama, jika ditinjau dalam perspektif hisab astrofotografi tersebut tidak diperlukan selain termasuk kedalam perkara mubazir, juga karena tanpa bantuan alat tersebut perkara penentuan awal bulan Kamariah sudah dianggap selesai dalam artian telah dapat ditentukan kapan bulan baru akan masuk. Kedua, jika ditinjau dalam perspektif rukyat murni juga hal tersebut tidak perlu dilakukan karena ketika melakukan pengamatan dengan mata telanjang hilal tidak terlihat dikarenakan tertutup awan atau mendung maka diistikmalkan tanpa harus bersusah  payah menggunakan teknologi. Ketiga jika ditinjau dari rukyat hilal yang didukung oleh alat bantu maka alat tersebut berguna dalam mempermudah pengamatan hilal.
Salah satu langkah penalaran istislahiah adalah menggunakan hasil dan capaian ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Hal ini perlu dipertimbangkan dan digunakan, karena biasanya apa yang dihasilkan dan dijelaskan oleh ilmu pengetahuan relatif telah terukur tersistematisasi bahkan terbukti kemanfaatannya atau kemudaratannya.[61] Maka untuk tingkat pengolahan citra atau Image Processing  dapat dilakukan sampai kepada tahapan yang masih diterima oleh akal. Dalam artian harus benar-benar ilmiah pengolahannya. Karena dalam multimedia apa saja dapat dilakukan, sehingga sangat memungkinkan adanya manipulasi. Untuk menghindari hal tersebut, maka penerapan prinsip-prinsip umum tentang pengolahan citra ilmiah perlu dilakukan dan divalidasi dengan bukti-bukti pendukung lain.[62] 
c.       Ahmad Rofiq
Ahmad Rofiq lahir di Kudus14 Juli 1959. Saat ini beliau merupakan Direktur Pasca Sarjana UIN Walisongo Semarang, sekaligus guru besar dalam Hukum Islam UIN Walisongo Semarang, dan juga sebagai Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI)  Provinsi Jawa Tengah. Selain itu beliau juga pernah menjabat sebagai Wakil Sekretaris (1996-1998), Sekretaris (1998-1999), dan Wakil Ketua (1999-2000) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah. Beliau juga pernah menjadi Rektor Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang (2008-2010). Di antara karya-karya beliau yaitu: Hukum Islam di Indonesia, 2006; Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, 2002; Fiqh Aktual, 2003; Fiqh Kontekstual, 2003: dan karya-karya lain.[63]
Menurut Ahmad Rofiq dalam rukyatul hilal, teknologi berfungsi untuk membantu pengamatan hilal dan manusia yang akan menentukan apakah hilal terlihat atau tidak berdasarkan hukum yang berlaku. Teknologi apa pun dalam rukyatul hilal harus senantiasa mempertimbangkan dua hal, yaitu kalibrasi dan validasi kebenaran teknologi tersebut, begitu halnya dengan teknik astrofotografi yang dilakukan oleh BMKG.
Ahmad Rofiq menambahkan bahwa rukyatul hilal merupakan  instrumen untuk menerapkan perintah melihat hilal berdasarkan dasar-dasar hadis rukyat. Pemahaman secara bahasa atau redaksi kata “تروالهلال” dalam hadis-hadis rukyat menunjukkan bahwa amaratul lafdzi dalam kata tersebut adalah rukyat dengan kasat mata, bukan dengan akal. Agar seseorang dapat melihat hilal tersebut, maka digunakanlah teropong atau teknologi lain untuk mengurangi halangan atau kesulitan. Posisi alat di sini adalah untuk membantu hingga kepada tingkat yang meyakinkan. Pada akhirnya, sepanjang Image Processing pada astrofotografi untuk rukyatul hilal yang dilakukan BMKG dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya maka dapat digunakan, karena posisinya untuk membantu.
Rekayasa dalam teknologi rukyat bisa saja terjadi, maka hal yang akan berlaku adalah حكم الحاكم إلزام يرفع الخلاف “Keputusan hakim adalah suatu yang harus ditaati sebagai pemutus perbedaan”, dalam hal ini peran hakim (dalam rukyatul hilal hakim yang dimaksud adalah Kementerian Agama RI) juga sangat dibutuhkan, yaitu sejauh mana hakim yakin terhadap alat tersebut. Hukum hakim tersebut dilakukan melalui beberapa proses, diantaranya: hisab (perhitungan), kriteria imkan ar-rukyat, dan proses sidang isbat. Ketika dilakukan peninjauan terdapat kesesuaian atau akurasi dengan tiga hal di atas, maka dapat dipergunakan (sah), jika tidak maka tidak dapat dipergunakan (tidak sah).[64]

3.      Ulama Sains dan Ulama Falak
a.       S. Farid Ruskanda
S. Farid Ruskanda merupakan salah satu tokoh penggas Teknologi Rukyat pada tahun 1994, saat itu beliau merupakan sebagai peneliti pusat penelitian Kalibrasi, Instrumentasi dan Mentrologi LIPI. Terdapat dua karya beliau yang masih sering dijadikan sebagai rujukan hingga saat ini adalah Rukyat dengan Teknologi dan 100 Masalah Hisab Rukyat.[65]
Menurut Farid Ruskanda Image Processing merupakan suatu teknologi yang digunakan untuk memproses citra yang terbentuk sehingga bertambah jelas, terang dan bersih, serta masih sesuai dengan bentuk aslinya.
Teknik ini tidak bisa mengarang-ngarang benda atau citra (hilal) yang tidak ada menjadi ada. Bagaimanapun canggihnya teknologi pengolahan citra, jika citranya tidak hadir, dan tidak wujud, maka sesuatu itu tidak akan ada. Jika citranya hadir, walaupun tipis dan suram, selalu bisa disempurnakan. Teknik ini dapat dibandingkan dengan aktivitas melihat melali lubang di dinding, menembus kaca jendela, lalu menembus asap di pekarangan. Agar pandangan kita jelas, kita dapat membersihkan lubang pengintip, membeningkan kaca jendela yang suram, dan menghalau asap yang menghalangi. Demikian pula prinsip kerja teknologi pengolahan citra.
