ABSTRAK
BMKG melakukan pengembangan terhadap
rukyatul hilal dengan menggunakan Image Processing pada astrofotografi.
Proses pengolahan citra pada hilal yang belum dapat dipastikan keberadaannya. Image
Processing mampu memperjelas citra hilal yang samar-samar menjadi lebih
jelas dan yang tidak terlihatmenjadi terlihat. Penelitian ini mengkaji
pandangan ulama terkait keabsahan
penggunaan Image Processing. Terdapat perbedaan antara para ulama.
Pertama, ulama yang sama sekali tidak memperbolehkan penggunaan Image
Processing karena penggunaan alat terbatas dalam membantu penglihatan.
Kedua, ulama yang memperbolehkan penggunaan Image Processing namun hanya
sebatas memperjelas citra hilal. Ketiga, ulama yang memperbolehkan penggunaan Image
Processing secara keseluruhan, karena langkah tersebut adalah proses ilmiah
memastikan hilal.
Kata Kunci: Image
Processing, Rukyatul hilal, Ulama.
ABSTRACT
BMKG develops rukyatul hilal by using
Image processing in astrophotography. The process of image processing on the
cresent that can not be ascertained its existence. Image processing is able to
clarify the vivid image of the cresent becoming more vivid and invisible. This
study examines the views of ulama related to the validity of the use of image processing.
There is a difference between the scholars. Firstly, the scholars did not allow
the use of image processing because of the use of limited tools to aid vision.
Secondly, scholars who allow the use of image processing but only limited to
clarify the image of the new moon. Thirdly, scholars who allow the use of image
processing as a whole, because the step is a scientific process to ensure moon.
Keywords:
Image Processing, Rukyatul hilal, Ulama.
A.
Pendahuluan
Astrofotografi merupakan pengamatan
fenomena benda langit dan mengabadikannya melalui foto. Hal tersebut bisa
dilakukan secara sederhana melalui kamera Digital
Single Lens Reflex (DSLR) hingga melalui teropong yang canggih.[1]
Penggunaan astrofotografi dalam rukyatul hilal, lebih baik dibandingkan dengan penggunaan
alat lain, seperti penggunaan theodolit atau teleskop misalnya, yang hanya
berfungsi sebatas mengumpulkan cahaya, memisahkan cahaya, dan memperbesar
objek, sehingga memberi bantuan pada retina mata melalui media refraksi saat
melakukan pengamatan hilal.[2]
Berbeda dengan astrofotografi yang selain mencakup tiga fungsi di atas, juga
dapat memotret atau merekam citra hilal dalam bentuk data berupa gambar.
Kemampuan astrofotografi untuk
mengabadikan proses pengamatan hilal berupa citra atau gambar dapat dijadikan
sebagai data hilal untuk sebuah pengembangan keilmuan terkait hilal.
Sebagaimana dalam pengamatan BMKG sendiri, telah teramati data hilal sebagai
berikut:
No
|
Ketinggian
Hilal
|
Jumlah Hilal
Teramati[3]
|
1
|
6-7 derajat
|
4 data hilal
|
2
|
7-8 derajat
|
5 data hilal
|
3
|
8-9 derajat
|
6 data hilal
|
4
|
9-10 derajat
|
15 data hilal
|
5
|
10-11 derajat
|
23 data hilal
|
6
|
11-12 derajat
|
15 data hilal
|
7
|
12 > derajat
|
69 data hilal
|
Tabel 1.1, Rekapitulasi Data Hilal Teramati BMKG[4]
Teknik astrofotografi dalam
rukyatul hilal memiliki hubungan yang sangat erat dengan Image Processing, karena citra hilal yang dipotret sering mengalami
penurunan mutu (degradasi), misalnya
mengandung cacat atau derau (noise),
warnanya terlalu kontras, kurang tajam, kabur (blurring), dan sebagainya. Tentu saja citra semacam ini menjadi
lebih sulit diinterpretasi karena informasi yang disampaikan oleh citra
tersebut menjadi berkurang.[5]
Agar citra hilal yang mengalami gangguan atau tidak terlihat mudah
diinterpretasi (baik oleh manusia maupun mesin), maka citra tersebut perlu
diproses atau dilakukan pengolahan gambar untuk menghasilkan citra hilal lain
yang kualitasnya lebih baik.
Berdasarkan data di atas, hilal
pada ketinggian 6-8 derajat masih membutuhkan pengolahan gambar atau Image Processing agar hilal dapat
terlihat citranya.[6]
Untuk citra pada ketinggian 9 derajat adalah optional, kadang membutuhkan Image Processing kadang tidak. Sedangkan ketinggian 10 derajat lebih Image Processing tidak diperlukan,
karena pada ketinggian tersebut hilal sudah terlihat hanya dengan pengambilan
citra hilal melalui astrofotografi tanpa harus melakukan pengolahan gambar.[7]
Penerapan Image Processing[8]
pada astrofotografi di Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) merupakan salah satu teknik
pengembangan rukyatul hilal. Secara umum Image
Processing berfungsi untuk perbaikan atau memodifikasi citra[9]
guna menonjolkan beberapa aspek informasi yang terkandung di dalamnya, juga
untuk pengelompokan dan pencocokan citra, serta penggabungan citra dengan
bagian citra yang lain.[10]
Pada citra hilal, Image Processing
dengan tahapan-tahapan tertentu berfungsi untuk memperjelas ketampakan hilal
pada citra atau gambar yang berhasil diambil gambarnya melalui teknik
astrofotografi.
Praktek rukyatul hilal yang
berkembang di Indonesia, keberadaan data (citra hilal) sebagai bukti
terlihatnya hilal bukanlah suatu hal yang dipandang perlu. Hal ini terlihat
pada pelaporan hasil observasi hilal, di mana perukyat yang melihat hilal hanya
perlu melaporkan hasil observasi (syahadah) kepada petugas dengan
menyertakan formulir Laporan Hasil Observasi Bulan tanpa harus menyertakan data
hilal (citra hilal) dan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan Hukum Islam
harus pula diikuti oleh perukyah.[11]
Menurut T. Djamaluddin kesaksian rukyat tidak mutlak kebenarannya. Mata manusia
bisa salah lihat. Mungkin yang dikira hilal sebenarnya objek lain. Keyakinan
bahwa yang dilihatnya benar-benar hilal harus didukung pengetahuan dan
pengalaman tentang pengamatan hilal.[12]
Selain itu, belum ada
batasan-batasan yang pasti mengenai penggunaan alat dan multimedia dalam pelaksanaan
rukyatul hilal, khususnya pada aliran yang memperbolehkan pelaksanaan rukyah
dengan alat bantu. Ibnu Hajar misalnya, tidak mengesahkan penggunaan cara
pemantulan melalui kaca atau air. al-Syarwani lebih jauh menjelaskan bahwa
penggunaan alat yang mendekatkan atau membesarkan seperti teleskop, air, ballur[13]
masih dapat dianggap sebagai rukyah. Al- Muthi’i menegaskan bahwa
penggunaan alat optik sebagai penolong diizinkan karena yang melakukan penilaian
terhadap hilal adalah mata perukyah sendiri.[14]
Hal ini memperkuat bahwa belum adanya kepastian mengenai penggunaan alat bantu
dalam rukyatul hilal, sehingga ketika Image
Processing diterapkan pada astrofotografi untuk rukyatul hilal sebagaimana
yang dilakukan oleh BMKG memunculkan suatu permasalahan baru. Padahal jika kita
telusuri pada dasar hukum yang menjadi acuan rukyatul hilal adalah sama, yaitu
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, sebagaimana berikut:
حدثنا عبد الله بن مسلمة عن مالك عن
نافع عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه و سلم ذكر
رمضان فقال لا تصوموا حتى تروا الهلال ولاتفطرواحتى تروه فإن غم عليكم فاقدرواله
(رواه البخاري).[15]
“Abdullah Ibn Maslamah bercerita pada kita dari Nafi’ dari
‘Abdullah Ibn Umar ra. bahwasanya Rasulullah saw. menjelaskan tentang puasa
Ramadan lalu Beliau bersabda : “Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat
hilal dan janganlah kalian berbuka sebelum melihatnya lagi. Bila hilāl itu
tertutup awan maka kadarkanlah.” (HR. Bukhari)
Hadis ini secara zhahir
mewajibkan puasa ketika telah melihat hilal melalui rukyah baik malam atau
siang hari, hanya saja untuk kasus melihat di siang hari, kewajiban puasa
diperuntukkan hari berikutnya, bukan hari itu juga. Hadis ini juga menjelaskan
tentang larangan untuk memulai puasa Ramadan sebelum melihat hilal. Redaksi فإن غم عليكم
menunjukkan rukyah hanya ketika langit dalam keadaan cerah, tidak ketika langit
mendung. Hal ini masih menjadi perselisihan. Mayoritas ulama berkata, “maksud
dari فاقدرواله
adalah lihatlah awal bulan dan hitunglah sempurnanya 30 hari".[16]
Dalam hal ini telah terjadi kesenjangan antara penggunaan Image
Processing pada astrofotografi di BMKG untuk rukyatul hilal dengan praktek
rukyatul hilal secara umum. Image
Processing mampu memperjelas
citra hilal yang samar-samar menjadi lebih jelas dan yang tidak terlihat (pada
ketinggian tertentu) menjadi terlihat. Praktek rukyatul hilal yang berkembang
penggunaan alat bantu dalam rukyat hilal hanya sebatas membantu penglihatan,
pada akhirnya mata tetap sebagai penilai dari hasil pengamatan. Kita
ketahui bahwa rukyatul hilal sangat erat hubungannya dengan pelaksanaan ibadah,
sehingga segala sesuatu yang berkembang berdasarkan kemajuan teknologi harus
ditinjau kembali keabsahannya menurut hukum Islam yang berlaku.
Dalam penelitian ini akan diuraikan
bagaimana pandangan ulama terhadap Image Processing pada astrofotografi
untuk rukyatul hilal di BMKG, dengan rumusan
permasalahan yaitu: bagaimana pandangan ulama terhadap keabsahan Image
Processing pada astrofotografi di BMKG untuk rukyatul hilal.
Ada beberapa penelitian yang
berkaitan dengan Penelitian ini, di antaranya:
1.
Ike Mardiya
Sari, dkk, tentang “Implementasi Circular
Hough Transform untuk Deteksi Kemunculan Bulan Sabit”. Penelitian ini
menjelaskan tentang Suatu sistem untuk mendeteksi kemunculan bulan sabit dengan
metode Circular Hough Transform. Metode ini terdiri dari empat tahap yaitu preprocessing, segmentasi, pencarian
kandidat obyek, dan deteksi obyek dengan Circular
Hough Transform. Hasil uji coba pada sejumlah citra hasil pengamatan
menunjukkan keberhasilan sistem sebesar 75% dalam mendeteksi kemunculan bulan
sabit.[17]
2.