Farid Ruskanda menegaskan, apapun upaya yang dilakukan, jika bendanya tidak ada, tidak akan terlihat apa-apa. Jadi teknologi pengolahan citra tidak bisa mengadakan (atau tepatnya “mengada-mengada”) benda yang tidak ada, bagaimanapun suasana kejiwaan orang yang menggunakannya. Teknologi pengolahan citra tidak bisa menghadirkan benda yang gaib.[66]
b.      Thomas Djamaluddin
Thomas Djamaluddin lahir di Purwokerto, 23 Januari 1962. Saat ini beliau bekerja di LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) sebagai Kepala LAPAN  dan  Peneliti Utama IVe (Profesor Riset) Astronomi  dan Astrofisika. Sebelumnya pernah menjadi Kepala Unit Komputer Induk LAPAN Bandung (Eselon IV), Kepala Bidang Matahari dan Antariksa (Eselon III), Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim (Eselon II) LAPAN, dan Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan (Eselon I).  Saat ini juga mengajar dan menjadi pembimbing di Program Magister dan Doktor Ilmu Falak di UIN Walisongo Semarang.
Terkait dengan kegiatan penelitian, saat ini Thomas Djamaluddin menjadi anggota Himpunan Astronomi Indonesia (HAI), International Astronomical Union (IAU), dan  National Committee di Committee on Space Research (COSPAR), serta anggota Badan Hisab Rukyat (BHR) Kementerian Agama RI dan BHR Daerah Provinsi Jawa Barat. Lebih dari 50 Penelitian ilmiah, lebih dari 100 tulisan populer, dan 5 buku tentang astronomi dan keislaman telah beliau publikasikan.[67]
Menurut Thomas Astrofotografi dan Image Processing adalah alat bantu untuk menambah keyakinan. Hal ini sama dengan penggunaan jam untuk meyakinkan masuknya waktu shalat atau penggunaan kompas untuk meyakinkan arah kiblat. Penggunaan Image Processing pada astrofotografi untuk rukyatul hilal merupakan upaya saintifik untuk memperjelas citra dengan menghilangkan efek gangguan dan meningkatkan kontrasnya. Image processing sangat disarankan digunakan pada rukyatul hilal utuk meyakinkan bahwa objek yang direkam benar-benar hilal, bukan objek lain.
Tahapan penggunaan metode-metode Image Processing sangat bergantung pada tingkat kesulitannya. Hilal yang cukup tinggi dan umurnya relatif lebih tua adalah hilal yang relatif paling mudah dirukyat, jadi cukup dilakukan pengolahn citra dengan ditingkatkan kontrasnya saja. Semakin muda umur hilal dan ketinggiannya rendah, hilal akan semakin redup, maka perlu dilakukan tahapan-tahapan selanjutnya dalam Image Processing. Menurut Thomas pada citra yang sangat lemah  perlu ditumpuk seperti tahapan ketiga dan keempat dalam metode Image Processing BMKG, atau bisa juga dengan menambah waktu eksposur waktu pengambilan citra.
Dalam hal penerapan Image Processing pada astrofotografi untuk rukyatul hilal harus dipahami bahwa rukyatul hilal adalah cara meyakinkan bahwa bulan telah berganti dengan bukti terlihatnya hilal. Sebagai bukti, hilal bisa diperoleh dengan pengamatan langsung tanpa alat, pengamatan langsung dengan alat (seperti kacamara, binokuler, teleskop), perekaman dengan kamera tanpa pengolahan citra, atau perekaman dengan pengolahan citra (Image Processing). Pengamatan langsung diyakinkan lagi dengan sumpah. Tetapi dengan bukti perekaman mudah ditunjukkan citranya, hakim bisa segera percaya utuk melakukan itsbat.[68]
Secara umum tujuan dari Rukyat bil fi'li adalah mencari bukti hilal, yang juga lebih meyakinkan dengan alat bantu astrofotigrafi berikut Image Processing. Jadi Image Processing merupakan bagian dari rukyatul hilal yg mempunyai kedudukan yang sama degan rukyat bil fi’li, bahkan buktinya lebih kuat. Adapun perbedaannya hanya terletak pada bukti yang diperoleh. Rukyat bil fi'li buktinya disimpan di otak pengamat dan dinyatakan secara lisan dengan sumpah di hadapan hakim. Image Processing buktinya bisa ditunjukan di layar atau dicetak utuk meyakinkan hakim yang meng-itsbat. Kedudukan kesaksian dari kedua hal ini adalah sama karena bukti citra sangat kuat dan tak terbantahkan.
Di sini lain, Image Processing bisa saja jadi terjadi kesalahan dalam interpretasi. Misalnya ada goresan cahaya yang diduga hilal, namun sebenarnya bukanlah hilal sesungguhnya. Namun, secara astronomi kesalahan tersebut bisa dihindari dg membandingkannya dengan model bentuk hilal, seperti ditunjukkan aplikasi astronomi (a.l. Stellarium).
Data Image Processing dapat dijadikan sebagai data dalam pengembangan hilal, bahkan lebih utama daripada rukyat bil fi'li yang buktinya hanya dengan sumpah, sehingga akan sulit mengacu pada data sumpah dalam pengembangan penelitian tentang hilal. Data rukyat dengan Image Processing dapat menjadi bukti tak terbantahkan yang dapat disimpan dalam waktu lama utuk penelitian berikutnya.[69]
c.       Muhammad Irfan Hakim[70]
Menurut Irfan Hakim ruang lingkup rukyatul hilal meniscayakan astrofotografi dan pekerjaan lanjutannya, misalnya adalah Image Processing. Sebab, rukyatul hilal  dalam perspektif sains astronomi adalah suatu contoh saja dari praktek observasi benda-benda langit. Demikian juga Image Processing. Sebelumnya, harus dibedakan terlebih dahulu antara rukyatul hilal (dan Image  Processing) dengan metode penetapan penanggalan hijriyah. Hisab dan  rukyatul hilal hakikatnya dapat dipandang sebagai pekerjaan saintifik. Sedangkan penetapan awal bulan baru hijriyah tidak semata dan belum  tentu menggunakan kedua pekerjaan tersebut sebagai basis keputusan. Perijinan penggunaan (boleh atau tidak boleh) Image Processing adalah masalah hukum/aturan yang menjadi ciri khas sistem penanggalan, bukan  masalah saintifik.