Dhani
Herdiwijaya tentang “Prosedur Sederhana Pengolahan Citra untuk
Pengamatan Hilal”. Penelitian ini mengkaji tentang membangun database dalam
perkembangan penelitian hilal di masa mendatang. Di sisi lain kondisi di
lapangan seringkali menyisakan waktu yang sempit untuk melaporkan hasil
observasi sebagai bahan sidang isbat, sehingga tidak sempat untuk melakukan
pengolahan citra. Prosedur pengolahan citra secara sederhana dari bukti rekaman
citra hilal dengan menggunakan perangkat lunak yang nir biaya perlu dilakukan,
terutama untuk hilal umur sangat muda.[18]
Berdasarkan penelitian-penelitian
di atas, penelitian tentang “Pandangan Ulama Terhadap Image Processing pada
Astrofotografi di BMKG untuk Rukyatul hilal” ini merupakan suatu kebaruan, di
mana perbedaannya terletak pada Image
Processing itu sendiri, fokus locus penelitian, serta pengkajian pandangan ulama terhadap Image Processing pada astrofotografi
hilal.
Penelitian ini termasuk dalam
penelitian kualitatif (library research), dengan pendekatan saintifik[19]
dan normatif[20],
pendekatan ini dibutuhkan untuk mengkaji kebenaran berdasarkan normatif serta
berdasarkan saintifik atau berdasarkan pandangan ulama serta berdasarkan sains
yang berkembang. Fokus Penelitian ini merujuk kepada penggunaan Image
Processing di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pusat.
Sumber data primer dalam Penelitian ini menggunakan 4 buah citra hilal yang
berhasil teramati melalui Image
Processing di BMKG antara tahun 2008-2017. Sedangkan sumber data
sekundernya adalah tulisan-tulisan ilmiah pendukung di antaranya: Robert
Reeves, Introduction to Digital Astrophotography; Imaging the
Universe with a Digital Camera, Priyanto Hidayatullah, Pengolahan Citra Digital; Teori dan Apklikasi Nyata, Abdul Kadir, Dasar
Pengolahan Citra dengan Dalphi, dan lain-lain.
Teknik analisis dalam penelitian
ini menggunakan analisis deskriptif, yaitu mendeskripsikan keabsahan hasil Image Processing astrofotografi hilal di
BMKG untuk rukyatul hilal berdasarkan pandangan ulama tentang Image
Processing. Mendeskripsikan kejadian atau fakta, keadaan, fenomena, dan
variabel dengan menarik suatu titik temu dalam penggunaan Images Processing pada astrofotografi hilal di BMKG.
B.
Pengertian Ulama
Kata “Ulama” berasal dari bahasa
Arab علماء jamak dari
عليم yang berarti orang yang berilmu atau orang
yang berpengetahuan. Maka kata عليم adalah isim yang
diserupakan dengan isim fa’il. Kata عا لم adalah isim fa’il dari
kata kerja علم yang berarti ia telah mengetahui atau
telah mengetahui. Sedangkan kata علماء berarti orang-orang yang
berilmu atau orang orang-orang yang mengetahui.[21] Kata Ulama jika dihubungkan dengan perkataan
lain, seperti Ulama fiqh, Ulama hadis, Ulama tafsir dan sebagainya, akan
mengandung arti yang luas, yakni meliputi orang yang berilmu dalam bidang
tertentu.[22]
Dalam
konteks penetapan hukum, Ulama dapat mengintegrasikan diri dalam mekanisme yang
ada untuk berpartisipasi membentuk hukum dan opini legal. Ulama dipandang
mempunyai maslahat yang lebih besar sesuai dengan fungsinya mempertahankan
representasi otoritas hukum Islam.[23]
Ulama sebagai sumber ilmu merupakan orang yang fakih dalam masalah halal-haram.
Ia adalah rujukan dan tempat menimba ilmu sekaligus guru yang bertugas membina
umat agar selalu berjalan di atas tuntunan Allah dan rasul-Nya.[24]
Nikkie R Kiddie dalam Scholar,
Saint and Sufis: Muslim Religious Institution in Middle East since 1500,
mendefinisikan ulama sebagai sekumpulan orang yang berkuasa (powerful)
Dan dihormati, yang memiliki sejumlah kekayaan personal maupun perusahaan serta
memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk masyarakat Islam. Ulama yang
melakukan tugas khusus sebagai seorang pengajar, penceramah, atau qadi,
menerima penghargaan atas jasa mereka dalam beragam bentuk, mereka juga
mengelola lembaga pendidikan, lembaga peradilan, rumah sakit, serta
lembaga-lembaga amal lainnya.[25]
Otoritas ulama tersebut tidak saja dalam masalah hukum, pendidikan, namun juga
masalah-masalah kontemporer dimana memiliki kemampuan yang tidak secara
terspesialisasi dan tidak dibeda-bedakan.[26]
Selain itu, menurut M. Quraish
Shihab[27],
ulama bertugas untuk memberikan petunjuk dan bimbingan guna mengatasi
perselisihan-perselisihan pendapat, problem-problem sosial yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat. Sedangkan Menurut Hiroko Horikoshi, hubungan ulama
dengan masyarakat adalah dengan istilah patron dengan client. Banyak
faktor yang menyebabkan kedekatan antara patron dengan client antara
lain karena keilmuannya dan kredibilitas moralnya, di samping karena sebagai
pengayom masyarakat.[28]
Harun Nasution
membagi ciri pemikiran Islam kedalam tiga zaman, yaitu: priode klasik (650-1250
M)[29],
priode pertengahan (1250-1800 M)[30],
dan priode modern (1800 M)[31].
Menurut Harun Nasution, metode berfikir ulama priode klasik terikat langsung
dengan al-Qur’an dan hadis, sehingga banyak melahirkan ijtihad yang kualitatif.
Sedangkan pemikiran priode pertengahan menjadi lebih terikat sekali dengan
hasil pemikiran ulama klasik. Dalam menghadapi masalah-masalah baru mereka
tidak lagi secara langsung menggali al-Qur’an dan hadis, melainkan lebih banyak
terikat dengan produk pemikiran ulama zaman klasik, sehingga orisinalitas
pemikiran semakin berkurang dan cenderung dogmatis. Pemikiran priode
kontemporer tidak mesti terikat dengan pemikiran klasik maupun pertengahan,
bila ternyata tidak relevan dengan persoalan yang ada, tetapi yang masih
relevan tetap dijadikan pegangan.
Berdasarkan
pendapat di atas menurut penulis pemikiran klasik dan pertengahan dalam
menyikapi suatu permasalahan langsung dari al-Quran dan hadis, namun hanya
pada masalah tertentu pada masanya, sehingga masih sangat
kaku. Sedangkan pemikiran modern sudah ada pemikiran baru yang juga
menggunakan al-Quran dan hadis, khususnya pada masalah yang belum terjadi pada
masa dulu, sehingga akan terus berkembang sesuai permasalahan pada masa modern.
Untuk lebih jelasnya yang dimaksud
dengan istilah ulama dalam penelitian ini adalah orang Islam yang
pengetahuannya tentang agama Islam melebihi orang-orang biasa dan merupakan
tokoh masyarakat sekaligus sebagai pemimpin non formal. Berkaitan dengan keabsahan
penggunaan Image Processing pada astrofografi untuk rukyatul hilal, maka
ulama yang dimaksud di sini secara spesifik adalah ulama fiqh, ulama sains, dan
ulama yang berkaitan langsung dengan rukyatul hilal tersebut.
C.
Image Processing pada Astrofotografi
Image Processing merupakan
istilah lain dari pengolahan citra. Dalam pengertian umum, citra adalah gambar.
Dalam pengertian yang lebih khusus, citra adalah gambaran visual mengenai suatu
objek atau beberapa objek. Tentu saja, wujud citra dapat bermacam-macam, dari
foto orang, gambar awan, hasil rontgen, hingga cita satelit.[32]
Secara prinsip, citra dapat dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu citra warna, citra keabuan, dan citra biner (citra
monokrom). Citra berwarna (true color) merepresentasikan keadaan visual
objek-objek yang bisa kita lihat. Citra berskala keabuan atau (grayscale)
adalah citra yang menggunakan gradasi warna abu-abu yang merupakan kombinasi
antara hitam dan putih. Citra biner atau dikenal dengan sebutan cita
hitam-putih atau citra monokrom adalah citra yang dinilai piksel-pikselnya
berupa angka nol atau satu saja atau dua keadaan seperti 0 dan 255.[33]
Pengolahan citra digital dibangun
di atas fondasi formulasi dan probabilistik, intuisi dan analisis manusia
memainkan peran penting dalam pemilihan teknologi. Pemilihan sering dibuat
berdasarkan pendapat subjektif dan visual.[34]
Penglihatan adalah indra yang paling peka sehingga tidak mengejutkan bila citra
memainkan peran yang paling penting dalam persepsi manusia. Bagaimanapun, tidak
seperti manusia yang terbatas dalam band penglihatan spektrum elektromagnetik
(EM), mesin pencitraan mencakup hampir semua spektrum EM, dengan jangkauan
mulai dari sinar gamma sampai gelombang radio. Mesin tersebut dapat
mengoperasikan citra yang dihasilkan oleh sumber yang manusia tidak biasa
hubungkan dengan citra, termasuk ultrasound, electron microscopy dan
komputer pembuat citra. Karena itu, pengolahan citra digital meliputi daerah
aplikasi yang luas dan bermacam-macam.[35]
Bidang digital Image Processing meliputi
pengolahan digital image dari suatu komputer digital. Gambar dihasilkan
dari seluruh spektrum EM , mulai dari gamma sampai gelombang radio. Ada tiga
tipe pengolahan citra, diantaranya: Pertama, Low level process, meliputi
operasi dasar seperti image preprocessing: reduce noise, contrast
enhancement, dan image sharpening. Kedua, Mid level process, meliputi segmentasi
(membagi sebuah gambar dalam region atau object), mendeskripsikan objek
tersebut untuk direduksi dalam bentuk yang diinginkan dan klasifikasi (recognition)
dari objek tersebut. Ketiga, High
level process, meliputi pemberian arti suatu rangkaian objek-objek yang
dikenali dan akhirnya menampilkan fungsi-fungsi kognitif secara normal
sehubungan dengan penglihatan.[36]
Image Processing bertujuan
memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau mesin
(dalam hal ini komputer). Teknik-teknik pengolahan citra mentransformasikan
citra menjadi citra lain. Jadi, masukannya adalah citra dan keluarannya juga
citra, namun citra keluaran mempunyai kualitas lebih baik daripada citra
masukan.[37]
Dalam astrofotografi, mengambil
citra merupakan suatu langkah awal. Untuk sampai pada citra yang memuaskan,
maka harus menghadapi hal-hal seperti pengurangan noise[38],
kontras dan peningkatan kecerahan, dan koreksi warna.[39]
Tidak ada astrofotografi yang
melakukan pemrosesan gambar sama persis. Program yang baik memiliki tutorial
yang menjelaskan cara pengoperasiannya, pengguna akan menemukan kombinasi yang
paling sesuai untuk masing-masing citra, terutama jika tujuannya adalah untuk
menghasilkan "citra terbaik". Citra yang ilmiah harus mengikuti
proses pengolahan ketat langkah demi langkah, yang dapat didokumentasikan dan
tidak membahayakan data.[40]
Banyak yang menggunakan lebih dari
satu program untuk melengkapi citra yang akan diproses, mulai dari kecerahan,
kontras, koreksi warna, dan lain-lain. Oleh sebab itu, sulit untuk meletakkan
aturan atau langkah universal dalam pengolahan gambar. Sehingga sangat
dibutuhkan keahlian khusus.[41]
D.
Image
Processing pada Astrofotografi di BMKG
untuk Rukyatul hilal
BMKG hanya melakukan Image
Processing pada citra-citra hilal pada saat ketinggian di bawah delapan
derajat. Karena biasanya pada ketinggian tersebut citra hilal belum dapat
dipastikan apakah terlihat atau tidak. Terkadang hilal sudah terlihat namun
perlu dinaikkan kontras pada citra tersebut agar lebih jelas citra hilalnya.
Atau mungkin citra hilal terlihat samar-samar, maka dinaikkan kontrasnya dan
memperhatikan konsistensinya pada citra-citra lain. Hal tersebutlah yang
menjadi alasan utama mengapa Image Processing dibutuhkan dalam citra
hilal.
Dengan menerapkan metode pengolahan
citra di atas, Image Processing pada astrofotografi telah membantu
keberhasilan pengamatan hilal sebanyak 15 data sejak 2013 hingga Mei 2017 dari
pengamatan rutin setiap bulannya, pada bulan-bulan selanjutnya secara umum
tinggi hilal di bawah delapan derajat membutuhkan pengolahan citra sebagaimana
dijelaskan di atas.[42]
Sedangkan hilal pada ketinggian
sembilan derajat terkadang juga membutuhkan Image Processing untuk
memperjelas citra hilal, dapat dikatakan opsional untuk hilal pada ketinggian
sembilan derajat. Namun hilal pada ketinggian sepuluh derajat ke atas, tidak
membutuhkan Image Processing karena pada ketinggian tersebut citra hilal
telah terlihat jelas.
Sebelum melakukan pengolahan citra
terlebih dahulu harus mengetahui orientasi hilal dan ukuran hilal dengan
prediksi. Orientasi hilal untuk memprediksikan arah kemiringan hilal terhadap
sinar matahari, sedangkan ukuran hilal untuk menentukan bentuk hilal dalam satu frame, dengan diprediksikan
besar hilal itu seperti apa.[43]
Pada umumnya terdapat 4 metode yang
dapat dilakukan dalam Images Processing pada astrofotografi untuk
rukyatul hilal, di antaranya:
1.
Meningkatkan
atau menurunkan kontras pada satu citra hilal.
2.
Meningkatkan
atau menurunkan kontras pada beberapa citra hilal dengan memperhatikan konsistensinya.
3.
Penumpukan
citra hilal tanpa kalibrasi.
4.
Penumpukan
citra hilal dengan kalibrasi.[44]
Untuk memahami empat hal proses
pengolahan di atas, berikut akan dijelaskan secara terperinci dari
masing-masing metode Image Processing:
1.
Meningkatkan
atau menurunkan kontras pada satu citra hilal.
Kontras dalam visual adalah sesuatu yang
membuat sebuah objek atau representasi dari objek tersebut dalam bentuk gambar
dapat dibedakan dari objek lain atau background. Kontras ditentukan oleh
perbedaan dalam warna dan tingkat kecerahan dari objek yang satu dengan yang
lainnya dalam jangkauan pandang yang sama.[45]
Dalam citra hilal kontras diperlukan untuk
memperjelas ketampakan hilal pada satu citra, karena biasanya citra hilal
sering terlihat sama dengan background atau objek lain seperti awan yang
ada disekelilingnya, sehingga sulit dipastikan apakah objek tersebut adalah
hilal atau bukan, maka diperlukan peningkatan kontras agar citra Hilal lebih
mendominasi.
Jadi, dalam peningkatan kontras pada satu
citra hilal ini, pada dasarnya dalam citra awal hilal telah terlihat atau
tampak, namun peningkatan kontras pada citra hilal tersebut dilakukan untuk
lebih memperjelas hilal yang sudah terlihat. Perhatikan contoh gambar berikut!
Gambar 3.3; Citra Awal.
Gambar 3.4; Citra Sesudah
Diproses.
2.
Meningkatkan
atau menurunkan kontras pada beberapa citra hilal dengan memperhatikan
konsistensinya.
Fungsi kontras masih tetap sama dalam tahapan
ini yaitu membuat sebuah objek atau representasi dari objek tersebut dalam
bentuk gambar dapat dibedakan dari objek lain atau background.
Yang membedakan tahap ini dengan tahap
sebelumnya adalah pada tahap ini hilal belum dapat dipastikan terlihat atau
tidak, namun kemungkinan terlihat itu ada, sehingga pengolahan pada satu citra
hilal saja tidak akan membantu. Hal lain yang perlu dilakukan adalah
memperhatikan konsistensi ketampakan hilal pada citra yang lain. Konsistensi
yang dimaksudkan adalah adanya kesamaan antara citra yang satu dengan citra
yang lain, baik dari segi bentuk hilal, maupun dari segi posisi atau letak
hilal dalam citra satu dengan citra yang lainnya.
Jika konsistensinya menunjukkan persamaan,
maka dapat disimpulkan bahwa yang terlihat seperti hilal tersebut adalah hilal.
Dalam proses tersebutlah kontras dinaikkan pada beberapa citra untuk lebih meyakinkan
bahwa citra hilal benar terlihat. Perhatikan contoh gambar berikut!
Gambar 3.5; Citra Awal.
Gambar 3.6; Citra Sesudah
Diproses.
3.
Penumpukan
citra hilal tanpa kalibrasi.
Berbeda dengan tahap sebelumnya, pada tahap
ini hilal tidak terlihat dalam beberapa citra. Dan peningkatan kontras pada
satu citra atau peningkatan kontras pada beberapa citra dengan memperhatikan
konsistensinya tidak membantu untuk menampilkan citra hilal pada gambar. Maka
tahapan selanjutnya yang mungkin untuk dilakukan adalah menumpukkan beberapa
citra hilal atau menggabungkan beberapa citra menjadi satu.
Penumpukan tersebut tidak terbatas jumlahnya,
bisa mencapai 100 citra atau bahkan lebih banyak. Penumpukan citra tersebut
akan menampilkan citra hilal akhir, sehingga dapat dipastikan apakah hilal
terlihat atau tidak. Jika citra hilal terlihat, maka pada akan muncul suatu bentuk
hilal pada tempat dan posisi yang sama dalam citra yang telah ditumpuk
tersebut.
4.
Penumpukan
citra hilal dengan kalibrasi.
Pada tahap terakhir untuk prosesnya hampir
sama dengan tahap ketiga, yaitu menumpukkan beberapa citra hilal menjadi satu
citra untuk dapat mengetahui apakah hilal terlihat atau tidak. Namun yang
membedakannya adalah pada tahap keempat ini sebelum melakukan penumpukan
tersebut terlebih dahulu melakukan kalibrasi terhadap citra hilal.
Kalibrasi tersebut dilakukan pada saat
pengambilan citra dengan alat-alat kaliblator. Untuk meningkatkan Signal to
Noise (S/N) Ratio, lakukan perekaman citra bias (bias frame), citra
gelap (dark frame), dan citra medan datar (flat field frame).
Citra Bias diperlukan untuk mengoreksi
ketidakteraturan setiap pixel pada detektor dalam merekam data. Citra Gelap
diperlukan untuk mengoreksi efek panas dan derau elektronik pada detektor.
Citra Medan Datar diperlukan untuk mengoreksi permasalahan-permasalahan terkait
dengan penjalaran cahaya dari depan teleskop, lensa, hingga ke detektor.[46]
Di BMKG sendiri Image Processing yang
dilakukan sejauh ini hingga tahap pertama dan tahap kedua. Yaitu tahapan
meningkatkan kontras pada satu citra hilal dan beberapa citra hilal dengan
memperhatikan konsistensinya. Namun terkadang pernah juga melakukan percobaan
pengolahan gambar hingga ke tahapan yang lebih lanjut atau kompleks. Hal ini
menunjukkan bahwa hilal dengan ketinggian lebih rendah dapat terlihat dengan
teknik astrofotografi, meskipun mata telanjang belum dapat melihatnya.[47]
E.
Pandangan Ulama Terhadap
Keabsahan Image Processing pada Astrofotografi untuk Rukyatul hilal
Image Processing pada
astrofotografi untuk rukyatul hilal merupakan bentuk penerapan sains dan
teknologi terhadap penetapan pelaksanaan ibadah. Menurut Baiquni, sains adalah
himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para
pakar, melalui penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yang
kritis terhadap data pengukuran yang diperoleh dari observasi pada
gejala-gejala alam. Sedangkan teknologi adalah himpunan pengetahuan manusia
tentang proses-proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains,
dalam kerangka kegiatan yang produktif ekonomis.[48]
Beragam fenomena kebaruan semesta dan peristiwa selalu diiringi pula dengan
runtutan teori yang menjelaskannya.[49]
Berikut akan dipaparkan pandangan ulama terhadap keabsahan Image Processing pada
astrofotografi untuk rukyatul hilal, di antaranya:
1.
Ulama Fiqh
Klasik
a.
Ahmad Ibnu
Hajar al-Haitami
Ibnu
Hajar al-Haitami lahir di Mahallah Abi al-Haitam, Mesir bagian Barat, Rajab 909
H, beliau wafat di Mekkah Rajab 973 H. Beliau adalah seorang ulama di bidang
fikih mazhab syafi'i, ahli kalam dan tasawuf. Ibnu Hajar menguasai berbagai
ilmu antara lain tafsir, hadis, ilmu kalam, fikih, ushul fiqh, ilmu
waris, ilmu hisab, tasawuf, dan ilmu lain. Di antara karya-karyanya adalah al-Fatawa
al-Fiqhiyyah al-Kubra, Syarh
Mukhtashar Abi al-Hasan al-Bakri, Tuhfatul Muhtaj al Syarhil Minha, dan masih banyak karya lainnya.[50]
Dalam kitab Hamisy Hawasyii Tuhfatul
Muhtaj bi Syarhil Minhaj, Ibnu Hajar menjelaskan bahwa rukyatul hilal
dilakukan pada saat setelah ghurub, dan dilakukan tanpa menggunakan
perantara (alat) seperti kaca (لا بواسطة نحو مرآة).[51]
Hal tersebut merupakan penjelasan dari
pelaksanaan rukyatul hilal dalam menetapkan puasa Ramadan, dimana Ibnu Hajar
juga menjelaskan bahwa:
يجب صوم رمضان با كمال شعبان ثلا ثين أو رؤية الهلال[52]
“Kewajiban puasa Ramadan dilakukan dengan menyempurnakan jumlah bulan
Syakban 30 hari atau dengan rukyatul hilal”.
b.