Jika hukum memperbolehkan penggunaan Image Processing, maka Image Processing untuk benda langit memang suatu pekerjaan rutinitas biasa bagi astronom  observasional, sehingga semua metode Image Processing tersebut secara  teoritis dapat saja dilakukan. Dalam kondisi kebolehan hukum seperti  itu, tidak perlu ada pembatasan hingga metode mana yang  dapat dilakukan kecuali tujuan-tujuan saintifik itu sendiri yang  membatasinya.
Hilal hasil Image Processing dikatakan sebagai rukyat atau tidak merupakan perkara yang dispute di ranah hukum. Kebebasan saintifik an sich tidak terhalangi untuk membuktikan hal itu benar atau tidak benar (rukyatul hilal terbukti atau tidak terbukti) dengan menggunakan piranti yang ada: mata, teropong, kamera fotografi dan Image Processing. Namun, untuk kepentingan hukum seperti ini, sains dapat tunduk pada  aturan hukum (baik diputuskan sejalan atau tidak sejalan dengan hasil temuan saintifik).[71]
d.      Slamet Hambali
Slamet Hambali lahir pada hari Kamis, 5 Agustus 1954 M., di dukuh Bajangan Desa Sambirejo Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang Jawa Tengah. Beliau merupakan salah satu ahli falak yang telah lama berkiprah dalam mengambagkan khzanah keilmuan falak. Hal tersebut dapat dilihat dari karya-karya beliau, di antaranya: Almanak Sepanjang (2011), Ilmu Falak I (2011), Ilmu Falak Arah Kiblat Setiap Saat (2013), Pengantar Ilmu Falak Menyimak Proses Pemebentukan Alam Semesta (2012), dan lain-lain. Selain itu beliau juga adalah penemu Istiwaaini (sebuah alat yang didesign untuk menentukan arah kiblat, arah true north dansebagainya). Saat ini beliau merupakan bagian dari beberapa organisasi sosial keagamaan, diantaranya: Ketua Lajnah Falakiyah PWNU Jawa Tengah, Wakil Ketua Lajnah Falakiyah PBNU, Anggota Musyawarah Kerja & Tim Hisab Rukyat RI, dan Anggota Komisi Fatwa MUI Jawa Tengah.[72]
Menurut Slamet Hambali penerapan Image Processing dalam citra hilal, pada hakikatnya hilalnya harus terlihat terlebih dahulu (embrio hilal terlihat itu harus ada), meski pun tidak jelas atau samar-samar. Pengolahan diperbolehkan jika sebatas memperjelas citra hilal tersebut. Tetapi jika hilal tidak ada sama sekali kemudian diproses menjadi ada maka hal itu tidak dapat diterima. Karena dikhawatirkan hal tersebut merupakan rekayasa. Dalam hal ini akan sangat lebih baik untuk menghindari mudharat.
Hilal yang diproses untuk memperjelas citra hilal tersebut dapat diterima, sehingga Image Processing juga dapat dikatakan sebagai rukyat bil fi’li. Rukyat dengan perbuatan yang nyata tidak sekedar ilmu pengetahuan tetapi dengan mengamati langsung, karena pada prinsipnya pengolahan hanya sebatas memperjelas hilal bukan mengadakan hilal. Ada pun rekaya adalah mengolah sesuatu menjadi sesuatu atau mengolah yang tidak ada menjadi ada. Sangat sulit untuk memastikan apakah hilal yang diproses itu direkayasa atau tidak, sehingga perlu pembuktian akan proses tersebut. 
Foto pada prinsipnya adalah asli, jika ada kasus hilal terlihat hanya pada hasil citra dasar astrofotografi sedangkan ketika melihat melalui eyepiece pada teleskop hilal tidak terlihat maka hal tersebut dapat diterima meskipun dalam bentuk foto, bahkan menurut Slamet Hambali hal ini bukanlah rekayasa, nilai foto tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan Image Processing.
Dalam penggunaan Image Processing sangat dibutuhkan kejujuran dari pengamat. Oleh karena itu setiap pengamatan, baik foto dasar atau foto dengan pengolahan citra (memperjelas) harus tetap diambil sumpah. Di sisi lain setiap pengamatan tersebut juga harus sesuai dengan kriteria Imkan al-Rukyat. Pada prinsipnya yang menentukan tetaplah keputusan sidang istbat, setiap proses pengamatan dengan beragam metode hanya sebagai pendukung. Dalam sidang itsbat jika hasil dari laporan-laporan ini memunculkan perbedaan pandangan, pada akhirnya juga akan diambil footing antara yang percaya dan menolak.[73]

F.   Analisis Pandangan Ulama Terhadap Keabsahan Image Processing pada Astrofotografi untuk Rukyatul hilal
Para ulama cenderung berbeda terhadap penggunaan Image Processing pada astrofotografi untuk Rukyatul Hilal. Penyebab terjadinya perbedaan tersebut adalah historisitas keberadaan ulama tersebut dengan teknologi yang berkembang serta kepakaran ilmu yang dimiliki oleh ulama tersebut. Jika melihat beragam pandangan ulama di atas, maka dapat dikategorikan menjadi tiga pandangan terhadap penggunaan Image Processing, yaitu:
1.      Ulama yang tidak memperbolehkan penggunaan Image Processing
Secara umum, tidak diperbolehkannya penggunaan Image Processing oleh ulama fiqh klasik (pertengahan). Di antaranya: Ibnu Hajar, al-Syarwani, dan al-Muthi’i dengan alasan yang beragam pula. 
Ibnu Hajar berpendapat bahwa dalam rukyatul hilal tidak diperbolehkan menggunakan alat bantu apapun.[74] Jadi rukyatul hilal yang dimaksud oleh Ibnu Hajar adalah rukyat dengan menggunakan mata telanjang. Pendapat ini merupakan sebuah kehati-hatian, Ibnu Hajar mengemukakan pendapatnya dengan mengumpamakan melihat hilal di kaca karena ditakutkan yang dilihat adalah bukan hilal itu sendiri.