Abdul Hamid
asy-Syarwani
Abdul
Hamid bin al-Husain al-Daghistani al-Syarwani al-Makki. Beliau menekuni
berbagai ilmu agama di negerinya, Daghistan, kemudian beliau mengembara ke
negara-negara Islam dalam rangka menuntut ilmu, Istanbul, lalu ke Mesir. Di
kedua kota pusat keilmuan Islam pada masa tersebut, al-Syarwani menimba ilmu
dari para ulama terkemuka di sana, antara lain Syaikh Mushthafa al-Wadini dan
Syaikhul-Islam Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri. Karyanya yang paling terkenal
adalah Hawasyi (catatan pinggir) terhadap Tuhfah al-Muhtaj Syarh
al-Minhaj, karya Ibnu Hajar al-Haitami, dan dicetak di Mesir dalam 10
jilid.[53]
al-Syarwani menyatakan bahwa dalam rukyatul
hilal lebih utama untuk dilakukan tidak dengan menggunakan alat, tetapi juga
diperbolehkan menggunakan alat. Alat yang dimaksud tersebut adalah seperti air,
ballur, sesuatu yang mendekatkan yang jauh, dan yang membesarkan yang
kecil dalam pandangan.[54]
c.
Muhammad
Bukhit al-Muti’i
Muhammad Bakhit al-Muthi'i
merupakan seorang Mutfi Mesir lahir pada tahun 1271 H / 1856 M., di
daerah al-Muti’, keturunan Bakhit bin Husein. Pada usia empat tahun ayahnya
memasukkan dia ke sekolah. Setelah hafal al-Qur'an sang ayah mengantarkannya ke
al-Azhar. Pada tahun 1297 M, pemerintah menunjuk Muhammad Bakhit Al-Muti’i
sebagai Ketua Pengadilan di Kabupaten Qalyubi. Satu tahun kemudian ia pindah
sebagai hakim di Kabupaten Al-Minya. Di antara karya-karyanya adalah Jam Al-Jawami, Irsyad Ahli al-Millah ila
Isbat al-Ahillah, al-Kalimat al-Hisan fi al Ahruf al-Sab’ah wa Jami’i
al-Qur'an, al-Qaul al-Mufid fi al-Tawhid, dan lain-lain.[55]
al-Muti’i berpendapat bahwa (تقبل شهادة
الرائ للهلال ولو رأي بالنظارة المعظمة) dapat
diterima persaksian orang yang melihat hilal walaupun ia melihat dengan
teropong pembesar sepanjang hilal tersebut dapat dilihat oleh selain orang yang
tajam sekali padangannya menurut kita, karena yang dilihat dengan perantaraan
alat tersebut adalah hilal itu sendiri dan fungsinya hanya untuk membentuk
penglihatan untuk melihat benda yang jauh atau kecil yang tidak mungkin dilihat
tanpa alat tersebut.
Al-Muthi’i menambahkan oleh karena itu, tidak
ada halangan untuk melihat hilal sekarang ini dari teropong Bulan Mesir dan
lain-lainnya dengan alat pembesarnya. Adapun rukyat dengan perantaraan teropong
pembesar, maka ia seperti rukyat dengan mata tanpa perbedaan sebagaimana
diketahui hal itu pada penggunaan kacamata untuk membaca. [56]
2.
Ulama Fiqh
Kontemporer
a.
Huzaemah T.
Yanggo
Huzaemah Tahido Yanggo dilahirkan di Donggola, Sulawesi Tengah
pada 30 Desember 1946. Beliau merupakan
Rektor Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) 2014-2018 dan Ketua Bidang Fatwa MUI
Pusat. Beliau adalah wanita pertama dari Indonesia yang mendapatkan gelar Ph.D
dalam ilmu fiqih perbandingan mahzab di Universitas al-Azhar. Beliau menjadi
anggota Komisi Fatwa MUI Pusat sejak tahun 1987, menjadi anggota Dewan Syariah
Nasional MUI sejak 1997, dan menjadi ketua MUI Pusat Bidang Pengajian dan
Pengembangan Sosial sejak 2000. Karangannya yang
dibukukan dan diterbitkan antara lain adalah, Pandangan Islam tentang Gender,
Pengantar Perbandingan Mahzab, Fiqih Perempuan Kontemporer, Masail
Fiqhiyah: Kajian Fiqih Kontemporer, dan lain-lain.[57]
Menurut Huzaemah penggunaan teknik
astrofotografi untuk rukyatul hilal sebagai penentuan awal bulan Kamariah
merupakan suatu perkara yang baik. Karena kemampuan teknik tersebut yang dapat
mendeteksi hilal dengan output-nya berupa gambar. Dimana dengan mata
telanjang hal tersebut tidak dapat dilakukan. Hal ini sangat berkaitan erat
dengan perkembangan teknologi yang mengambil peran dalam perkara ibadah,
sehingga ketika teknologi tersebut dapat mempermudah pelaksanaan menuju suatu
ibadah maka itu dipandang baik.
Pada hakekatnya istihsan itu adalah
berkaitan dengan penerapan atau pelaksanaan ketentuan hukum yang sudah jelas
dasar dan kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma’, atau qiyas, tetapi
ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus dirubah
karena berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.[58]
Dengan menggunakan dasar istihsan, kita dapat mengatasi masalah
kontemporer seperti penggunaan astrofotografi untuk rukyatul hilal. Mengingat
sejauh ini permasalahan mengenai penetapan awal bulan kamariah tidak kunjung
menuai titik temu. Maka astrofotografi
di sini merupakan salah satu metode yang memperjelas pelaksanaan ibadah.
Peninjauan suatu perkara atas dasar “baik” tersebut sangat perlu dalam
perkembangan suatu hukum yang mengikuti kemajuan zaman dan teknologi.
Kemudian
untuk Image Processing atau pengolahan citra dari hasil astrofotografi
tersebut, jika sifatnya sebagai proses lanjutan untuk memperjelas atau
memastikan keberadaan hilal pada citra maka sah-sah saja untuk diterapkan.
Selama dalam pemrosesan yang dilakukan padat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. [59]
b. Al Yasa Abubakar
Al
Yasa’ Abubakar lahir di Takengon, Aceh Tengah, tahun 1953. Beliau merupakan
profesor di bidang fikih dan ushul fiqh UIN ar-Raniry Banda Aceh. Di
luar kampus beliau pernah bertuga sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU) Aceh dan setelah itu Kepala Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh yang
pertama. Beliau juga pernah diberi amanah menjadi Ketua Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah provinsi Aceh. Ketika aceh diberi izin untuk melaksanakan syari’at
Islam, melalui UU No. 44 Tahun 1999, beliau ikut terlibat dalam penyusunan
perencanaan, kebijakan, dan penulisan berbagai qanun untuk
pelaksanaannya sampai sekarang. Di antara buku yang beliau tulis yang telah
diterbitkan yaitu: Alam Pikiran Islam dan Perkembangannya, (terjemahan)
1986; Hidayatul Habib fit Targhib wat Tarhib, 2012; Penerapan
Syari’at Islam di Aceh: Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa, 2013; Metode
Istislahiah Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul Fiqh, 2016; dan masih
banyak lagi karya lainnya.[60]
Al Yasa
Abubakar memandang persoalan astrofotografi untuk rukyatul hilal terhadap
kedudukan alat tersebut pada tiga hal: Pertama, jika ditinjau dalam perspektif
hisab astrofotografi tersebut tidak diperlukan selain termasuk kedalam perkara
mubazir, juga karena tanpa bantuan alat tersebut perkara penentuan awal bulan
Kamariah sudah dianggap selesai dalam artian telah dapat ditentukan kapan bulan
baru akan masuk. Kedua, jika ditinjau dalam perspektif rukyat murni juga hal tersebut
tidak perlu dilakukan karena ketika melakukan pengamatan dengan mata telanjang
hilal tidak terlihat dikarenakan tertutup awan atau mendung maka diistikmalkan
tanpa harus bersusah payah menggunakan
teknologi. Ketiga jika ditinjau dari rukyat hilal yang didukung oleh alat bantu
maka alat tersebut berguna dalam mempermudah pengamatan hilal.
Salah satu
langkah penalaran istislahiah adalah menggunakan hasil dan capaian ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Hal ini perlu dipertimbangkan dan digunakan,
karena biasanya apa yang dihasilkan dan dijelaskan oleh ilmu pengetahuan
relatif telah terukur tersistematisasi bahkan terbukti kemanfaatannya atau
kemudaratannya.[61]
Maka untuk tingkat pengolahan citra atau Image Processing dapat dilakukan sampai kepada tahapan yang
masih diterima oleh akal. Dalam artian harus benar-benar ilmiah
pengolahannya. Karena dalam multimedia apa saja dapat dilakukan, sehingga
sangat memungkinkan adanya manipulasi. Untuk menghindari hal tersebut, maka
penerapan prinsip-prinsip umum tentang pengolahan citra ilmiah perlu dilakukan
dan divalidasi dengan bukti-bukti pendukung lain.[62]
c. Ahmad Rofiq
Ahmad Rofiq lahir di Kudus14 Juli 1959. Saat
ini beliau merupakan Direktur Pasca Sarjana UIN Walisongo Semarang, sekaligus
guru besar dalam Hukum Islam UIN Walisongo Semarang, dan juga sebagai Wakil
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Provinsi Jawa Tengah. Selain itu beliau juga pernah menjabat sebagai
Wakil Sekretaris (1996-1998), Sekretaris (1998-1999), dan Wakil Ketua
(1999-2000) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah. Beliau juga
pernah menjadi Rektor Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang (2008-2010).
Di antara karya-karya beliau yaitu: Hukum Islam di Indonesia, 2006; Pembaharuan
Hukum Islam di Indonesia, 2002; Fiqh Aktual, 2003; Fiqh
Kontekstual, 2003: dan karya-karya lain.[63]
Menurut Ahmad Rofiq dalam rukyatul hilal,
teknologi berfungsi untuk membantu pengamatan hilal dan manusia yang akan
menentukan apakah hilal terlihat atau tidak berdasarkan hukum yang berlaku.
Teknologi apa pun dalam rukyatul hilal harus senantiasa mempertimbangkan dua
hal, yaitu kalibrasi dan validasi kebenaran teknologi tersebut, begitu halnya
dengan teknik astrofotografi yang dilakukan oleh BMKG.
Ahmad Rofiq menambahkan bahwa rukyatul hilal
merupakan instrumen untuk menerapkan
perintah melihat hilal berdasarkan dasar-dasar hadis rukyat. Pemahaman secara
bahasa atau redaksi kata “تروالهلال”
dalam hadis-hadis rukyat menunjukkan bahwa amaratul lafdzi dalam kata
tersebut adalah rukyat dengan kasat mata, bukan dengan akal. Agar seseorang
dapat melihat hilal tersebut, maka digunakanlah teropong atau teknologi lain
untuk mengurangi halangan atau kesulitan. Posisi alat di sini adalah untuk
membantu hingga kepada tingkat yang meyakinkan. Pada akhirnya, sepanjang Image
Processing pada astrofotografi untuk rukyatul hilal yang dilakukan BMKG
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya maka dapat digunakan, karena posisinya
untuk membantu.