Jika berlandasan pada pendapat Ibnu Hajar, maka astrofotografi saja tidak sah untuk digunakan dalam rukyatul hilal. Itu artinya secara otomatis juga penerapan Image Processing pada citra hilal tidak diperkenankan.
al-Syarwani dan al-Muthi’i memperbolehkan penggunaan alat bantu dalam rukyatul hilal. Alat bantu yang dimaksud fungsinya hanya sebatas perantara untuk mendekatkan sesuatu yang jauh atau memperbesar sesuatu yang kecil, dalam hal ini fungsi mata masih sebagai penilai rukyat itu sendiri.[75]
al-Muthi’i lebih jauh menjelaskan bahwa penggunaan teropong atau alat bantu diperbolehkan dalam rukyatul hilal selama memenuhi kriteria sebagai berikut: alat berfungsi hanya untuk membantu melihat benda yang jauh atau kecil yang tidak bisa terlihat oleh mata, adanya persamaan fungsi antara alat dengan mata secara alamiah, dan tidak diperkenankan rukyat dengan cara pemantulan seperti di air atau dari balik kaca.[76]
al-Syarwani dan al-Muthi’i memang memperbolehkan penggunaan alat bantu dalam rukyatul hilal, namun perlu ditekankan bahwa alat bantu yang dimaksud di sini terbatas pada pada membatu penglihatan (memperdekat benda yang jauh dan memperbesar benda yang kecil). Selain itu, mata masih digunakan sebagai penilai akan terlihatnya hilal.
Analogi yang akan muncul adalah secara umum dapat dikatakan astrofotografi tersebut sebagai alat yang fungsinya masih sama dengan apa yang dimaksud oleh al-Syarwani dan al-Muthi’i. Tepatnya ketika hilal terlihat pada proses dasar astrofotografi dan terlihat pada eyepiece (lubang pengintai) oleh mata. Proses kebolehannya akan berhenti pada kasus tersebut. Tidak pada kasus lain, misalnya hanya terlihat pada citra astrofotografi saja atau setelah pengolahancitra, hal tersebut dinilai telah menghilangkan fungsi mata menurut dua pendapat ulama ini.  
2.      Ulama yang memperbolehkan penggunaan Image Processing (Sebatas Memperjelas)
Secara umum, menurut ulama fiqh kontemporer Image Processing dapat diterapkan pada citra hilal namun sebatas memperjelas. Perlu ditekankan di sini bahwa maksud memperjelas ulama fiqh kontemporer tidak memberikan keterangan terperinci. Menurut penulis hal tersebut wajar terjadi karena secara keilmuan Image Processing merupakan suatu pengetahuan yang sedikit asing, sehingga dalam menetapkan kebolehannya menggunakan metode istimbat hukum istihsan (dikemukakan oleh Huzaemah)[77] metode istimbat hukum mashlahah mursalah (dikemukakan oleh Alyasaa Abubakar).[78] Penggunaan kedua metode tersebut pada hakikatnya memandang fungsi secara umum dari penggunaan Image Processing ini yaitu sebagai suatu kebaikan dan maslahat dalam menentukan waktu ibadah, ditengah kesulitan dalam menciptakan persamaan dalam memulai ibadah khususnya puasa dan hari raya. Dalam hal ini menurut penulis perlu adanya pembentukan batas “memperjelas” antara ulama sains dan ulama hisab rukyat agar tercipta kolerasi yang seimbang.
Secara tegas Huzaemah dan Alyasaa Abubakar menegaskan bahwa pengolahan citra tersebut harus benar-benar ilmiah dan perlu dihindari manipulasi dan rekayasa data. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Ma’ruf Amin pada prinsipnya syari’ah tidak menolak keikutsertaan iptek dalam proses penentuan awal bulan Kamariah, selama tidak bertentangan dengan syari’ah atau mengabaikan petunjuk yang telah diberikan syari’ah, namun syari’ah juga tidak menuntut hal-hal yang memberatkan umat.[79]  Selain itu, menurut Ahmad Rofiq, perlu dilakukan kalibrasi dan validasi terkait hasil dari Image Processing tersebut. Untuk mengetahui bagaimanakah keakuratan hasil pengolahan tersebut terhadap hasil hisab dan Imkan al-Rukyat.[80]
Sedangkan menurut ulama falak, Slamet Hambali diperbolehkannya penggunaan Image Processing juga sebatas memperjelas citra hilal. Lebih detailnya diberikan suatu penjelasan terperinci terkait yang dimaksud dengan memperjelas tersebut. Memperjelas dalam artian sebelum dilakukan pemerosesan citra embrio hilal terlihat harus sudah ada, sehingga proses tersebut hanya membantu untuk membuat lebih jelas citra hilal.[81]
3.      Ulama yang memperbolehkan penggunaan Image Processing secara keseluruhan
Pendapat ini dikemukan oleh para ulama sains, di antaranya: S. Farid Ruskanda, T. Djamaluddin, dan Muhammad Irfan Hakim. Mereka berpendapat bahwa Image Processing merupakan proses memperjelas citra hilal untuk menambah keyakinan bahwa bulan baru telah muncul, meskipun pada citra dasarnya hilal belum terlihat. 
T. Djamaluddin menjelaskan tingkat pengolahannya sangat tergantung pada ketinggian hilal itu sendiri. Jika ketinggian hilal tinggi, hilal akan terlihat terang, maka peningkatan kontras saja sudah cukup untuk memperjelas citra hilal. Sebaliknya, jika ketinggian hilal rendah, hilal akan terlihat redup, maka peningkatan kontras saja tidak akan membantu. Oleh sebab itu dibutuhkan penumpukan citra untuk memperkuat ketampakan hilal.[82] Menurut Muhammad Irfan Hakim jika hukum memperbolehkan penggunaan Image Processing, maka Image Processing untuk benda langit memang suatu pekerjaan rutinitas biasa bagi astronom  observasional, sehingga semua metode Image Processing tersebut secara  teoritis dapat saja dilakukan. Dalam kondisi kebolehan hukum seperti  itu, tidak perlu ada pembatasan hingga metode mana yang  dapat dilakukan kecuali tujuan-tujuan saintifik itu sendiri yang  membatasinya.[83]
S. Farid Ruskanda menegaskan bahwa sebagaimanapun canggihnya mesin pengolahan citra, maka citra hilal tidak akan hadir. Sebaliknya jika citra hilal itu ada meskipun sangat kecil dan buram, citra tersebut masih bisa untuk diperbaiki. Itu artinya, Image Processing yang diterapkan dengan prosedur yang benar tidak bisa merekayasa atau memanipulasi citra hilal, dari tidak ada menjadi ada.[84]

Menurut penulis, perbedaan ini muncul karena para ulama, baik ulama fiqh, sains, atau falak berbeda dalam menafsirkan proses Image Processing. Kita harus mengakui bahwa teknologi akan terus menerus berkembang. Menyikapi perkembangan teknologi tersebut sudah semestinya hukum Islam juga harus sigap dan tangkap. Tidak mungkin kita tetap berpegang pada ijtihad lama yang sudah tidak relevan untuk diterapkan. Harus kita akui penggunaan teknologi digital dalam pengamatan hilal seperti astrofotografi dan Image Processing memberikan banyak manfaat dalam pengamatan hilal. Contoh kecil hasil Image Processing menjadi bukti yang kuat yang dapat ditinjau kembali dalam jangka waktu yang panjang.
Jika kita menilik sejarah penggunaan alat bantu dalam rukyatul hilal, pernah pada masanya penggunaan alat bantu binokuler atau teleskop juga tidak diperbolehkan. Saat itu semua sepakat bahwa rukyatul hilal adalah melihat hilal dengan mata telanjang atau alat bantu. Seiring berjalannya waktu karena faktor yang mempersulit pengamatan dengan mata telanjang mulai bermunculan, seperti faktor cuaca dan polusi serta sudah memasyarakatnya tentang kegunaan binokuler dan teleskop dikalangan perukyat alat tersebutpun mulai diterima sebagai penunjang pengamatan hilal.
Dalam kaitannya dengan Image Processing, menurut ulama falak ketika hilal tidak terlihat pada citra awal kemudian dilakukan pengolahan sehingga hilal terlihat merupakan proses membuat hilal, sehingga pada kondisi tersebut Image Processing tidak dapat diterima. Sejatinya pendapat ini merupakan kehati-hatian, karena dikhawatirkan hal tersebut bukanlah hilal sebenarnya, sama halnya kekhawatiran ulama fiqh sehingga menekankan untuk menghindari rekasa dan manipulasi data. Sedangkan menurut ulama sains citra hilal tidak akan muncul jika memang hilal tidak terdapat pada citra tersebut, meskipun pada citra dasarnya tidak terdapat citra hilal, proses tersebut adalah upaya saintifik dalam memperjelas citra hilal yang mengalami gangguan.
Sebagai jalan tengah, menurut penulis setiap pemerosesan citra dengan Image Processing memang diperlukan keprofesonalitasan. Artinya untuk menghilangkan keragu-raguan dan menambah keyakinan terhadap hasil citra yang diproses tersebut selain dilakukan sumpah juga perlu untuk membuktikan langkah demi langkah pengolahan yang dilakukan, meliputi: citra awalnya seperti apa, langkah pemerosesan yang ditempuh apa saja, hingga citra akhirnya. Hal tersebut pada akhirnya akan menambah keyakinan dan kepercayaan terhadap keilmiahan Image Processing.    
  
G.    Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut:
Ulama berbeda pendapat terhadap penggunaan Image Processing pada astrofotografi di BMKG untuk rukyatul hilal. Terdiri dari tiga pandangan, yaitu: Pertama, ulama yang sama sekali tidak memperbolehkan penggunaan Image Processing karena penggunaan alat terbatas dalam membantu penglihatan dan mata masih sebagai penilai. Kedua, ulama yang memperbolehkan penggunaan Image Processing namun hanya sebatas memperjelas citra hilal, menurut ulama ini embrio hilal harus sudah terlihat pada citra awal meskipun tidak jelas atau samar-samar. Ketiga, ulama yang memperbolehkan penggunaan Image Processing secara keseluruhan, karena langkah tersebut adalah proses ilmiah untuk memastikan keberadaan hilal, meskipun pada citra dasarnya hilal tidak terlihat. Harus diakui bahwa hasil Image Processing memiliki banyak manfaat jangka panjang terkait perkembangan penelitian hilal.










Daftar Pustaka

A, Joko Satria, dkk. 2013. “Pensabitan Hilal Menerusi Teknik Pengimejan”, dalam Dimensi Penyelidikan Asytonomi Islam. Kuala Lumpur: Universiti Malaya.
Abubaka, Alyasaa. 2016. Metode Istislahiah; Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul Fiqh. Jakarta: Prenadamedia Group
Amin, Ma’ruf. “Rukyah untuk Penentuan Awal dan Akhir Ramadan Menurut Pandangan Syari’ah dan Sorotan Iptek”, dalam Selayang Pandang Hisab Rukyat. ttt:tp, 2004.
Baharun, Hasan, dkk. 2011. Metodologi Studi Islam; Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama. Jogjakarta: Ar-ruzz Media.
Bukhari, Muhammad Ibn Ismail. 1992. Shahih al-Bukhari. Beirut : Dar al-Kutub al- ’Ilmiyah.
Direktorat Jedral Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI. 2010. Almanak Hisab Rukyat, ttp: tp.
Djamaluddin, T. 2006. Menjelajah Keluasan Langit Menembus Kedalaman al-Qur’an. ttt: Khazanah Intelektual.
Fakhri, Jamal. “Sains dan Teknologi dalam al-Qur’an dan Implikasinya dalam Pembelajaran”, Jurnal Ta’dib, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010.
Felix, John, “Penggunaan Kontras Warna dalam Fotografi”, Jurnal Humaniora, Vol.1, No.2, Oktober 2010.
Ghofur, Abdul dan Sulistiyono, “Peran Ulama dalam Legislasi Modern Hukum Islam”, Jurnal Asy-Syir’ah, vol. 49, no. 1, Desember 2014.