Rekayasa dalam teknologi rukyat bisa saja
terjadi, maka hal yang akan berlaku adalah حكم الحاكم
إلزام يرفع الخلاف “Keputusan hakim adalah suatu yang harus ditaati sebagai
pemutus perbedaan”, dalam hal ini peran hakim (dalam rukyatul hilal hakim yang
dimaksud adalah Kementerian Agama RI) juga sangat dibutuhkan, yaitu sejauh mana
hakim yakin terhadap alat tersebut. Hukum hakim tersebut dilakukan melalui
beberapa proses, diantaranya: hisab (perhitungan), kriteria imkan ar-rukyat,
dan proses sidang isbat. Ketika dilakukan peninjauan terdapat kesesuaian atau
akurasi dengan tiga hal di atas, maka dapat dipergunakan (sah), jika tidak maka
tidak dapat dipergunakan (tidak sah).[64]
3. Ulama Sains dan Ulama
Falak
a. S. Farid Ruskanda
S. Farid Ruskanda merupakan salah satu tokoh
penggas Teknologi Rukyat pada tahun 1994, saat itu beliau merupakan sebagai
peneliti pusat penelitian Kalibrasi, Instrumentasi dan Mentrologi LIPI.
Terdapat dua karya beliau yang masih sering dijadikan sebagai rujukan hingga
saat ini adalah Rukyat dengan Teknologi dan 100 Masalah Hisab Rukyat.[65]
Menurut Farid Ruskanda Image Processing merupakan
suatu teknologi yang digunakan untuk memproses citra yang terbentuk sehingga
bertambah jelas, terang dan bersih, serta masih sesuai dengan bentuk aslinya.
Teknik ini tidak bisa mengarang-ngarang benda
atau citra (hilal) yang tidak ada menjadi ada. Bagaimanapun canggihnya
teknologi pengolahan citra, jika citranya tidak hadir, dan tidak wujud, maka
sesuatu itu tidak akan ada. Jika citranya hadir, walaupun tipis dan suram,
selalu bisa disempurnakan. Teknik ini dapat dibandingkan dengan aktivitas
melihat melali lubang di dinding, menembus kaca jendela, lalu menembus asap di
pekarangan. Agar pandangan kita jelas, kita dapat membersihkan lubang
pengintip, membeningkan kaca jendela yang suram, dan menghalau asap yang
menghalangi. Demikian pula prinsip kerja teknologi pengolahan citra.
Farid Ruskanda menegaskan, apapun upaya yang
dilakukan, jika bendanya tidak ada, tidak akan terlihat apa-apa. Jadi teknologi
pengolahan citra tidak bisa mengadakan (atau tepatnya “mengada-mengada”) benda
yang tidak ada, bagaimanapun suasana kejiwaan orang yang menggunakannya.
Teknologi pengolahan citra tidak bisa menghadirkan benda yang gaib.[66]
b.
Thomas
Djamaluddin
Thomas Djamaluddin lahir
di Purwokerto, 23 Januari 1962. Saat ini beliau bekerja di LAPAN (Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional) sebagai Kepala LAPAN dan
Peneliti Utama IVe (Profesor Riset) Astronomi dan Astrofisika. Sebelumnya
pernah menjadi Kepala Unit Komputer Induk LAPAN Bandung (Eselon IV), Kepala
Bidang Matahari dan Antariksa (Eselon III), Kepala Pusat Pemanfaatan Sains
Atmosfer dan Iklim (Eselon II) LAPAN, dan Deputi Sains, Pengkajian, dan
Informasi Kedirgantaraan (Eselon I). Saat ini juga mengajar dan menjadi
pembimbing di Program Magister dan Doktor Ilmu Falak di UIN Walisongo Semarang.
Terkait
dengan kegiatan penelitian, saat ini Thomas Djamaluddin menjadi anggota
Himpunan Astronomi Indonesia (HAI), International Astronomical Union
(IAU), dan National Committee di Committee on Space Research
(COSPAR), serta anggota Badan Hisab Rukyat (BHR) Kementerian Agama RI dan BHR
Daerah Provinsi Jawa Barat. Lebih dari 50 Penelitian ilmiah, lebih dari 100
tulisan populer, dan 5 buku tentang astronomi dan keislaman telah beliau
publikasikan.[67]
Menurut
Thomas Astrofotografi dan Image Processing adalah alat bantu untuk
menambah keyakinan. Hal ini sama dengan penggunaan jam untuk meyakinkan
masuknya waktu shalat atau penggunaan kompas untuk meyakinkan arah kiblat.
Penggunaan Image Processing pada astrofotografi untuk rukyatul hilal
merupakan upaya saintifik untuk memperjelas citra dengan menghilangkan efek
gangguan dan meningkatkan kontrasnya. Image processing sangat disarankan
digunakan pada rukyatul hilal utuk meyakinkan bahwa objek yang direkam
benar-benar hilal, bukan objek lain.
Tahapan
penggunaan metode-metode Image Processing sangat bergantung pada tingkat
kesulitannya. Hilal yang cukup tinggi dan umurnya relatif lebih tua adalah
hilal yang relatif paling mudah dirukyat, jadi cukup dilakukan pengolahn citra
dengan ditingkatkan kontrasnya saja. Semakin muda umur hilal dan ketinggiannya
rendah, hilal akan semakin redup, maka perlu dilakukan tahapan-tahapan
selanjutnya dalam Image Processing. Menurut Thomas pada citra yang
sangat lemah perlu ditumpuk seperti
tahapan ketiga dan keempat dalam metode Image Processing BMKG, atau bisa
juga dengan menambah waktu eksposur waktu pengambilan citra.
Dalam
hal penerapan Image Processing pada astrofotografi untuk rukyatul hilal
harus dipahami bahwa rukyatul hilal adalah cara meyakinkan bahwa bulan telah
berganti dengan bukti terlihatnya hilal. Sebagai bukti, hilal bisa diperoleh
dengan pengamatan langsung tanpa alat, pengamatan langsung dengan alat (seperti
kacamara, binokuler, teleskop), perekaman dengan kamera tanpa pengolahan citra,
atau perekaman dengan pengolahan citra (Image Processing). Pengamatan
langsung diyakinkan lagi dengan sumpah. Tetapi dengan bukti perekaman mudah
ditunjukkan citranya, hakim bisa segera percaya utuk melakukan itsbat.[68]
Secara
umum tujuan dari Rukyat bil fi'li adalah mencari bukti hilal, yang juga
lebih meyakinkan dengan alat bantu astrofotigrafi berikut Image Processing.
Jadi Image Processing merupakan bagian dari rukyatul hilal yg mempunyai
kedudukan yang sama degan rukyat bil fi’li, bahkan buktinya lebih kuat.
Adapun perbedaannya hanya terletak pada bukti yang diperoleh. Rukyat bil
fi'li buktinya disimpan di otak pengamat dan dinyatakan secara lisan dengan
sumpah di hadapan hakim. Image Processing buktinya bisa ditunjukan di
layar atau dicetak utuk meyakinkan hakim yang meng-itsbat. Kedudukan
kesaksian dari kedua hal ini adalah sama karena bukti citra sangat kuat dan tak
terbantahkan.
Di
sini lain, Image Processing bisa saja jadi terjadi kesalahan dalam
interpretasi. Misalnya ada goresan cahaya yang diduga hilal, namun sebenarnya
bukanlah hilal sesungguhnya. Namun, secara astronomi kesalahan tersebut bisa
dihindari dg membandingkannya dengan model bentuk hilal, seperti ditunjukkan
aplikasi astronomi (a.l. Stellarium).
Data
Image Processing dapat dijadikan sebagai data dalam pengembangan hilal,
bahkan lebih utama daripada rukyat bil fi'li yang buktinya hanya dengan
sumpah, sehingga akan sulit mengacu pada data sumpah dalam pengembangan
penelitian tentang hilal. Data rukyat dengan Image Processing dapat
menjadi bukti tak terbantahkan yang dapat disimpan dalam waktu lama utuk
penelitian berikutnya.[69]
c.
Muhammad
Irfan Hakim[70]
Menurut Irfan Hakim ruang lingkup rukyatul
hilal meniscayakan astrofotografi dan pekerjaan lanjutannya, misalnya adalah Image
Processing. Sebab, rukyatul hilal
dalam perspektif sains astronomi adalah suatu contoh saja dari praktek
observasi benda-benda langit. Demikian juga Image Processing.
Sebelumnya, harus dibedakan terlebih dahulu antara rukyatul hilal (dan Image Processing) dengan metode penetapan
penanggalan hijriyah. Hisab dan rukyatul
hilal hakikatnya dapat dipandang sebagai pekerjaan saintifik. Sedangkan
penetapan awal bulan baru hijriyah tidak semata dan belum tentu menggunakan kedua pekerjaan tersebut
sebagai basis keputusan. Perijinan penggunaan (boleh atau tidak boleh) Image
Processing adalah masalah hukum/aturan yang menjadi ciri khas sistem
penanggalan, bukan masalah saintifik.
Jika hukum memperbolehkan penggunaan Image
Processing, maka Image Processing untuk benda langit memang suatu
pekerjaan rutinitas biasa bagi astronom
observasional, sehingga semua metode Image Processing tersebut
secara teoritis dapat saja dilakukan.
Dalam kondisi kebolehan hukum seperti
itu, tidak perlu ada pembatasan hingga metode mana yang dapat dilakukan kecuali tujuan-tujuan saintifik
itu sendiri yang membatasinya.
Hilal hasil Image Processing dikatakan
sebagai rukyat atau tidak merupakan perkara yang dispute di ranah hukum.
Kebebasan saintifik an sich tidak terhalangi untuk membuktikan hal itu
benar atau tidak benar (rukyatul hilal terbukti atau tidak terbukti) dengan
menggunakan piranti yang ada: mata, teropong, kamera fotografi dan Image
Processing. Namun, untuk kepentingan hukum seperti ini, sains dapat tunduk
pada aturan hukum (baik diputuskan
sejalan atau tidak sejalan dengan hasil temuan saintifik).[71]
d.
Slamet
Hambali
Slamet
Hambali lahir pada hari Kamis, 5 Agustus 1954 M.,
di dukuh Bajangan Desa Sambirejo Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang Jawa
Tengah. Beliau merupakan salah satu ahli falak yang telah lama berkiprah dalam
mengambagkan khzanah keilmuan falak. Hal tersebut dapat dilihat dari
karya-karya beliau, di antaranya: Almanak Sepanjang (2011), Ilmu
Falak I (2011), Ilmu Falak Arah Kiblat Setiap Saat (2013), Pengantar
Ilmu Falak Menyimak Proses Pemebentukan Alam Semesta (2012), dan lain-lain.
Selain itu beliau juga adalah penemu Istiwaaini (sebuah alat yang
didesign untuk menentukan arah kiblat, arah true north dansebagainya).