Haitami, Ahmad Ibnu Hajar. tt. Hamisy Hawasyii Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj. Mesir: Mushthafa Muhammad.
Hajar, Ibnu. 1379 H. Fathul Baari  Syarah Shahih Bukhari. Beirut: Darul Ma’rifah.
Hambali, Slamet  Laporan Penelitian Individual “Menguji Kakuratan Hasil Pengukuran Arah Kiblat Menggunakan Istiwaaini Karya Slamet Hambali”.
Herdiwijaya, Dhani, “Prosedur Sederhana Pengolahan Citra untuk Pengamatan Hilal”, (Makalah Seminar Nasional Hilal 2009, Lembang: Observatorium Bosscha, 19 Desember 2009).
Hermawati, Fajar Astuti. 2013. Pengolahan Citra Digital; Konsep dan Teori, Yogyakarta: Penerbit Andi.
Hidayatullah, Priyanto. 2005. Pengolahan Citra Digital; Teori dan Apklikasi Nyata. Bandung: Informatika Bandung.
Horikoshi, Hiroko. 1987. Kyai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M.
http://arhamsukses.blogspot.co.id
https://id.wikipedia.org
https://tdjamaluddin.wordpress.com
Interview dengan Alyasaa Abubakar, pada 1 Maret 2018 pukul 18.14 WIB., via telepon dengan melampirkan data ke rumah informan di Dasussalam, Aceh.
Interview dengan dengan Ahmad Rofiq, pada 7 Maret 2018 pukul 08.00 WIB di Pasca Sarjana UIN Walisongo, Semarang.
Interview dengan dengan Muhammad Irfan Hakim, pada 07 Mei 2018, pukul 16. 29 WIB. Via WhatsApp.
Interview dengan dengan Slamet Hambali pada hari Rabu 09 Mei 2018, pukul 12.30 WIB., di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang.
Interview dengan dengan Suaidi Ahadi pada hari Sabtu 30 September 2017. Pada pukul 09.00.
Interview dengan dengan Thomas Djamaluddin pada 07 Mei 2018, pukul 08.06 WIB, via WhatsApp.
Interview dengan Huzaemah T. Yanggo, pada 22 februari 2018 pukul 11.45 WIB di Insitut Ilmu Qur’an Ciputat, Jakarta.
Interview dengan Iswanudin pada tanggal 7 Februari 2018, pukul 11.00 WIB. Di BMKG Pusat, Jakarta Pusat.
Interview dengan Rukhman Nugraha pada tanggal 7 Februari 2018, pukul 09.00 WIB. Di BMKG Pusat, Jakarta Pusat.
Izzuddin, Ahmad. 2007. Fiqh Hisab Rukyah; Menyatukan NU & Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kadir, Abdul. 2013. Dasar Pengolahan Citra dengan Dalphi. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Kahmad, Dadang, 2006. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Kiddie, Nikkie R. 1978. Scholar, Saint and Sufis: Muslim Religious Institution in Middle East since 1500. Los Angeles: University of California Press.
Lapidus, Ira M. tt. Muslim Cities in the Later Middle Eastern Affairs. Cambridge: Havard University Press.
Legault, Thierry. 2014. Pengantar Astrophotography. Rocky Nook: Canada.
Materi yang disampaikan oleh Rukman Nugraha, dalam Online Group Discussion – Pusdiklat BMKG Rabu, 17 Mei 2017.
Muhtaron. 2005. Reproduksi Ulama di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Musfiqon & Nurdyansyah. 2015. Pendekatan Pembelajaran Saintifik. Sidoarjo: Nizamia Learning Center.
Muti’i, Muhammad Bukhit. 1329 H. Irsyadu Ahli al-Millati Ila Itsbaati al-Ahillah. Mesir; Kurdistan al-Ilmiyah.
Nasution, Khairudin. 2009. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Rosda.
Nasution. Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press.
Prasetyo, Eko. 2011. Pengolahan Citra Digital dan Aplikasinya Menggunakan Matlab. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Qulub, Siti Tatmainaul. 2017. Ilmu Falak; dari Sejarah Ke Teori dan Aplikasi. Depok: Rajawali Pers.
Reeves, Robert. 2005. Introduction to Digital Astrophotography; Imaging the Universe with a Digital Camera. New York: Congress Cataloging.
Rofiq, Ahmad. 2012. Fiqh Mawaris. Depok: PT Rajagrafindo Persada.
Ruskanda, S. Farid, 1996. 100 Masalah Hisab & Rukyat; Telaah Syaria, Sains dan Teknologi. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
SA, Romli. 2014. Studi Perbandingan Ushul Fiqh. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Sari, Ike Mardiya, dkk, “Implementasi Circular Hough Transform untuk Deteksi Kemunculan Bulan Sabit”,  Jurnal Teknik Pomits, vol. 1, no. 1, 2012.
Shihab, Quraish. 1993. Membumikan Al-Qur an. Bandung: Penerbit Mizan.
Syarwani, Abdul Hamid. tt. Hawasyii Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj. Mesir: Mushthafa Muhammad.
Yunus, Mahmud. 2007. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyah.




Riwayat Hidup Penulis

Nama                                                   : Riza Afrian Mustaqim
Tempat Tanggal Lahir             : Bener Meriah, 14 Oktober 1993.
Pendidikan Formal                  : SDN Blok C (2000-2006)
                                                              MTs.S Nurul Islam (2007-2009)
                                                              MAS Ruhul Islam (2009-2012)
                                                              UIN Walisongo Semarang (2012-2016)
Pekerjaan                                  : Mahasiswa Pasca Sarjana (S2) Ilmu Falak UIN Walisongo Semarang
No. HP (WA)                           : 085372035382



[1] Lihat Thierry Legault, pengantar Astrophotography , (Rocky Nook: Canada, 2014), PDF e-book, ix.
[2] Siti Tatmainaul Qulub, Ilmu Falak; dari Sejarah Ke Teori dan Aplikasi, (Depok: Rajawali Pers, 2017), 287-289.
[3] Jumlah teramati sebanyak 137 data hilal dari pengamatan rutin pada setiap bulannya sejak Oktober 2008 hingga Mei 2017.