Saat ini beliau merupakan bagian dari beberapa organisasi sosial keagamaan,
diantaranya: Ketua Lajnah Falakiyah PWNU Jawa Tengah, Wakil Ketua Lajnah
Falakiyah PBNU, Anggota Musyawarah Kerja & Tim Hisab Rukyat RI, dan Anggota
Komisi Fatwa MUI Jawa Tengah.[72]
Menurut Slamet Hambali penerapan Image
Processing dalam citra hilal, pada hakikatnya hilalnya harus terlihat
terlebih dahulu (embrio hilal terlihat itu harus ada), meski pun tidak jelas
atau samar-samar. Pengolahan diperbolehkan jika sebatas memperjelas citra hilal
tersebut. Tetapi jika hilal tidak ada sama sekali kemudian diproses menjadi ada
maka hal itu tidak dapat diterima. Karena dikhawatirkan hal tersebut merupakan
rekayasa. Dalam hal ini akan sangat lebih baik untuk menghindari mudharat.
Hilal yang diproses untuk memperjelas citra
hilal tersebut dapat diterima, sehingga Image Processing juga dapat
dikatakan sebagai rukyat bil fi’li. Rukyat dengan perbuatan yang nyata
tidak sekedar ilmu pengetahuan tetapi dengan mengamati langsung, karena pada
prinsipnya pengolahan hanya sebatas memperjelas hilal bukan mengadakan hilal.
Ada pun rekaya adalah mengolah sesuatu menjadi sesuatu atau mengolah yang tidak
ada menjadi ada. Sangat sulit untuk memastikan apakah hilal yang diproses itu
direkayasa atau tidak, sehingga perlu pembuktian akan proses tersebut.
Foto pada prinsipnya adalah asli, jika ada
kasus hilal terlihat hanya pada hasil citra dasar astrofotografi sedangkan
ketika melihat melalui eyepiece pada teleskop hilal tidak terlihat maka
hal tersebut dapat diterima meskipun dalam bentuk foto, bahkan menurut Slamet
Hambali hal ini bukanlah rekayasa, nilai foto tersebut lebih tinggi jika
dibandingkan dengan Image Processing.
Dalam penggunaan Image Processing sangat
dibutuhkan kejujuran dari pengamat. Oleh karena itu setiap pengamatan, baik
foto dasar atau foto dengan pengolahan citra (memperjelas) harus tetap diambil
sumpah. Di sisi lain setiap pengamatan tersebut juga harus sesuai dengan
kriteria Imkan al-Rukyat. Pada prinsipnya yang menentukan tetaplah
keputusan sidang istbat, setiap proses pengamatan dengan beragam metode
hanya sebagai pendukung. Dalam sidang itsbat jika hasil dari
laporan-laporan ini memunculkan perbedaan pandangan, pada akhirnya juga akan
diambil footing antara yang percaya dan menolak.[73]
F.
Analisis Pandangan Ulama
Terhadap Keabsahan Image Processing pada Astrofotografi untuk Rukyatul
hilal
Para ulama cenderung berbeda terhadap penggunaan Image Processing pada
astrofotografi untuk Rukyatul Hilal. Penyebab terjadinya perbedaan tersebut
adalah historisitas keberadaan ulama tersebut dengan teknologi yang berkembang
serta kepakaran ilmu yang dimiliki oleh ulama tersebut. Jika melihat beragam
pandangan ulama di atas, maka dapat dikategorikan menjadi tiga pandangan
terhadap penggunaan Image Processing, yaitu:
1. Ulama yang tidak
memperbolehkan penggunaan Image Processing
Secara umum, tidak diperbolehkannya penggunaan Image Processing oleh
ulama fiqh klasik (pertengahan). Di antaranya: Ibnu Hajar, al-Syarwani, dan
al-Muthi’i dengan alasan yang beragam pula.
Ibnu Hajar berpendapat bahwa dalam rukyatul hilal tidak diperbolehkan
menggunakan alat bantu apapun.[74]
Jadi rukyatul hilal yang dimaksud oleh Ibnu Hajar adalah rukyat dengan
menggunakan mata telanjang. Pendapat ini merupakan sebuah
kehati-hatian, Ibnu Hajar mengemukakan pendapatnya dengan mengumpamakan melihat
hilal di kaca karena ditakutkan yang dilihat adalah bukan hilal itu sendiri.
Jika
berlandasan pada pendapat Ibnu Hajar, maka astrofotografi saja tidak sah untuk
digunakan dalam rukyatul hilal. Itu artinya secara otomatis juga penerapan Image
Processing pada citra hilal tidak diperkenankan.
al-Syarwani dan al-Muthi’i memperbolehkan penggunaan alat bantu dalam
rukyatul hilal. Alat bantu yang dimaksud fungsinya hanya sebatas perantara
untuk mendekatkan sesuatu yang jauh atau memperbesar sesuatu yang kecil, dalam
hal ini fungsi mata masih sebagai penilai rukyat itu sendiri.[75]
al-Muthi’i
lebih jauh menjelaskan bahwa penggunaan teropong atau alat bantu diperbolehkan
dalam rukyatul hilal selama memenuhi kriteria sebagai berikut: alat berfungsi
hanya untuk membantu melihat benda yang jauh atau kecil yang tidak bisa
terlihat oleh mata, adanya persamaan fungsi antara alat dengan mata secara
alamiah, dan tidak diperkenankan rukyat dengan cara pemantulan seperti di air
atau dari balik kaca.[76]
al-Syarwani
dan al-Muthi’i memang memperbolehkan penggunaan alat bantu dalam rukyatul
hilal, namun perlu ditekankan bahwa alat bantu yang dimaksud di sini terbatas
pada pada membatu penglihatan (memperdekat benda yang jauh dan memperbesar
benda yang kecil). Selain itu, mata masih digunakan sebagai penilai akan
terlihatnya hilal.
Analogi yang
akan muncul adalah secara umum dapat dikatakan astrofotografi tersebut sebagai
alat yang fungsinya masih sama dengan apa yang dimaksud oleh al-Syarwani dan
al-Muthi’i. Tepatnya ketika hilal terlihat pada proses dasar astrofotografi dan
terlihat pada eyepiece (lubang pengintai) oleh mata. Proses kebolehannya
akan berhenti pada kasus tersebut. Tidak pada kasus lain, misalnya hanya
terlihat pada citra astrofotografi saja atau setelah pengolahancitra, hal
tersebut dinilai telah menghilangkan fungsi mata menurut dua pendapat ulama
ini.
2.
Ulama yang
memperbolehkan penggunaan Image Processing (Sebatas Memperjelas)
Secara umum, menurut ulama fiqh kontemporer Image
Processing dapat diterapkan pada citra hilal namun sebatas memperjelas.
Perlu ditekankan di sini bahwa maksud memperjelas ulama fiqh kontemporer tidak
memberikan keterangan terperinci. Menurut penulis hal tersebut wajar terjadi
karena secara keilmuan Image Processing merupakan suatu pengetahuan yang
sedikit asing, sehingga dalam menetapkan kebolehannya menggunakan metode istimbat
hukum istihsan (dikemukakan oleh Huzaemah)[77]
metode istimbat hukum mashlahah mursalah (dikemukakan oleh
Alyasaa Abubakar).[78]
Penggunaan kedua metode tersebut pada hakikatnya memandang fungsi secara umum
dari penggunaan Image Processing ini yaitu sebagai suatu kebaikan dan
maslahat dalam menentukan waktu ibadah, ditengah kesulitan dalam menciptakan
persamaan dalam memulai ibadah khususnya puasa dan hari raya. Dalam hal ini
menurut penulis perlu adanya pembentukan batas “memperjelas” antara ulama sains
dan ulama hisab rukyat agar tercipta kolerasi yang seimbang.
Secara tegas Huzaemah dan Alyasaa Abubakar
menegaskan bahwa pengolahan citra tersebut harus benar-benar ilmiah dan perlu
dihindari manipulasi dan rekayasa data. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikemukakan Ma’ruf Amin pada prinsipnya syari’ah tidak
menolak keikutsertaan iptek dalam proses penentuan awal bulan Kamariah, selama
tidak bertentangan dengan syari’ah atau mengabaikan petunjuk yang telah
diberikan syari’ah, namun syari’ah juga tidak menuntut hal-hal yang memberatkan
umat.[79] Selain itu, menurut Ahmad Rofiq,
perlu dilakukan kalibrasi dan validasi terkait hasil dari Image Processing tersebut.
Untuk mengetahui bagaimanakah keakuratan hasil pengolahan tersebut terhadap
hasil hisab dan Imkan al-Rukyat.[80]
Sedangkan menurut ulama falak, Slamet Hambali diperbolehkannya
penggunaan Image Processing juga sebatas memperjelas citra hilal. Lebih
detailnya diberikan suatu penjelasan terperinci terkait yang dimaksud dengan
memperjelas tersebut. Memperjelas dalam artian sebelum dilakukan pemerosesan
citra embrio hilal terlihat harus sudah ada, sehingga proses tersebut hanya
membantu untuk membuat lebih jelas citra hilal.[81]
3.
Ulama yang
memperbolehkan penggunaan Image Processing secara keseluruhan
Pendapat ini dikemukan oleh para ulama sains,
di antaranya: S. Farid Ruskanda, T. Djamaluddin, dan Muhammad Irfan Hakim.
Mereka berpendapat bahwa Image Processing merupakan proses memperjelas
citra hilal untuk menambah keyakinan bahwa bulan baru telah muncul, meskipun
pada citra dasarnya hilal belum terlihat.
T. Djamaluddin menjelaskan tingkat
pengolahannya sangat tergantung pada ketinggian hilal itu sendiri. Jika
ketinggian hilal tinggi, hilal akan terlihat terang, maka peningkatan kontras
saja sudah cukup untuk memperjelas citra hilal. Sebaliknya, jika ketinggian
hilal rendah, hilal akan terlihat redup, maka peningkatan kontras saja tidak
akan membantu. Oleh sebab itu dibutuhkan penumpukan citra untuk memperkuat
ketampakan hilal.[82]
Menurut Muhammad Irfan Hakim jika hukum memperbolehkan penggunaan Image
Processing, maka Image Processing untuk benda langit memang suatu
pekerjaan rutinitas biasa bagi astronom
observasional, sehingga semua metode Image Processing tersebut
secara teoritis dapat saja dilakukan.
Dalam kondisi kebolehan hukum seperti
itu, tidak perlu ada pembatasan hingga metode mana yang dapat dilakukan kecuali tujuan-tujuan
saintifik itu sendiri yang membatasinya.[83]
S. Farid Ruskanda menegaskan bahwa
sebagaimanapun canggihnya mesin pengolahan citra, maka citra hilal tidak akan
hadir. Sebaliknya jika citra hilal itu ada meskipun sangat kecil dan buram,
citra tersebut masih bisa untuk diperbaiki. Itu artinya, Image Processing yang
diterapkan dengan prosedur yang benar tidak bisa merekayasa atau memanipulasi
citra hilal, dari tidak ada menjadi ada.[84]
Menurut
penulis, perbedaan ini muncul karena para ulama, baik ulama fiqh, sains, atau
falak berbeda dalam menafsirkan proses Image Processing. Kita harus
mengakui bahwa teknologi akan terus menerus berkembang. Menyikapi perkembangan
teknologi tersebut sudah semestinya hukum Islam juga harus sigap dan tangkap.