[4] Interview dengan Suaidi Ahadi pada hari Sabtu 30 September 2017. Pada pukul 09.00. Lihat Juga Materi yang disampaikan oleh Rukman Nugraha, dalam Online Group Discussion – Pusdiklat BMKG Rabu, 17 Mei 2017, PPT.
[5] Priyanto Hidayatullah, Pengolahan Citra Digital; Teori dan Apklikasi Nyata, (Bandung: Informatika Bandung, 2005), 3.
[6] Interview dengan Suaidi Ahadi pada hari Sabtu 21 Oktober 2017. Pada pukul 09.00.
[7] Interview dengan Rukhman Nugraha pada tanggal 7 Februari 2018, pukul 09.00 WIB. Di BMKG Pusat, Jakarta Pusat.
[8] Image Processing merupakan istilah lain dari pengolahan gambar.
[9] Citra (image) merupakan istilah lain untuk gambar sebagai salah satu komponen multimedia memegang peranan sangat penting sebagai bentuk informasi visual. Lihat Priyanto Hidayatullah, Pengolahan Citra Digital ..., 1.
[10] Lihat Priyanto Hidayatullah, Pengolahan ..., 3.
[11] Lihat Direktorat Jedral Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI, (Almanak Hisab Rukyat, ttp: tp, 2010), 215.
[12] T. Djamaluddin, Menjelajah Keluasan Langit Menembus Kedalaman al-Qur’an, (ttt: Khazanah Intelektual, 2006), 94.
[13] Ballur adalah benda yang berwarna putih seperti kaca.
[14] Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah; Menyatukan NU & Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), 6-7.
[15] Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut : Dar al-Kutub al- ’Ilmiyah, 1992), jil. I, 588.
[16] Ibnu Hajar, Fathul Baari  Syarah Shahih Bukhari, (Beirut: Darul Ma’rifah, 1379 H), jil. IV, 121.
[17] Ike Mardiya Sari, dkk, “Implementasi Circular Hough Transform untuk Deteksi Kemunculan Bulan Sabit”,  Jurnal Teknik Pomits, vol. 1, no. 1, 2012, 1.
[18] Dhani Herdiwijaya, “Prosedur Sederhana Pengolahan Citra untuk Pengamatan Hilal”, (Makalah Seminar Nasional Hilal 2009, Lembang: Observatorium Bosscha, 19 Desember 2009), 109.
[19] Pendekatan saintifik merupakan proses pencarian pengetahuan, pemahaman, serta skill yang harus dilakukan secara sistematis sesuai kaidah dan langkah ilmiah. Hal ini didasarkan pada hakikat manusia yang selalu ingin tahu dengan cara melakukan pembuktian dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Lihat Musfiqon & Nurdyansyah, Pendekatan Pembelajaran Saintifik, (Sidoarjo: Nizamia Learning Center, 2015), 48.
[20] Pendekatan normatif adalah studi Islam yang memandang masalah dari sudut legal formal atau normatifnya. Yang dimaksud dengan legal formal adalah hubungannya dengan halal-haram, boleh atau tidak, dan sejenisnya. Sementara normatifnya adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam nash. Lihat Khairudin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Rosda, 2009), 31.
[21] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyah, 2007), 278.
[22] Muhtaron, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 12.
[23] Abdul Ghofur dan Sulistiyono, “Peran Ulama dalam Legislasi Modern Hukum Islam”, Jurnal Asy-Syir’ah, vol. 49, no. 1, Desember 2014, 291.
[24] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), 138.
[25] Nikkie R Kiddie, Scholar, Saint and Sufis: Muslim Religious Institution in Middle East since 1500, (Los Angeles: University of California Press, 1978), 2
[26] Ira M. Lapidus, Muslim Cities in the Later Middle Eastern Affairs, (Cambridge: Havard University Press, tt), 108.
[27] Quraish Shihab , Membumikan Al-Qur an. (Bandung: Penerbit Mizan, 1993), 375.
[28] Hiroko Horikoshi , Kyai dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1987), 148-188.
[29]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), 56.
[30] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari ..., 79.
[31] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari ..., 88.

[32] Abdul Kadir, Dasar Pengolahan Citra dengan Dalphi, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2013), 2.
[33] Abdul Kadir, Dasar Pengolahan Citra ..., 3-4.
[34] Eko Prasetyo, Pengolahan Citra Digital dan Aplikasinya Menggunakan Matlab, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2011), 9.
[35] Eko Prasetyo, Pengolahan Citra Digital ..., 1.
[36] Fajar Astuti Hermawati, Pengolahan Citra Digital; Konsep dan Teori, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2013), 4.
[37] Priyanto Hidayatullah, Pengolahan Citra Digital ..., 5.
[38] Noise merupakan sebuah istilah yang digunakan oleh analis data deret waktu untuk menggambarkan fluktuasi acak yang mungkin mengaburkan sinyal sebenarnya. Urutan kesalahan, dalam pengamatan berturut-turut, yang terdiri dari nilai acak bebas dari distribusi normal dengan artian nol disebut white noise. Lihat http://www.oxfordreference.com, kata kunci “noise”. Secara singkat Noise disebut sebagai ganguan pada citra. Diakses pada tanggal 14 februari 2018, pukul 08.45 WIB.
[39] Robert Reeves, Introduction to Digital Astrophotography; Imaging the Universe with a Digital Camera, (New York: Congress Cataloging, 2005), PDF e-book, 353.
[40] Robert Reeves, Introduction to Digital ..., 353.
[41] Robert Reeves, Introduction to Digital ..., 353-354.
[42] Interview dengan Iswanudin pada tanggal 7 Februari 2018, pukul 11.00 WIB. Di BMKG Pusat, Jakarta Pusat.
[43] Interview dengan Rukhman Nugraha pada tanggal 7 Februari 2018, pukul 09.00 WIB. Di BMKG Pusat, Jakarta Pusat.
[44] Interview dengan Rukhman Nugraha pada tanggal 7 Februari 2018, pukul 09.00 WIB. Di BMKG Pusat, Jakarta Pusat.
[45] John Felix, “Penggunaan Kontras Warna dalam Fotografi”, Jurnal Humaniora, Vol.1, No.2, Oktober 2010, 319.