Tidak mungkin kita tetap berpegang pada ijtihad lama yang sudah tidak relevan
untuk diterapkan. Harus kita akui penggunaan teknologi digital dalam pengamatan
hilal seperti astrofotografi dan Image Processing memberikan banyak
manfaat dalam pengamatan hilal. Contoh kecil hasil Image Processing menjadi
bukti yang kuat yang dapat ditinjau kembali dalam jangka waktu yang panjang.
Jika kita
menilik sejarah penggunaan alat bantu dalam rukyatul hilal, pernah pada masanya
penggunaan alat bantu binokuler atau teleskop juga tidak diperbolehkan. Saat
itu semua sepakat bahwa rukyatul hilal adalah melihat hilal dengan mata
telanjang atau alat bantu. Seiring berjalannya waktu karena faktor yang
mempersulit pengamatan dengan mata telanjang mulai bermunculan, seperti faktor
cuaca dan polusi serta sudah memasyarakatnya tentang kegunaan binokuler dan
teleskop dikalangan perukyat alat tersebutpun mulai diterima sebagai penunjang
pengamatan hilal.
Dalam
kaitannya dengan Image Processing, menurut ulama falak ketika hilal
tidak terlihat pada citra awal kemudian dilakukan pengolahan sehingga hilal
terlihat merupakan proses membuat hilal, sehingga pada kondisi tersebut Image
Processing tidak dapat diterima. Sejatinya pendapat ini merupakan
kehati-hatian, karena dikhawatirkan hal tersebut bukanlah hilal sebenarnya,
sama halnya kekhawatiran ulama fiqh sehingga menekankan untuk menghindari
rekasa dan manipulasi data. Sedangkan menurut ulama sains citra hilal tidak
akan muncul jika memang hilal tidak terdapat pada citra tersebut, meskipun pada
citra dasarnya tidak terdapat citra hilal, proses tersebut adalah upaya
saintifik dalam memperjelas citra hilal yang mengalami gangguan.
Sebagai jalan
tengah, menurut penulis setiap pemerosesan citra dengan Image Processing memang
diperlukan keprofesonalitasan. Artinya untuk menghilangkan keragu-raguan dan
menambah keyakinan terhadap hasil citra yang diproses tersebut selain dilakukan
sumpah juga perlu untuk membuktikan langkah demi langkah pengolahan yang
dilakukan, meliputi: citra awalnya seperti apa, langkah pemerosesan yang
ditempuh apa saja, hingga citra akhirnya. Hal tersebut pada akhirnya akan
menambah keyakinan dan kepercayaan terhadap keilmiahan Image Processing.
G.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan
sebagai berikut:
Ulama
berbeda pendapat terhadap penggunaan Image Processing pada
astrofotografi di BMKG untuk rukyatul hilal. Terdiri dari tiga pandangan,
yaitu: Pertama, ulama yang sama sekali tidak memperbolehkan penggunaan Image
Processing karena penggunaan alat terbatas dalam membantu penglihatan dan
mata masih sebagai penilai. Kedua, ulama yang memperbolehkan penggunaan Image
Processing namun hanya sebatas memperjelas citra hilal, menurut ulama ini
embrio hilal harus sudah terlihat pada citra awal meskipun tidak jelas atau
samar-samar. Ketiga, ulama yang memperbolehkan penggunaan Image Processing secara
keseluruhan, karena langkah tersebut adalah proses ilmiah untuk memastikan
keberadaan hilal, meskipun pada citra dasarnya hilal tidak terlihat. Harus
diakui bahwa hasil Image Processing memiliki banyak manfaat jangka
panjang terkait perkembangan penelitian hilal.
Daftar Pustaka
A, Joko Satria, dkk. 2013. “Pensabitan
Hilal Menerusi Teknik Pengimejan”, dalam Dimensi Penyelidikan Asytonomi
Islam. Kuala Lumpur: Universiti Malaya.
Abubaka, Alyasaa. 2016. Metode
Istislahiah; Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul Fiqh. Jakarta: Prenadamedia
Group
Amin, Ma’ruf. “Rukyah untuk
Penentuan Awal dan Akhir Ramadan Menurut Pandangan Syari’ah dan Sorotan Iptek”,
dalam Selayang Pandang Hisab Rukyat. ttt:tp, 2004.
Baharun, Hasan, dkk. 2011. Metodologi
Studi Islam; Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama. Jogjakarta:
Ar-ruzz Media.
Bukhari, Muhammad Ibn Ismail. 1992. Shahih al-Bukhari. Beirut : Dar al-Kutub al- ’Ilmiyah.
Direktorat Jedral Bimbingan
Masyarakat Islam Kementerian Agama RI. 2010. Almanak Hisab Rukyat, ttp: tp.
Djamaluddin, T. 2006. Menjelajah
Keluasan Langit Menembus Kedalaman al-Qur’an. ttt: Khazanah Intelektual.
Fakhri, Jamal. “Sains dan Teknologi
dalam al-Qur’an dan Implikasinya dalam Pembelajaran”, Jurnal Ta’dib,
Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010.
Felix, John, “Penggunaan Kontras
Warna dalam Fotografi”, Jurnal Humaniora, Vol.1, No.2, Oktober 2010.
Ghofur, Abdul dan Sulistiyono,
“Peran Ulama dalam Legislasi Modern Hukum Islam”, Jurnal Asy-Syir’ah,
vol. 49, no. 1, Desember 2014.
Haitami, Ahmad Ibnu Hajar. tt. Hamisy
Hawasyii Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj. Mesir: Mushthafa Muhammad.
Hajar, Ibnu.
1379 H. Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari. Beirut: Darul
Ma’rifah.
Hambali, Slamet Laporan Penelitian Individual “Menguji
Kakuratan Hasil Pengukuran Arah Kiblat Menggunakan Istiwaaini Karya Slamet
Hambali”.
Herdiwijaya, Dhani, “Prosedur
Sederhana Pengolahan Citra untuk Pengamatan Hilal”, (Makalah Seminar Nasional Hilal 2009, Lembang: Observatorium
Bosscha, 19 Desember 2009).
Hermawati, Fajar Astuti. 2013. Pengolahan
Citra Digital; Konsep dan Teori, Yogyakarta: Penerbit Andi.
Hidayatullah, Priyanto. 2005. Pengolahan Citra Digital; Teori dan
Apklikasi Nyata. Bandung: Informatika Bandung.
Horikoshi,
Hiroko. 1987. Kyai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M.
http://arhamsukses.blogspot.co.id
https://id.wikipedia.org
https://tdjamaluddin.wordpress.com
Interview dengan Alyasaa Abubakar,
pada 1 Maret 2018 pukul 18.14 WIB., via telepon dengan melampirkan data ke
rumah informan di Dasussalam, Aceh.
Interview dengan dengan Ahmad
Rofiq, pada 7 Maret 2018 pukul 08.00 WIB di Pasca Sarjana UIN Walisongo,
Semarang.
Interview dengan dengan Muhammad
Irfan Hakim, pada 07 Mei 2018, pukul 16. 29 WIB. Via WhatsApp.
Interview dengan dengan Slamet
Hambali pada hari Rabu 09 Mei 2018, pukul 12.30 WIB., di Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Walisongo Semarang.
Interview dengan dengan Suaidi
Ahadi pada hari Sabtu
30 September 2017. Pada pukul 09.00.
Interview dengan dengan Thomas
Djamaluddin pada 07 Mei 2018, pukul 08.06 WIB, via WhatsApp.
Interview dengan Huzaemah T.
Yanggo, pada 22 februari 2018 pukul 11.45 WIB di Insitut Ilmu Qur’an Ciputat,
Jakarta.
Interview dengan Iswanudin pada
tanggal 7 Februari 2018, pukul 11.00 WIB. Di BMKG Pusat, Jakarta Pusat.
Interview dengan Rukhman Nugraha
pada tanggal 7 Februari 2018, pukul 09.00 WIB. Di BMKG Pusat, Jakarta Pusat.
Izzuddin, Ahmad. 2007. Fiqh Hisab Rukyah; Menyatukan NU &
Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Kadir, Abdul. 2013. Dasar
Pengolahan Citra dengan Dalphi. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Kahmad,
Dadang, 2006. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Kiddie, Nikkie R. 1978. Scholar,
Saint and Sufis: Muslim Religious Institution in Middle East since 1500.
Los Angeles: University of California Press.
Lapidus, Ira M. tt. Muslim Cities in the Later Middle Eastern Affairs. Cambridge:
Havard University Press.
Legault,
Thierry. 2014. Pengantar Astrophotography.
Rocky Nook: Canada.
Materi yang disampaikan oleh Rukman Nugraha, dalam Online
Group Discussion – Pusdiklat BMKG Rabu, 17 Mei 2017.
Muhtaron.
2005. Reproduksi Ulama di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Musfiqon & Nurdyansyah. 2015. Pendekatan Pembelajaran Saintifik.
Sidoarjo: Nizamia Learning Center.
Muti’i, Muhammad Bukhit. 1329 H. Irsyadu
Ahli al-Millati Ila Itsbaati al-Ahillah. Mesir; Kurdistan al-Ilmiyah.
Nasution,
Khairudin. 2009. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta:
Rosda.
Nasution.
Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press.
Prasetyo, Eko. 2011. Pengolahan
Citra Digital dan Aplikasinya Menggunakan Matlab. Yogyakarta: Penerbit
Andi.
Qulub, Siti Tatmainaul. 2017. Ilmu
Falak; dari Sejarah Ke Teori dan Aplikasi. Depok: Rajawali Pers.
Reeves, Robert. 2005. Introduction
to Digital Astrophotography; Imaging the Universe with a Digital Camera.
New York: Congress Cataloging.
Rofiq, Ahmad. 2012. Fiqh Mawaris. Depok:
PT Rajagrafindo Persada.
Ruskanda, S. Farid, 1996. 100
Masalah Hisab & Rukyat; Telaah Syaria, Sains dan Teknologi. Jakarta:
Gema Insani Press, 1996.
SA, Romli.
2014. Studi Perbandingan Ushul Fiqh. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Sari,
Ike Mardiya, dkk, “Implementasi Circular Hough Transform
untuk Deteksi Kemunculan Bulan Sabit”, Jurnal
Teknik Pomits, vol. 1, no. 1, 2012.
Shihab,
Quraish. 1993. Membumikan Al-Qur an. Bandung: Penerbit Mizan.
Syarwani, Abdul Hamid. tt. Hawasyii
Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj. Mesir: Mushthafa Muhammad.
Yunus, Mahmud. 2007. Kamus Arab
Indonesia. Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyah.
Riwayat Hidup
Penulis
Nama :
Riza Afrian Mustaqim
Tempat Tanggal Lahir : Bener Meriah, 14 Oktober 1993.
Pendidikan Formal : SDN Blok C (2000-2006)
MTs.S Nurul Islam (2007-2009)
MAS Ruhul Islam (2009-2012)
UIN Walisongo Semarang (2012-2016)
Pekerjaan :
Mahasiswa Pasca Sarjana (S2) Ilmu Falak UIN Walisongo Semarang
No. HP (WA) :
085372035382
[2] Siti Tatmainaul Qulub, Ilmu Falak; dari
Sejarah Ke Teori dan Aplikasi, (Depok: Rajawali Pers, 2017), 287-289.