[46] Interview dengan Rukhman Nugraha pada tanggal 7 Februari 2018, pukul 09.00 WIB. Di BMKG Pusat, Jakarta Pusat.
[47] Joko Satria A, dkk “Pensabitan Hilal Menerusi Teknik Pengimejan”, dalam Dimensi Penyelidikan Asytonomi Islam (Kuala Lumpur: Universiti Malaya, 2013), 102.
[48] Jamal Fakhri, “Sains dan Teknologi dalam al-Qur’an dan Implikasinya dalam Pembelajaran”, Jurnal Ta’dib, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010, 123.
[49] Hasan Baharun, dkk, Metodologi Studi Islam; Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2011), 76.
[50] Diadaptasi dari https://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Hajar_al-Haitami, diaskses pada 05 Mei 2017, pukul 21.35 WIB.
[51] Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami, Hamisy Hawasyii Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj, (Mesir: Mushthafa Muhammad, tt), 371-372.
[52] Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami, Hamisy Hawasyii Tuhfatul ..., 371-372.  
[53] Diadaptasi dari www.muslimedianews.com, diakses pada 05 Mei 2018, pukul 22.07 WIB.
[54]Abdul Hamid asy-Syarwani, Hawasyii Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj, (Mesir: Mushthafa Muhammad, tt), 372
[55] Diadaptasi dari http://arhamsukses.blogspot.co.id /2012/02/biografi-muhammad-bakhit-al-mutii.html, diakses pada 05 Mei 2018, pukul 22.50 WIB.
[56] Muhammad Bukhit al-Muti’i, Irsyadu Ahli al-Millati Ila Itsbaati al-Ahillah, (Mesir ; Kurdistan al-Ilmiyah, 1329 H ), 293-294
[57] Diadaptasi dari profil beliau yang tertera pada halaman web site IIQ, lihat https://iiq.ac.id/index.php?a=artikel&d=5&id=221, diakses pada 05 Mei 2018, pukul 21.00 WIB.
[58] Romli SA, Studi Perbandingan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2014),194.
[59] Interview dengan Huzaemah T. Yanggo, pada 22 februari 2018 pukul 11.45 WIB di Insitut Ilmu Qur’an Ciputat, Jakarta.
[60] Diadaptasi dari beberapa halaman biografi penulis pada buku-buku belia, salah satunya Metode Istislahiah; Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016).
[61] Al Yasa’ Abubakar, Metode Istislahiah; Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), 74.
[62] Interview dengan Alyasaa Abubakar, pada 1 Maret 2018 pukul 18.14 WIB., via telepon dengan melampirkan data ke rumah informan di Dasussalam, Aceh.
[63] Diadaptasi dari riwat penulis pada buku beliau, Fiqh Mawaris, (Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2012), 215-220.
[64] Interview dengan dengan Ahmad Rofiq, pada 7 Maret 2018 pukul 08.00 WIB di Pasca Sarjana UIN Walisongo, Semarang.
[65] Diadaptasi dari beberapa sumber, di antaranya buku Rukyat dengan Teknologi dan 100 Masalah Hisab Rukyat karya S. Farid Ruskanda.
[66] S. Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab & Rukyat; Telaah Syaria, Sains dan Teknologi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 79-80
[67] Diadaptasi dari https://tdjamaluddin.wordpress.com/1-t-djamaluddin-thomas-djamaluddin/, diakses pada 08 Mei 2018, pukul 09.46 WIB.
[68] Interview dengan dengan Thomas Djamaluddin pada 07 Mei 2018, pukul 08.06 WIB, via WhatsApp.
[69] Interview dengan dengan Thomas Djamaluddin pada 07 Mei 2018, pukul 08.06 WIB. Via WhatsApp.
[70] Mahammad Irfan Hakim merupakan pakar astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB).
[71] Interview dengan dengan Muhammad Irfan Hakim, pada 07 Mei 2018, pukul 16. 29 WIB. Via WhatsApp.
[72] Diadaptasi dari Interview dengan dengan Slamet Hambali pada hari Rabu 09 Mei 2018, pukul 12.30 WIB., di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang. Lihat juga Laporan Hasil Penelitian Individual, “Menguji Kakuratan Hasil Pengukuran Arah Kiblat Menggunakan Istiwaaini Karya Slamet Hambali”.
[73] Interview dengan dengan Slamet Hambali pada hari Rabu 09 Mei 2018, pukul 12.30 WIB., di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang.
[74] Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami, Hamisy Hawasyii Tuhfatul Muhtaj ..., 372.
[75] Abdul Hamid asy-Syarwani, Hawasyii Tuhfatul ...,372. Lihat juga Muhammad Bukhit al-Muti’i, Irsyadu Ahli al-Millati ..., 293
[76] Muhammad Bukhit al-Muti’i, Irsyadu Ahli al-Millati ..., 293-294.
[77] Interview dengan Huzaemah T. Yanggo, pada 22 februari 2018, pukul 11.45 WIB., di Insitut Ilmu Qur’an Ciputat, Jakarta.
[78] Interview dengan Alyasaa Abubakar, pada 1 Maret 2018, pukul 18.14 WIB., via telepon dengan melampirkan data ke rumah informan di Dasussalam, Aceh.
[79] Ma’ruf Amin, “Rukyah untuk Penentuan Awal dan Akhir Ramadan Menurut Pandangan Syari’ah dan Sorotan Iptek”, dalam Selayang Pandang Hisab Rukyat, (ttt:tp, 2004), 99.
[80] Interview dengan dengan Ahmad Rofiq, pada 7 Maret 2018, pukul 08.00 WIB., di Pasca Sarjana UIN Walisongo, Semarang.
[81] Interview dengan dengan Slamet Hambali pada hari Rabu 09 Mei 2018, pukul 12.30 WIB., di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang.
[82] Interview dengan dengan Thomas Djamaluddin pada 07 Mei 2018, pukul 08.06 WIB. Via WhatsApp.
[83] Interview dengan dengan Muhammad Irfan Hakim, pada 07 Mei 2018, pukul 16. 29 WIB. Via WhatsApp.
[84] S. Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab ..., 79-80

Post a Comment

0 Comments