[3] Jumlah teramati sebanyak 137 data hilal dari
pengamatan rutin pada setiap bulannya sejak Oktober 2008 hingga Mei 2017.
[4] Interview dengan Suaidi Ahadi pada hari Sabtu 30 September 2017. Pada pukul
09.00. Lihat Juga Materi yang disampaikan oleh Rukman Nugraha, dalam Online Group Discussion – Pusdiklat BMKG Rabu, 17 Mei 2017, PPT.
[5] Priyanto Hidayatullah, Pengolahan Citra Digital; Teori dan Apklikasi Nyata, (Bandung:
Informatika Bandung, 2005), 3.
[7] Interview dengan Rukhman Nugraha pada tanggal
7 Februari 2018, pukul 09.00 WIB. Di BMKG Pusat, Jakarta Pusat.
[9] Citra (image) merupakan istilah lain
untuk gambar sebagai salah satu komponen multimedia memegang peranan sangat
penting sebagai bentuk informasi visual. Lihat Priyanto Hidayatullah, Pengolahan Citra Digital ..., 1.
[11] Lihat Direktorat Jedral Bimbingan Masyarakat
Islam Kementerian Agama RI, (Almanak Hisab
Rukyat, ttp: tp, 2010), 215.
[12] T. Djamaluddin, Menjelajah Keluasan
Langit Menembus Kedalaman al-Qur’an, (ttt: Khazanah Intelektual, 2006), 94.
[14] Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah; Menyatukan NU & Muhammadiyah dalam Penentuan
Awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), 6-7.
[15] Muhammad Ibn Ismail
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut : Dar al-Kutub al- ’Ilmiyah,
1992), jil. I, 588.
[16] Ibnu Hajar, Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari, (Beirut: Darul
Ma’rifah, 1379 H), jil. IV, 121.
[17] Ike
Mardiya Sari, dkk, “Implementasi Circular Hough Transform
untuk Deteksi Kemunculan Bulan Sabit”, Jurnal
Teknik Pomits, vol. 1, no. 1, 2012, 1.
[18] Dhani Herdiwijaya, “Prosedur Sederhana
Pengolahan Citra untuk Pengamatan Hilal”,
(Makalah Seminar Nasional Hilal 2009, Lembang: Observatorium Bosscha, 19
Desember 2009), 109.
[19] Pendekatan saintifik merupakan proses
pencarian pengetahuan, pemahaman, serta skill yang harus dilakukan secara
sistematis sesuai kaidah dan langkah ilmiah. Hal ini didasarkan pada hakikat
manusia yang selalu ingin tahu dengan cara melakukan pembuktian dari apa yang
dilihat, didengar dan dirasakan. Lihat Musfiqon & Nurdyansyah, Pendekatan Pembelajaran Saintifik,
(Sidoarjo: Nizamia Learning Center, 2015), 48.
[20] Pendekatan normatif adalah studi Islam yang
memandang masalah dari sudut legal formal atau normatifnya. Yang dimaksud
dengan legal formal adalah hubungannya dengan halal-haram, boleh atau tidak,
dan sejenisnya. Sementara normatifnya adalah seluruh ajaran yang terkandung
dalam nash. Lihat Khairudin Nasution, Pengantar
Studi Islam, (Yogyakarta:
Rosda, 2009), 31.
[23] Abdul Ghofur dan Sulistiyono, “Peran Ulama
dalam Legislasi Modern Hukum Islam”, Jurnal Asy-Syir’ah, vol. 49, no. 1,
Desember 2014, 291.
[25] Nikkie R Kiddie, Scholar, Saint and Sufis:
Muslim Religious Institution in Middle East since 1500, (Los Angeles:
University of California Press, 1978), 2
[26] Ira M. Lapidus, Muslim Cities in the Later Middle Eastern Affairs, (Cambridge: Havard University Press, tt), 108.
[31] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari ...,
88.
[34] Eko Prasetyo, Pengolahan Citra Digital dan
Aplikasinya Menggunakan Matlab, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2011), 9.
[36] Fajar Astuti Hermawati, Pengolahan Citra
Digital; Konsep dan Teori, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2013), 4.
[38] Noise merupakan sebuah istilah yang
digunakan oleh analis data deret waktu untuk menggambarkan fluktuasi acak yang
mungkin mengaburkan sinyal sebenarnya. Urutan kesalahan, dalam pengamatan
berturut-turut, yang terdiri dari nilai acak bebas dari distribusi normal
dengan artian nol disebut white noise. Lihat http://www.oxfordreference.com, kata
kunci “noise”. Secara singkat Noise disebut sebagai ganguan pada citra.
Diakses pada tanggal 14 februari 2018, pukul 08.45 WIB.
[39] Robert Reeves, Introduction to Digital
Astrophotography; Imaging the Universe with a Digital Camera, (New
York: Congress Cataloging, 2005), PDF e-book, 353.
[42] Interview dengan Iswanudin pada tanggal 7
Februari 2018, pukul 11.00 WIB. Di BMKG Pusat, Jakarta Pusat.
[43] Interview dengan Rukhman Nugraha pada tanggal
7 Februari 2018, pukul 09.00 WIB. Di BMKG Pusat, Jakarta Pusat.
[44] Interview dengan Rukhman Nugraha pada tanggal
7 Februari 2018, pukul 09.00 WIB. Di BMKG Pusat, Jakarta Pusat.
[45] John Felix, “Penggunaan Kontras Warna dalam
Fotografi”, Jurnal Humaniora, Vol.1, No.2, Oktober 2010, 319.
[46] Interview dengan Rukhman Nugraha pada tanggal
7 Februari 2018, pukul 09.00 WIB. Di BMKG Pusat, Jakarta Pusat.
[47] Joko Satria A, dkk “Pensabitan Hilal
Menerusi Teknik Pengimejan”, dalam Dimensi Penyelidikan Asytonomi Islam
(Kuala Lumpur: Universiti Malaya, 2013), 102.
[48] Jamal Fakhri, “Sains dan Teknologi dalam
al-Qur’an dan Implikasinya dalam Pembelajaran”, Jurnal Ta’dib, Vol. XV
No. 01. Edisi, Juni 2010, 123.
[49] Hasan Baharun, dkk, Metodologi Studi
Islam; Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama, (Jogjakarta:
Ar-ruzz Media, 2011), 76.
[50] Diadaptasi dari https://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Hajar_al-Haitami,
diaskses pada 05 Mei 2017, pukul 21.35 WIB.
[51] Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami, Hamisy Hawasyii
Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj, (Mesir: Mushthafa Muhammad, tt), 371-372.
[54]Abdul Hamid asy-Syarwani, Hawasyii Tuhfatul
Muhtaj bi Syarhil Minhaj, (Mesir: Mushthafa Muhammad, tt), 372
[55] Diadaptasi dari http://arhamsukses.blogspot.co.id
/2012/02/biografi-muhammad-bakhit-al-mutii.html, diakses pada 05 Mei 2018,
pukul 22.50 WIB.
[56] Muhammad Bukhit al-Muti’i, Irsyadu Ahli
al-Millati Ila Itsbaati al-Ahillah, (Mesir ; Kurdistan al-Ilmiyah, 1329 H
), 293-294
[57] Diadaptasi dari profil beliau yang tertera
pada halaman web site IIQ, lihat https://iiq.ac.id/index.php?a=artikel&d=5&id=221,
diakses pada 05 Mei 2018, pukul 21.00 WIB.
[59] Interview dengan Huzaemah T. Yanggo, pada 22
februari 2018 pukul 11.45 WIB di Insitut Ilmu Qur’an Ciputat, Jakarta.
[60] Diadaptasi dari beberapa halaman biografi
penulis pada buku-buku belia, salah satunya Metode Istislahiah; Pemanfaatan
Ilmu Pengetahuan dalam Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016).
[61] Al Yasa’ Abubakar, Metode Istislahiah;
Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2016), 74.
[62] Interview dengan Alyasaa Abubakar, pada 1
Maret 2018 pukul 18.14 WIB., via telepon dengan melampirkan data ke rumah
informan di Dasussalam, Aceh.
[63] Diadaptasi dari riwat penulis pada buku
beliau, Fiqh Mawaris, (Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2012), 215-220.
[64] Interview dengan dengan Ahmad Rofiq, pada 7
Maret 2018 pukul 08.00 WIB di Pasca Sarjana UIN Walisongo, Semarang.
[65] Diadaptasi dari beberapa sumber, di antaranya
buku Rukyat dengan Teknologi dan 100 Masalah Hisab Rukyat karya
S. Farid Ruskanda.
[66] S. Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab &
Rukyat; Telaah Syaria, Sains dan Teknologi, (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), 79-80
[67] Diadaptasi dari https://tdjamaluddin.wordpress.com/1-t-djamaluddin-thomas-djamaluddin/,
diakses pada 08 Mei 2018, pukul 09.46 WIB.
[71] Interview dengan dengan Muhammad Irfan Hakim,
pada 07 Mei 2018, pukul 16. 29 WIB. Via WhatsApp.
[72] Diadaptasi dari Interview dengan dengan
Slamet Hambali pada hari Rabu 09 Mei 2018, pukul 12.30 WIB., di Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang. Lihat juga Laporan Hasil Penelitian
Individual, “Menguji Kakuratan Hasil Pengukuran Arah Kiblat Menggunakan
Istiwaaini Karya Slamet Hambali”.
[73] Interview dengan dengan Slamet Hambali pada
hari Rabu 09 Mei 2018, pukul 12.30 WIB., di Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Walisongo Semarang.
[75] Abdul Hamid
asy-Syarwani, Hawasyii Tuhfatul ...,372. Lihat juga Muhammad Bukhit
al-Muti’i, Irsyadu Ahli al-Millati ..., 293
[77] Interview
dengan Huzaemah T. Yanggo, pada 22 februari 2018, pukul 11.45 WIB., di Insitut
Ilmu Qur’an Ciputat, Jakarta.
[78] Interview
dengan Alyasaa Abubakar, pada 1 Maret 2018, pukul 18.14 WIB., via telepon
dengan melampirkan data ke rumah informan di Dasussalam, Aceh.
[79] Ma’ruf Amin, “Rukyah untuk Penentuan Awal dan
Akhir Ramadan Menurut Pandangan Syari’ah dan Sorotan Iptek”, dalam Selayang
Pandang Hisab Rukyat, (ttt:tp, 2004), 99.
[80] Interview
dengan dengan Ahmad Rofiq, pada 7 Maret 2018, pukul 08.00 WIB., di Pasca
Sarjana UIN Walisongo, Semarang.
[81] Interview
dengan dengan Slamet Hambali pada hari Rabu 09 Mei 2018, pukul 12.30 WIB., di
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang.
[83] Interview
dengan dengan Muhammad Irfan Hakim, pada 07 Mei 2018, pukul 16. 29 WIB. Via WhatsApp.
0 Comments